KPU Tak Akan Buat Satgas TPKS meski Kasus Hasyim Mencuat

12 Juli 2024 17:48 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Plt Ketua KPU Mochammad Afifuddin. Foto: Thomas Bosco/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Plt Ketua KPU Mochammad Afifuddin. Foto: Thomas Bosco/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menegaskan tidak akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Melainkan hanya akan menerbitkan surat keputusan (SK) internal tindak pidana kekerasan seksual (TPKS).
ADVERTISEMENT
Hal ini merupakan respons dari rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang menanggapi Keputusan Presiden Nomor 73P tanggal 9 Juli 2024 tentang Pemberhentian dengan Tidak Hormat Hasyim Asy'ari sebagai Anggota Komisi Pemilihan Umum RI.
"Kami juga sudah melakukan pembahasan soal ini. Intinya kami juga akan melakukan dan juga membuat semacam namanya tidak satgas. Akan tetapi, surat edaran atau surat keputusan yang mengatur soal hal-hal terkait dengan upaya-upaya untuk misalnya menghindari kekerasan terhadap perempuan dan sejenis, sedang kami matangkan dan buat," ujar Plt Ketua KPU Muhammad Afifuddin di Kantor KPU RI, Jakarta, Jumat (12/7).
Kendati demikian, menurut Afif, KPU tidak menggunakan satgas lantaran hanya penamaan saja. Sebab, selama ini semua lembaga memiliki tim pengawasan nasional (wasnal) tak terkecuali KPU RI.
ADVERTISEMENT
Afif menjelaskan, Tim Wasnal KPU RI berada langsung di bawah divisinya yang mengatur aparatur yang tidak tertib.
"Itu biasanya kami yang turun melakukan pembinaan dan klarifikasi, termasuk beberapanya kami yang mengadukan ke DKPP. Jadi, semangatnya sama, percepatan untuk itu dilakukan," jelasnya.
Ketua KPU Hasyim Asy'ari (tengah) didampingi Komisioner KPU Idham Holik (depan, kanan) dan Mohammad Afifuddin (depan, kiri) memberikan keterangan pers terkait putusan DKPP yang menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap di Gedung KPU, Jakarta (3/7/2024). Foto: Bayu Pratama S/ANTARA FOTO
Pada saatnya, kata dia, KPU akan menyosialisasikan SK tersebut kepada pihak internal.
"Di pengawasan internal juga melakukan langkah-langkah percepatan untuk mengantisipasi hal-hal yang sekiranya tidak patut terjadi di tengah masyarakat," pungkas dia.
Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menanggapi Keputusan Presiden Nomor 73P tanggal 9 Juli 2024 tentang Pemberhentian dengan Tidak Hormat Hasyim Asy'ari sebagai Anggota Komisi Pemilihan Umum RI.
Wakil Ketua Komnas HAM Pramono Ubaid Tanthowi dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, berharap keppres tersebut dapat menjadi momentum dalam memperkuat komitmen pemerintah memerangi tindak kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
"Keppres tersebut diharapkan menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperkuat kembali komitmen dalam memerangi tindak kekerasan seksual yang merendahkan dan mendiskriminasi hak-hak perempuan sebagai korban serta memberikan jaminan keadilan bagi korban," ucap Pramono, Kamis (11/7).
Komnas HAM juga berharap keppres tersebut menjadi pengingat bagi setiap pejabat publik bahwa mereka memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi setiap warga negara, terutama hak kaum perempuan.
Komnas HAM mendesak lembaga penyelenggara pemilu, baik KPU, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), maupun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), untuk segera melakukan tiga poin sebagai berikut.
Pertama, mengimplementasikan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dengan menyusun komitmen kebijakan untuk melakukan pencegahan tindak pidana kekerasan seksual di masing-masing lembaga.
ADVERTISEMENT
"Dan dituangkan dalam bentuk peraturan KPU, peraturan Bawaslu, dan peraturan DKPP," imbuh Pramono.
Kedua, membentuk satuan tugas di masing-masing lembaga penyelenggara pemilu untuk melaksanakan fungsi pencegahan serta penanganan tindak pidana kekerasan seksual.
"KPU, Bawaslu, dan DKPP sebagai bagian dari institusi demokrasi menjadi ruang yang aman dan bebas bagi perempuan untuk menjalankan seluruh aktivitasnya," sambung dia.
Ketiga, melakukan evaluasi secara menyeluruh, baik terkait regulasi, kebijakan, maupun perilaku, untuk memperkuat kembali komitmen pemenuhan hak-hak politik perempuan.
"Terutama terkait dengan keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik, dalam pencalonan DPR/DPRD, serta dalam komposisi KPU/Bawaslu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota," kata Pramono.