KPK: Vaksin Berbayar via Kimia Farma Berisiko Tinggi Korupsi

14 Juli 2021 11:05 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Proses vaksinasi gotong royong untuk karyawan Perusahaan Sika Indonesia di Cileungsi, Bogor. Foto: Sika
zoom-in-whitePerbesar
Proses vaksinasi gotong royong untuk karyawan Perusahaan Sika Indonesia di Cileungsi, Bogor. Foto: Sika
ADVERTISEMENT
KPK tidak menyarankan Vaksinasi Gotong Royong atau vaksinasi berbayar untuk individu melalui Kimia Farma. Sebab, hal tersebut berisiko tinggi menimbulkan korupsi.
ADVERTISEMENT
Poin itu disampaikan Ketua KPK Firli Bahuri dalam rapat koordinasi pelaksanaan Vaksinasi Mandiri dan Vaksinasi Gotong, Senin 12 Juli 2021. Rapat turut dihadiri Menko Marves sekaligus Komandan PPKM Darurat Jawa-Bali, Luhut Binsar Pandjaitan; Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin; Menteri BUMN Erick Thohir; Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh; dan Jaksa Agung ST Burhanuddin.
"Pada rapat itu, KPK menyampaikan beberapa catatan terkait vaksin berbayar dalam kaitannya dengan pencegahan korupsi," kata Firli Bahuri kepada wartawan, Rabu (14/7).
"Saya menyampaikan materi potensi fraud mulai dari perencanaan, pengesahan, implementasi, dan evaluasi program," imbuhnya.
Firli menyebut ada sejumlah poin yang disampaikannya dalam rapat. Khususnya terkait langkah-langkah strategis menyikapi potensi fraud. Hal itu bila kemudian vaksin mandiri dilaksanakan berbayar ke masyarakat serta vaksinasi selanjutnya.
ADVERTISEMENT
"Saya tentu tidak memiliki kapasitas untuk membuat keputusan. Saya ingin tidak ada korupsi," ujar dia.
Ketua KPK, Firli Bahuri. Foto: Humas KPK
Ada setidaknya 6 poin yang disampaikan Firli Bahuri terkait hal tersebut, yakni:
com-Kimia Farma Foto: Dok. Istimewa
Atas sejumlah pertimbangan, Firli menyebut bahwa KPK tidak mendukung pola vaksinasi Gotong Royong melalui Kimia Farma.
ADVERTISEMENT
"KPK tidak mendukung pola vaksin GR melalui Kimia Farma karena efektivitasnya rendah sementara tata kelolanya berisiko," ujar Firli.
Selain itu, KPK juga mendorong transparansi logistik dan distribusi vaksin yang lebih besar.
"Sebelum pelaksanaan vaksin mandiri, Kemenkes harus memiliki data peserta vaksin dengan berbasis data karyawan yang akuntabel dari badan usaha, swasta, instansi, lembaga organisasi pengusaha, atau asosiasi," pungkasnya.