Kuasa Putra Mahkota Baru Saudi, Mohammed bin Salman

22 Juni 2017 7:12 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Raja Salman saat menaiki eskalator pesawat. (Foto: Dok. JAS)
zoom-in-whitePerbesar
Raja Salman saat menaiki eskalator pesawat. (Foto: Dok. JAS)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Life must go on.
Di tengah ribut-ribut dengan tetangganya Qatar, Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud tetap memastikan urusan dalam negeri berjalan tanpa gejolak, termasuk usaha mempertahankan kekuasaan agar tetap berada di tangan kerabat terdekat.
ADVERTISEMENT
Ini dilakukannya dengan menunjuk anaknya sendiri, Mohammed bin Salman, sebagai Putra Mahkota Kerajaan Saudi. Putra mahkota sebelumnya, Mohammed bin Nayef, dilucuti dari jabatannya sebagai putra mahkota sekaligus menteri dalam negeri.
Kini Mohammed bin Salman masih berumur 31 tahun. Mengingat sistem monarki Saudi, ia berpeluang menjadi raja termuda Saudi sepanjang sejarah. Dan menjadi raja dalam umur muda tentu memberinya kesempatan berada di tampuk kuasa untuk waktu sangat lama.
Bahkan sebelum menjadi putra mahkota, Mohammed bin Salman telah memegang beberapa pos penting di pemerintahan Arab Saudi. Jelas, meningkatnya peran anak Raja Salman tersebut banyak terbantu sejak sang ayah naik takhta pada 2015.
Mohammed bin Salman (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Mohammed bin Salman (Foto: Reuters)
Tahun itu pula, ia dipilih sebagai Deputi Putra Mahkota oleh ayahnya. Saat itu, Mohammed bin Salman --yang kerap disebut kelompok diplomat luar dengan singkatan MBS-- juga diangkat sebagai Menteri Pertahanan dan Sekretaris Jenderal Royal Court (istana kerajaan keluarga Saudi) di hari yang sama.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ia ditunjuk sebagai Ketua Council for Economic and Development Affairs, sebuah badan yang baru dibentuk untuk menggantikan Supreme Economic Commission.
Dewan tinggi yang anggotanya berisi 22 pejabat setingkat menteri itu punya peran penting dalam upaya Saudi melepaskan ketergantungan ekonomi negaranya terhadap sumber daya minyak --Saudi Vision 2030.
Perjalanan Raja Salman ke beberapa negara di Asia beberapa bulan lalu, misalnya, dilakukan untuk menyokong program tersebut.
Dalam soal ekonomi ini, MBS diberi kewenangan untuk mengontrol Saudi Aramco, perusahaan minyak negara yang punya predikat sebagai World’s Most Valuable Company karena punya cadangan minyak paling besar di dunia, dengan produksi per harinya yang juga paling banyak di dunia.
Mohammed Bin Nayef (Foto: Reuters/Lucas Jackson)
zoom-in-whitePerbesar
Mohammed Bin Nayef (Foto: Reuters/Lucas Jackson)
Bin Nayef vs Bin Salman
ADVERTISEMENT
Sebelum Raja Salman naik takhta dua tahun yang lalu, nama MBS belumlah terkenal. Perhatian khalayak justru jatuh pada Mohammed bin Nayef, yang dipilih oleh Raja Salman untuk mengisi pos putra mahkota menggantikan Muqrin bin Abdulaziz.
Pilihan tersebut menuai respons positif dari masyarakat. Pasalnya, sebelum Mohammed bin Nayef menjadi putra mahkota, raja dan putra mahkota sebelumnya adalah anak dari pendiri Saudi, Abdulaziz bin Saud. Sementara Mohammed bin Nayef adalah cucu Abdulaziz dari Nayef bin Abdulaziz. Apalagi, Nayef adalah sosok penting dalam kontraterorisme di Saudi, yang berjasa melucuti kegiatan Al Qaeda di negeri itu.
Selain itu, Mohammed bin Nayef juga hanya memiliki anak perempuan. Logikanya, apabila nanti Mohammed bin Nayef mengambil alih kekuasaan, ia akan memilih penerusnya sebagai raja berdasarkan meritokrasi ketimbang keturunan seperti yang selama ini terjadi.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, ketika pada akhirnya Mohammed bin Nayef juga dianulir dari kemungkinan menggantikan Raja Salman, pandangan sinis masyarakat luas terhadap naiknya pengaruh seorang Mohammed bin Salman kembali menyeruak.
Apalagi, hubungan MBS dan Mohammed bin Nayef memang diketahui tak baik. Saat Mohammed bin Nayef masih menjadi putra mahkota, sosoknya justru kalah ketimbang MBS. Anak Raja Salman tersebut justru mengambil peran yang lebih besar dalam menentukan susunan formasi aliansi militer negara-negara Arab melawan ISIS --bidang yang sebetulnya sangat dikuasai Mohammed bin Nayef, sedangkan Nayef sendiri justru tak dilibatkan apa-apa meski menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri.
