KUHAP Baru Akan Atur Proses Hukum Henti Sementara Saat Praperadilan & Batasi PK

16 Maret 2025 14:05 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Edward O.S. Hiariej di Surabaya. Foto: Kemenkum RI
zoom-in-whitePerbesar
Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Edward O.S. Hiariej di Surabaya. Foto: Kemenkum RI
ADVERTISEMENT
Wakil Menteri Hukum, Edward O.S. Hiariej atau Eddy Hiariej, mengatakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru perlu mengatur ulang terkait Praperadilan dan Peninjauan Kembali (PK).
ADVERTISEMENT
Terkait praperadilan, saat ini terdapat lima objek yaitu: sah tidaknya penangkapan dan penahanan; sah tidaknya penghentian penyidikan dan penuntutan; sah tidaknya penyitaan barang bukti; dan sah tidaknya penetapan tersangka; serta ditambah ganti rugi atau rehabilitasi.
Praperadilan bisa dilakukan untuk semua upaya paksa, mulai dari penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat.
“Praperadilan nantinya akan diperluas,” ujarnya saat menjadi pembicara di Seminar Nasional R-KUHAP dan Masa Depan Hukum Pidana, yang diselenggarakan oleh Universitas Airlangga, Jumat (14/3). Keterangan tersebut disampaikan kepada media pada Minggu (16/3).
Ilustrasi palu sidang diketuk tanda putusan hakim dijatuhkan. Foto: Shutterstock
Eddy menyebut bahwa terdapat satu upaya paksa yang belum ada di KUHAP yang berlaku saat ini, yaitu pemblokiran transaksi perbankan.
“Jadi kita berikan definisi bahwa pemblokiran adalah penghentian sementara transaksi perbankan yang dilakukan atas perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim, kemudian hal itu juga merupakan objek dari pra peradilan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Eddy mengatakan praperadilan harus dilakukan dengan adil. Ketika seseorang mengajukan gugatan praperadilan, proses hukum itu harus dihentikan untuk sementara waktu.
Menurutnya, yang terjadi saat ini adalah praperadilan gugur ketika masuk pemeriksaan sidang. Ditambah lagi dengan putusan MK yang menyatakan praperadilan bisa gugur ketika berkas sudah diberikan kepada penuntut umum.
“Saya kira, karena ia melakukan interupsi terhadap upaya paksa yang dilakukan, maka seharusnya itu di-stop, dihentikan untuk sementara waktu sampai putusan praperadilan. Supaya tidak alasan lagi diulur-ulur waktunya, sementara perkara itu berjalan terus sampai tahap penuntutan kemudian hakim menggugurkan dengan alasan perkara sudah masuk ke tahap berikutnya,” ujar Eddy yang juga pernah mengajukan praperadilan atas status tersangka KPK.
ADVERTISEMENT
“Saya kira ini tidak adil karena ini tidak memberikan perlindungan terhadap HAM,” tambahnya.
Ilustrasi meja pengadilan. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Kemudian yang menjadi perhatian dalam KUHAP baru, lanjutnya, adalah tentang Peninjauan Kembali (PK). Tunggakan perkara di Mahkamah Agung (MA) saat ini sebanyak 31 ribu, sedangkan jumlah Hakim Agung tidak sampai 50 orang.
“Di Indonesia ini menganggap PK sebagai peradilan tingkat empat. PK bisa berkali-kali berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, padahal di dalam sistem peradilan pidana ada asas perkara pidana itu harus ada akhirnya,” terang Eddy.
“Ya kalau itu diulang-ulang PK, lalu kepastian hukumnya di mana? Kita harus membatasi PK. Saya kira KUHAP harus membatasi itu,” imbuhnya.
Dia memaparkan, PK dalam literatur Belanda itu sebagai alat hukum yang amat luar biasa, karena PK akan membatalkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, dan itu tidak bisa berkali-kali sebetulnya.
ADVERTISEMENT
“Intinya harus dibatasi. Karena dampaknya akan terjadi penumpukan perkara,” tandas Eddy.