KPU: Pemilu Serentak Model Seperti Ini Cukup Pertama dan Terakhir

26 April 2019 18:21 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anggota KPU Pusat Pramono Ubaid Tanthowi  Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Anggota KPU Pusat Pramono Ubaid Tanthowi Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Komisioner KPU RI, Pramono Ubaid Tanthowi menilai pemilu serentak seperti yang terjadi di 2019 cukup yang pertama dan terakhir. Ia beralasan model pemilu tahun ini sangat menguras tenaga petugas penyelenggara pemilu.
ADVERTISEMENT
“Jadi pemilu serentak yang kita laksanakan kemarin itu cukup menjadi yang pertama dan terakhir. Karena bagi saya ternyata secara fisik itu telah melampaui rata-rata batas kemampuan manusia Indonesia pada umumnya,” kata Pramono di Sarasehan Refleksi Pemilu di Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Jumat (26/4).
Ia mencontohkan, pemilu serentak ini telah memakan korban jiwa sebanyak 225 orang sementara yang menderita sakit 1.470. Pramono mengatakan, angka tersebut masih mungkin akan terus bertambah.
“Ya kami mengupayakan saat ini untuk mengadakan santunan meskipun pada awalnya kami mengajukan untuk asuransi. Tetapi Kementerian Keuangan menolak karena kita pernah punya pengalaman di 2004 di mana kasus asuransi itu menjerat beberapa Komisioner KPU waktu itu,” katanya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya soal fisik penyelenggara pemilu, Pramono menilai, pemilih juga kesulitan menentukan pilihan terutama untuk memilih calon legislatif.
“Dan secara sistem membuat pemilih kesulitan menentukan pilihan terutama anggota DPD, DPR dan DPRD. Tadi Pak Wakil Rektor persis mengatakan mau milih calon DPD ,DPR, DPRD provinsi, kabupatennya siapa. Itu sulit sekali,” katanya.
Personel Polri mengawal sejumlah pekerja pengangkut barang (porter) menyeberangi sungai saat membawa logistik Pemilu serentak 2019 ke dua desa terpencil di kaki Pegunungan Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Minggu (14/4/2019). Foto: ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Selain itu, metode perhitungan juga membuat para petugas di lapangan kelelahan. Sebab, menurut aturan undang-undang, perhitungan harus dilakukan tanpa ada jeda.
Misalnya pasal 383 ayat 2. Perhitungan suara hanya dilakukan dan selesai di TPS atau TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara. Jadi teman-teman KPPS itu mau tidak mau mereka harus menyelesaikan proses pemungutan suara dan diteruskan proses perhitungan suara dan itu harus selesai pada hari itu juga,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
“Meskipun ada putusan MA nomor 20 2019 yang memperpanjang waktu sampai 12 jam. Namun tanpa jeda,” katanya.
Pramono menilai ada sejumlah langkah yang bisa ditempuh untuk mencegah kejadian serupa terjadi di pemilu selanjutnya. Misalnya memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal. Selain itu, sistem proporsional tertutup juga bisa diterapkan agar pemilih tak kebingungan.
“Mengurangi waktu yang diperlukan pemilih mencoblos di TPS dan waktu bagi KPPS untuk menghitung surat suara, dengan mengadopsi sistem proposional tertutup,” katanya.
“Memangkas waktu rekapitulasi dengan mengadopsi e-rekapitulasi,” ujarnya.