Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Sebuah notifikasi masuk ke akun taaruf online milik Anto pada 15 Desember 2020, memberitahukan bahwa ada seorang perempuan yang mau bertaaruf atau berkenalan dengannya. Sepanjang tahun itu, Anto memang giat cari jodoh. Lelaki asal Kuningan, Jawa Barat, itu menarget: tahun 2021 ia sudah harus punya pasangan halal.
Untuk memenuhi target tersebut, Anto mengupayakan sejumlah cara, mulai mencari calon istri dari orang-orang di lingkungan terdekatnya sampai bertaaruf dengan perempuan dari jaringan yang ia kenal. Namun, upaya-upaya itu belum membuahkan hasil. Sampai suatu hari, seorang kawan merekomendasikan jalur baru: taaruf online.
Usul itu tak pernah terpikirkan oleh Anto, sebab ia semula tak berencana mencari jodoh dari orang asing yang belum ia kenal. Namun, karena penasaran, ia pun ikut mendaftar.
“Pengin tahulah, gimana sih cara kerjanya,” kata pria 26 tahun itu saat berbincang dengan kumparan, Selasa (5/4).
Taaruf online itu berbasis situs web. Namanya Mawaddah Indonesia. Di situs tersebut, Anto diminta untuk mencantumkan data diri secara lengkap. Ia juga mengisi formulir mengenai kriteria calon pasangan yang diinginkan, mulai ciri fisiknya seperti warna mata dan tinggi badan, sampai visi-misi pernikahan.
Meski awalnya iseng karena penasaran, Anto mengisi form itu secara serius. Ia mencari pasangan yang memiliki rambut panjang, warna mata biru, dan tinggi semampai minimal 155 cm.
“Tapi saya kasih catatan di situ, bahwa untuk kriteria fisik enggak harus sama persis seperti itu,” kata Anto. Ia berpandangan, syarat fisik memang penting, tapi bukan nomor satu.
Setelah semua formulir yang menjadi syarat itu diisi, jadilah semacam curriculum vitae (CV) yang bisa dilihat semua anggota taaruf online di situs Mawaddah Indonesia. Jika ada yang tertarik dengan CV tersebut, ia bisa mengajukan taaruf. Selanjutnya, pemilik CV akan memutuskan untuk menyetujui permintaan taaruf itu atau tidak.
Ketika Anto mendapat notifikasi bahwa seorang perempuan ingin bertaaruf, ia tak dapat melihat nama dan foto perempuan itu. Informasi tersebut baru ditampilkan saat Anto menyetujui permintaan taaruf.
Begitu pun ketika Anto tertarik dengan CV perempuan tertentu yang memuat kriteria seperti yang ia harapkan, ia tak bisa melihat nama dan foto perempuan itu. Ia baru melihat identitasnya jika mengajukan taaruf dan mendapat persetujuan perempuan tersebut.
Intinya, setelah kedua pihak setuju untuk bertaaruf, barulah mereka bisa saling melihat nama dan foto dengan mengeklik tombol “Izin Lihat Foto”.
Jodohku Teman SMA-ku
Usai tahap pengisian formulir data diri dan kriteria pasangan yang diharapkan, pencarian jodoh pun dimulai. Anto menyaring calon pasangannya di situs taaruf tersebut berdasarkan dua kriteria: suku dan domisili.
Ia mencari perempuan Sunda karena sekultur dengannya. Ia juga mencari perempuan yang berdomisili dekat dengan tempat kerjanya di Jakarta, atau dekat dengan tempat kuliahnya di Bandung, atau dekat dengan tempat asalnya di Kuningan, Jawa Barat.
Dari saringan tersebut, Anto lalu mengajukan taaruf kepada seorang perempuan dan mendapat persetujuan. Saat proses taaruf berlangsung, sistem pada situs taaruf online itu mengeblok keduanya agar tak bisa bertaaruf dengan orang lain. Ini mencegah seseorang bertaaruf dengan lebih dari satu orang pada satu waktu.
Di tengah jalan, proses taaruf Anto tak berlanjut lantaran pihak perempuan mengundurkan diri. Namun Anto tak patah arang dan kembali mencari CV perempuan yang cocok dengan kriterianya. Tak dinyana, ada perempuan yang satu SMA dengannya di SMA Negeri 2 Kuningan.
“Dia cantumkan SMA-nya dan tempat kuliahnya. Saya bisa tebak kira-kira siapa nih, walaupun saya belum tahu pasti. Lupa-lupa ingat [teman SMA],” kata Anto yang bekerja sebagai karyawan swasta di ibu kota.
Penasaran, Anto pun mengecek buku tahunan SMA-nya untuk menerka siapa gerangan perempuan pemilik CV itu. Saat permintaan taarufnya diterima, ia kaget karena perempuan itu ternyata temannya sendiri.
