Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
KPK Yakin Kesaksian Boediono dan Todung Lubis Perkuat Dakwaan BLBI
19 Juli 2018 19:56 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Penuntut umum KPK menghadirkan Mantan Menteri Keuangan Boediono dan advokat Todung Mulya Lubis dalam sidang dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas BLBI untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim. Keduanya bersaksi untuk eks Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung yang duduk sebagai terdakwa.
ADVERTISEMENT
KPK meyakini, kesaksian keduanya memperkuat pembuktian atas dakwaan Syafruddin. Saat kasus ini bergulir, Boediono adalah anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) sementara Todung adalah tim bantuan hukumnya.
"Dari keterangan saksi ini sejumlah poin krusial di dakwaan KPK kami pandang semakin terbukti," ujar juru bicara KPK Febri Diansyah saat dihubungi, Kamis (19/7).
Salah satu keterangan yang dinilai penting adalah keterangan Todung soal soalnya misrepresentasi yang dilakukan Sjamsul Nursalim terkait kondisi piutang petambak kepada BDNI. Piutang yang dijadikan jaminan BDNI dalam membayar BLBI.
Misrepresentasi yang dimaksud adalah utang petambak udang kepada BDNI sebesar Rp 4,8 triliun. Utang itu dijamin oleh dua perusahaan Sjamsul yakni PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM). Sjamsul menjaminkan utang dari petambak itu sebagai piutang yang lancar. Namun belakangan diketahui bahwa tergolong sebagai kredit macet.
ADVERTISEMENT
"Dalam pendapat hukumnya bahwa obligor Sjamsul Nursalim telah melakukan misrepresentasi karena tidak mengungkap kondisi aset piutang petani tambak Dipasena yang diserahkan pada BPPN berada dalam kondisi macet," ucap Febri.
Ia menambahkan bahwa dari keterangan dari persidangan juga terungkap bahwa Syafruddin pernah mengusulkan penghapusan utang petani tambak tersebut sebesar Rp 2,8 triliun, sehingga tersisa hanya Rp 1,1 triliun.
"Tidak pernah ada keputusan kabinet atas usulan penghapusan, tapi terdakwa justru melaporkan pada KKSK seolah-olah ada keputusan kabinet yang menyetujui penghapusan tersebut," imbuh Febri.