Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
KSP Usulkan Pelabelan BPA pada Kemasan Plastik Masuk Peraturan Pemerintah
9 Juni 2023 14:07 WIB
·
waktu baca 4 menit
Staf Khusus Kedeputian 2 Kantor Staf Presiden (KSP) Brian Sriprahastuti mengusulkan adanya pelabelan kandungan bisphenol-A (BPA) pada kemasan plastik berbahan polikarbonat (PC). Menurutnya, aturan terkait pelabelan BPA perlu dimasukkan dalam revisi peraturan pemerintah (PP) tentang label iklan pangan.
“Jika hal ini akan diangkat, sebaiknya tidak usah membuat peraturan baru, tetapi diusulkan untuk masuk dalam bagian PP tentang label iklan pangan,” ujarnya.
Usulan tersebut disampaikan Brian dalam rangka pertemuan antara Center for Sustainability and Waste Management Universitas Indonesia (CSWM UI) dengan KSP di Jakarta (13/3). Hadir pula Ikatan Alumni UI, Fakultas Hukum UI, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, serta Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI).
KSP sendiri telah melakukan penyusunan revisi draf PP tentang label iklan pangan sejak 2018 lalu. Hanya saja prosesnya belum selesai karena harus melibatkan berbagai sektor terkait.
Pasalnya, PP tentang label iklan pangan tidak hanya menyangkut soal kesehatan, tetapi juga sektor perdagangan yang ada di bawah pengawasan Kementerian Perdagangan.
Menurut Brian, sejauh ini masalah pelabelan masih sebatas pencantuman kandungan gizi, belum menyentuh kandungan substansi tertentu pada kemasan suatu produk. Salah satunya, terkait kandungan BPA dalam kemasan.
Kepala CSWM UI Mochamad Chalid, mengatakan, BPA dalam kemasan terkait erat pada kesehatan anak dan generasi muda. Bahkan, ia menekankan bahwa pelabelan ini jadi satu hal yang genting mengingat masifnya penggunaan galon dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
“Kemudian, yang tidak kalah penting adalah adanya aturan tentang standar umur pakai dan standar untuk penggunaan kemasan. Selain itu, penggunaan bahan PC juga perlu untuk ditinjau ulang,” papar Chalid.
Efek Negatif Penggunaan BPA bagi Kesehatan
Perwakilan PB IDI Agustina Puspitasari, mengatakan, BPA dapat mempengaruhi fisiologi yang dikendalikan hormon endokrin. Tak hanya itu, BPA juga berdampak pada perkembangan otak janin, peningkatan tekanan darah, diabetes tipe 2, serta penyakit kardiovaskular.
“Sudah banyak studi yang meneliti bahwa ditemukannya konsentrasi BPA di dalam urin berhubungan dengan turunnya kualitas sperma. Kemudian pada wanita hamil dengan paparan BPA selama prenatal berhubungan dengan perilaku agresif dan hiperaktif anak, terutama pada anak perempuan,” papar Agustina.
Agustina merujuk beberapa negara besar seperti Amerika Serikat dan Kanada yang kini semakin mengawasi penggunaan kemasan BPA. Di Kanada misalnya, sudah ada pengklasifikian BPA sebagai zat beracun serta penetapan larangan terbatas. Pada 2011, Uni Eropa (UE) bahkan telah mengeluarkan larangan penggunaan BPA pada botol susu bayi.
Jika menengok Amerika Serikat, khususnya California, produsen telah diwajibkan untuk mencantumkan label yang memuat keterangan “menyebabkan kanker, gangguan kehamilan, dan sistem reproduksi” pada produk-produk yang mengandung BPA.
“Bahkan di Denmark, Austria, Swedia, dan Malaysia telah melarang penggunaan BPA pada kemasan kotak pangan untuk konsumen usia rentan dari nol sampai 3 tahun,” tegas Agustina.
Karena itulah PB IDI mendukung upaya pelabelan kandungan BPA yang akan bisa dilakukan oleh BPOM. Tak hanya itu, PB IDI sangat mendukung edukasi konsumen terkait upaya pencegahan migrasi BPA ke dalam tubuh. Salah satunya dengan tidak menyimpan kemasan pada suhu tinggi dalam waktu lama, serta tidak menggosok atau menyikat permukaan kemasan.
Pentingnya Kajian dan Inovasi soal Kemasan AMDK
Chalid bersama timnya menemukan bahwa penggunaan kemasan air minum—terutama galon berbahan PC yang mengandung BPA—tidak hanya dilakukan oleh produsen air minum dalam kemasan (AMDK) bermerek, tetapi juga oleh pengusaha air isi ulang yang tidak bermerek dan berbasis usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Penelitian CSWM UI menemukan kasus tersebut di beberapa daerah di Sumatera Barat, seperti Padang, Batusangkar, Padang Pariaman, dan Payakumbuh. Chalid pun menekankan perlunya perlindungan konsumen AMDK hingga ke daerah-daerah tersebut. Pasalnya, konsumsi AMDK telah menjadi kebutuhan umum masyarakat, terlebih ketersediaan air bersih langsung dari sumbernya semakin terbatas.
Kajian pada aspek engineering dan ekonomi pun dinilai penting. Pencegahan migrasi BPA bisa dilakukan dengan mengatur desain, standar umur pakai, serta standar penggunaan bahan kemasan.
Chalid menyarankan produsen untuk melakukan inovasi untuk menghasilkan galon yang aman dan sehat sebagai kemasan AMDK sebagai konsekuensi penyesuaian umur pakai dan jumlah kali dari penggunaan.
Metode yang bisa dilakukan adalah post-consumer resin atau PCR, yaitu suatu cara daur ulang kemasan plastik dengan mencacah galon yang telah digunakan menjadi resin plastik. Selanjutnya, resin dicampur dengan resin baru yang belum pernah digunakan dengan komposisi tertentu untuk kemudian dibentuk menjadi kemasan baru.
Pada kesempatan terpisah, Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional Slamet Riyadi, mengajak perusahaan untuk menaati peraturan atau regulasi yang dibuat pemerintah.
“Ini harusnya ditaati karena semua peraturan ini berkaitan dengan keamanan, kenyamanan dan keselamatan konsumen yang terdapat di dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya dalam pasal empat,” jelas Slamet.