“Senang, enggak nyangka. Saya sampai lupa kalau tadinya cuma pengin tahu cara kerja taaruf online,” ujar Anto, menyeringai.
Begitu tahu perempuan itu adalah teman SMA yang cukup ia kenal, Anto malah bingung apa yang harus ia tanyakan di kolom chat. Padahal chat dibatasi hanya 11 pesan.
“Sempat tanya, dari kapan mulai belajar [intens] soal Islam, siapa guru ngajinya. Lebih ke penyamaan [perspektif], karena kalau belajar dari guru yang sama, pemikiran pun enggak akan jauh beda,” kata Anto.
Tapi Anto tak bertanya apakah perempuan tersebut mau menikah dengannya atau tidak. Ia pikir, orang-orang yang sudah masuk situs tersebut pastilah memang berniat menikah.
Anto lanjut mengobrol via chat selama 2–3 hari dan membaca visi-misi rumah tangga kawan perempuannya itu. Ia lalu memantapkan niat dan menyampaikan keinginan datang ke rumah orang tua calonnya.
Tak sampai dua pekan setelahnya, 2 Januari 2021, Anto bertandang dan melamar Devi Ayu, perempuan yang baru ditaarufinya dengan kilat. Lamarannya diterima, dan mereka menikah pada 10 Februari 2021—tak sampai dua bulan dari proses taaruf online keduanya.
Devi—yang kini telah menjadi istri Anto—merasa dimudahkan mendapat jodoh melalui taaruf online tersebut. Yang terpenting, menurutnya, dalam taaruf online itu kedua pihak menyamakan visi-misi pernikahan, karier, serta pendidikan anak di masa depan.
Meski demikian, bukan berarti taaruf online ini tak memiliki kesulitan sama sekali. Menurut Devi, salah satu tantangannya ialah memvalidasi informasi CV dari calon pasangan.
“Kan di situ dituliskan seperti apa karakternya, baik dan buruk, juga lingkungannya seperti apa. Itu validasinya agak susah. Ketika menikah harus ditanya lagi. Awalnya [saya] ragu soal lingkar pertemanan [Anto], tapi mengingat saat SMA pergaulannya tidak macam-macam, jadi bismillah saja,” tutur Devi.
Yang Gagal karena Melanggar
Ada yang sukses, ada pula yang gagal. Dede yang berasal dari Jakarta Barat pernah mengikuti taaruf online yang diinisiasi oleh kantornya pada 2019. Ketika itu, seorang perempuan asal Bojonegoro, Jawa Timur, tertarik padanya.
Dede pun memutuskan taaruf dengan perempuan itu. Dalam proses taaruf tersebut, keduanya boleh saling mengobrol untuk saling mengenal di sebuah grup yang berisi Dede, si perempuan, dan seorang penengah.
“Karena prinsip taaruf itu tidak boleh chat personal. Kalau mau chat, harus di grup yang ada moderator,” kata Dede kepada kumparan di salah satu kafe di Jakarta Barat, Senin (4/4).
Setelah Dede mengetahui hal-hal umum tentang sang perempuan, ia tertarik untuk melihatnya secara langsung. Datanglah ia ke Bojonegoro. Dede pun tertarik menikahi perempuan itu.
Di sisi lain, Dede juga bertaaruf dengan perempuan lain asal Malang. Tetapi, terhadap perempuan yang satu ini, orang tua Dede tak setuju. Alasannya terkait dengan kepercayaan Jawa. Dede anak pertama, sedangkan perempuan itu anak ketiga. Konon, anak pertama tidak boleh menikah dengan anak ketiga.
Karena terhalang tradisi dengan si perempuan Malang, Dede pun memilih perempuan Bojonegoro yang ia taarufi pertama kali. Dede bertanya ke calonnya soal mahar. Perempuan itu tak ingin memberatkan. Ia hanya ingin Dede hafal surat Ar-Rahman.
Tapi, Dede sesungguhnya belum sreg dengan perempuan itu. Walaupun begitu, ia lama-lama rutin melakukan chat personal dengan si perempuan—dan itu adalah pelanggaran berat sekaligus kesalahan fatal.
Alih-alih taaruf, Dede dan calonnya seperti orang pacaran. Chat pribadi mereka lambat laun bahkan menjurus ke hal-hal mesum.
“Kecolongan chat sampai tiga bulan. Ngobrolnya lebih dalam dan menjurus ke hal yang menimbulkan syahwat. Nanya lagi apa, minta foto. Terus minta foto pakai BH dan pas belum ganti baju,” cerita Dede.
