Kritik Usman Hamid: Kasus Gibran, Badge Awards, dan Kebebasan Berpendapat

17 Maret 2021 6:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Internasional Amnesty Indonesia, Usman Hamid di Polda Metro Jaya, Selasa (9/7). Foto: Raga Imam/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Internasional Amnesty Indonesia, Usman Hamid di Polda Metro Jaya, Selasa (9/7). Foto: Raga Imam/kumparan
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid melontarkan kritik. Dia menyoal rencana Tim Siber Bareskrim Polri yang akan memberi ‘Badge Awards’ bagi warga masyarakat yang dinilai aktif berpartisipasi melaporkan dugaan tindak pidana di media sosial.
ADVERTISEMENT
“Baru saja polisi menangkap warga Slawi karena dianggap menghina Wali Kota Solo, Gibran-yang juga putra Presiden Jokowi, di media sosial. Ini saja sudah menunjukkan betapa kian menyempitnya ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia. Bagaimana jika ‘Badge Awards’ benar-benar dilakukan?" kritik Usman Hamid, Selasa (16/3).
Usman resah, jika pemberian ‘Badge Awards’ benar-benar dilaksanakan, ini berpotensi membuat warga semakin takut untuk mengungkapkan pendapat, terutama jika pendapatnya kritis terhadap seorang pejabat.
Apalagi, lanjut Usman, Revisi UU ITE belum masuk prioritas anggota Dewan. Warga yang mengungkapkan pendapatnya di media sosial akan terus berada di bawah ancaman pidana selama pasal-pasal karet di UU ITE belum direvisi.
Arkham Mukmin pemilik akun instagram @arkham_87. Foto: Dok Instagram @polrestasurakarta
“Pembebasan segera mereka yang dipenjara akibat terkena pasal-pasal karet UU ITE oleh pemerintah dan revisi segera atas UU ITE ini oleh pemerintah dan DPR seharusnya diutamakan. Pemimpin pemerintah dan DPR seharusnya mengimbau instrumen negara seperti polisi, untuk tidak melakukan upaya yang kontra-produktif," beber Usman.
ADVERTISEMENT
Usman khawatir, rencana badge awards ini juga dapat memicu ketegangan dan konflik sosial. Yang kedua, kejadian penangkapan seperti yang menimpa warga Slawi dapat terulang lagi.
"Warga seharusnya tidak perlu takut pada ancaman hukuman pidana atau dipaksa untuk minta maaf hanya karena mengungkapkan pendapatnya secara damai," beber dia.
Badge Awards dari Polri. Foto: Instagram/@ccicpolri
Usman menjelaskan, pada hari Selasa, 16 Maret, akun twitter resmi Dittipidsiber Bareskrim Polri mengunggah gambar badge yang akan diberikan kepada warga yang 'aktif berpartisipasi melaporkan dugaan tindak pidana di media sosial'.
Menurut catatan Amnesty, sepanjang 2021 sudah ada setidaknya 15 kasus dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE dengan 18 korban.
Sementara pada tahun 2020, Amnesty International mencatat setidaknya terdapat 119 kasus dengan 141 korban, termasuk di antaranya 18 aktivis dan empat jurnalis.
Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka di Pasar Gede dan Pasar Klewer. Foto: Dok. Istimewa
Usman Hamid mengingatkan bahwa hak seluruh masyarakat atas kebebasan berekspresi dan berpendapat telah dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam Komentar Umum No. 34 atas Pasal 19 ICCPR.
ADVERTISEMENT
Sedangkan dalam hukum nasional, hak tersebut telah dijamin dalam Konstitusi Indonesia, tepatnya pada Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945, serta Pasal 23 ayat (2) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
"Meskipun hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat dibatasi, namun pembatasan tersebut hanya dapat diterima dalam keadaan terbatas," ujar dia.
Usman membeberkan, prinsip-prinsip Siracusa tentang Batasan dan Penurunan Ketentuan dalam ICCPR, yang merupakan sebuah interpretasi ahli atas ICCPR, memberikan panduan lebih lanjut terkait ketentuan pembatasan hak asasi manusia, termasuk:
1) Tidak boleh ada batasan yang bersifat diskriminatif;
2) Batasan apa pun harus menjawab kebutuhan publik atau sosial yang mendesak, mengejar tujuan yang sah, dan sebanding dengan tujuan itu;
ADVERTISEMENT
3) Negara seharusnya tidak menggunakan cara yang lebih membatasi daripada yang diperlukan demi pencapaian tujuan pembatasan;
4) Pembenaran atas pembatasan hak yang dijamin berdasarkan ICCPR dibebankan kepada negara; dan
5) Setiap batasan yang diberlakukan harus tunduk pada kemungkinan untuk digugat dan perbaikan terhadap penerapannya yang sewenang-wenang.