Mohammed bin Salman dan Donald Trump (Foto: REUTERS/Kevin Lamarque)
zoom-in-whitePerbesar
Mohammed bin Salman dan Donald Trump (Foto: REUTERS/Kevin Lamarque)
Pengaruh di Kawasan
Selain memiliki pengaruh yang luar biasa di dalam negeri, Mohammed bin Salman juga menjadi sosok penting pada kegiatan Saudi di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Posisinya sebagai Menteri Pertahanan memastikan hal tersebut. Selain berperan besar dalam pembentukan aliansi negara-negara Arab melawan ISIS, MBS juga disebut-sebut menjadi pejabat Saudi yang paling bertanggung jawab atas keterlibatan Saudi dalam perang sipil di Yaman --perang antara kelompok syiah Houti dan pasukan mantan presiden Ali Abdullah Saleh melawan pasukan Presiden Abdrabbuh Mansur Hadi yang terpinggirkan.
Peran lain MBS adalah dalam kisruh Arab-Qatar yang belakangan terjadi dan masih belum reda sampai saat ini. Ia, bersama Sheikh Mohammed bin Zayed dari Uni Emirat Arab, menjadi dua orang yang paling getol dalam mendorong pengambilan sikap keras terhadap Qatar. Mohammed bin Zayed, sering disebut dengan MBZ, adalah Putra Mahkota Uni Emirat Arab --meski ia disebut banyak orang sebagai penguasa UEA yang sebetulnya.
ADVERTISEMENT
“Permainan ini adalah soal meningkatnya peran duo Arab (Mohammed bin Salman dan Mohammed bin Zayed) sebagai arsitek kebijakan regional Arab,” jelas Ayham Kamel, Direktur Timur Tengah dan Afrika Utara, pada Eurasia Group seperti dikutip Bloomberg.
Duet Bin Salman-Bin Zayed memang berperan vital. Keduanya sama-sama pemegang kekuasaan negaranya masing-masing. Terlebih dengan penguasaan minyak kedua negara dan pembelian senjata dari Amerika Serikat yang berada di tangan keduanya, dua negara tersebut disebut-sebut telah berusaha secara konsisten untuk membentuk rupa regional Timur Tengah.
Sederhananya, Mohammed bin Salman dan Mohammed bin Zayed adalah dua orang yang menentukan jalannya Timur Tengah, dengan mendukung pemimpin dan kelompok yang mereka sukai, dan menentang kelompok dan pemimpin negara yang tak mereka sukai.
ADVERTISEMENT
“Ini belum pernah terjadi. Selama ini, yang kurang dari negara-negara Teluk adalah detail dalam proses strategis kawasan. Namun dengan keduanya berada di titik depan pembentukan kebijakan kawasan, kampanye ini [Saudi dan UAE untuk mendominasi kawasan] lebih jelas terencana,” ucap Ayham Kamel.
Hal ini sangat terlihat dalam kasus Arab-Qatar. Sikap Qatar yang secara agresif mencoba mengambil pengaruh di Timur Tengah ditanggapi dengan keras oleh Mohammed bin Salman. Ketika Qatar telah bertindak terlalu jauh di regional Arab, MBS langsung menghadapinya dengan keras.
Qatar memang memiliki sikap yang berbeda dengan banyak kompatriotnya di jazirah Arab. Dengan diplomasinya yang terbuka ke semua pihak, Qatar tak hanya dekat dengan negara-negara Arab atau Amerika Serikat sebagai aliansi tradisional mereka. Negara dengan GDP perkapita tertinggi di seluruh dunia tersebut juga dekat dengan Iran yang menjadi lawan dari negara aliansinya yang lain.
ADVERTISEMENT
Terlebih, Qatar juga punya sikap yang tak disukai negara-negara Arab lainnya, seperti coverage Al Jazeera di Arab Spring, sikap Emir Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani yang secara umum mendukung demokratisasi, dan dukungan Qatar terhadap Hamas yang keras dan Ikhwanul Muslimin yang dilarang di Saudi dan UAE.
Maka, ketika Presiden AS Donald Trump mengunjungi Timur Tengah, hal tersebut dilihat sebagai jaminan atas aksi negara-negara Arab seperti Saudi dan UAE untuk bertindak keras terhadap Qatar.
Tindakan keras itu sebetulnya adalah perpanjangan sikap Amerika Serikat dalam konfliknya dengan Iran. Hal ini diungkapkan oleh Tia Mariatul Kibtiah, pengamat Timur Tengah dari Universitas BINUS, yang melihat bahwa Arab-Qatar bagaikan “diplomatic proxy war” antara Amerika Serikat dan Iran.
ADVERTISEMENT
“Bahkan sebetulnya kelompok-kelompok yang disebut itu kan (Ikhwanul Muslimin dan Hamas) yang terdaftar teroris di AS, kok tiba-tiba Saudi ikut-ikutan?” ujarnya saat dihubungi kumparan, Rabu (21/6).
Mohammed bin Salman dan Mohammed bin Zayed seperti mengantongi restu dari AS.
“Akibat kunjungan Trump beberapa waktu terakhir, yang membuat negara-negara seperti Saudi dan UEA layaknya punya bekingan dan merasa bisa melakukan apa saja," ucap Yezid Sayigh, peneliti senior di Carnegie Middle East Center di Beirut, Lebanon.
Donald Trump bertemu dengan Raja Salman (Foto: REUTERS/Jonathan Ernst)
zoom-in-whitePerbesar
Donald Trump bertemu dengan Raja Salman (Foto: REUTERS/Jonathan Ernst)