Setelah enam bulan seperti itu, Dede malah tak tertarik dengan calonnya dan memutuskan berhenti bertaaruf—yang tak seperti taaruf itu.
“Secara nafsu aku terpuaskan, tapi secara batin enggak,” ujarnya, menyesal.
Admin Taaruf Bertemu Jodoh
Taaruf online bukan cuma mempertemukan dua insan yang hendak menikah, tapi juga menginspirasi para alumninya untuk membuat sistem perjodohan serupa. Wahyu EP, misalnya, membuat akun taaruf online @taarufan_id di Instagram pada Desember 2017.
Inspirasi membikin akun itu datang ketika ia mulai resah karena usianya menjelang 30-an dan belum juga bertemu jodoh.
“Alih-alih mendaftar, saya merasa tertantang untuk membuat akun taaruf sendiri. Saya pikir, jika saya membuat akun taaruf lalu saya posting profil saya sendiri, pasti lebih maksimal ikhtiar saya,” kata Wahyu yang kini berusia 34 tahun.
Benar saja, ada perempuan tertarik dengan profilnya di akun taarufnya, dan perempuan itu sekarang menjadi istrinya. Sang istri mula-mual tak tahu fakta ini. Barulah di malam ketiga pernikahan, Wahyu memberanikan diri membuka rahasia.
“Pas saya bilang saya adalah adminnya, mukanya syok memerah malu. Saya juga malu dan salting. Sejenak kami saling terdiam, lalu tertawa bersama-sama,” ujar Wahyu.
Ia sendiri pernah merasakan sulitnya mencari jodoh lewat taaruf online. Itulah sebabnya, ujar Wahyu, ia paham kondisi psikis para anggotanya kini di @taarufan_id.
Bukan cuma Wahyu yang bertemu jodoh setelah mengelola akun taaruf. Admin @taarufsalafy, Abu Urwah, juga bertemu jodoh dari akun taaruf yang ia kelola. Akun taaruf itu beranggotakan 270 laki-laki dan 350 perempuan.
“Mereka (anggota @taarufsalafy) dulu beberapa kali mengeluh, ‘Tolong cariinlah [jodoh], bantulah.’ Saya juga dulu susah nyarinya kan,” kata Abu Urwah yang sudah beberapa kali ditolak saat mengikuti taaruf online.
Kini, ia berdua dengan istrinya mengkurasi dan memediasi proses taaruf di @taarufsalafy. Ada sekitar 18 grup taaruf yang mereka awasi agar prosesnya berlangsung sesuai syariah.
Dosen Psikologi Universitas Mercu Buana dan praktisi taaruf, Indra Kusumah, mengatakan bahwa untuk menemukan jodoh lewat taaruf online, perlu dipastikan dulu bahwa pengelolanya memang orang terpercaya, jujur, yang menjamin keamanan peserta.
Jika penyelenggara sudah dipastikan aman, maka proses taaruf online bisa menjadi solusi bagi muslimin dan muslimah yang ingin segera menikah. Sebab, menurut Indra, taaruf bisa lebih objektif ketimbang pacaran yang kerap mengedepankan perasaan ketimbang logika dalam menilai pasangan.
Meski demikian, Indra mengimbau peserta taaruf online untuk mengecek latar belakang pasangan secara teliti, salah satunya dengan metode interview ke calon pasangan.
“Dalam psikologi, interview atau tanya jawab termasuk alat untuk mengumpulkan data. Dalam proses taaruf itu juga begitu, apalagi saat bertemu dengan keluarga. Meski baru bertemu seminggu, dengan metode tanya jawab ini bisa mengenal pasangan lebih cepat daripada pacaran, yang misal sudah 10 tahun tapi yang dikenal [dari pasangan] hanya 3 persen, karena pacaran bisa jadi cenderung manipulatif,” ujar Indra, Selasa (5/4).
Indra juga berpesan agar para peserta taaruf sudah siap menikah, bukan hanya ingin menikah, sebab menikah perlu kesiapan mental, spiritual, dan finansial.
– Indra Kusumah, praktisi taaruf dan dosen psikologi
Terakhir, ia memberi nasihat agar peserta taaruf dapat mengelola perasaan agar tak mudah kecewa, sebab bisa jadi taaruf tak berhasil dan jodoh memang belum datang.
“Masalahnya, kalau sudah menyimpan rasa duluan, nanti patah hati [kalau tidak jodoh]. Kadang kalau sudah nadzor [melihat calon pasangan] secara langsung, itu bisa jadi enggak tertarik,” kata Indra.
Apa pun, taaruf online sebagai medium mencari jodoh cukup banjir peminat. Bagaimana bisnis ini mulanya berkembang dan mengapa ia kini bisa menjamur?