La Nyalla Sebut Polarisasi Akibat Presidential Threshold Picu Islamophobia

27 Agustus 2022 3:04 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti menjadi keynote speaker di acara Kongres Umat Islam di Asrama Haji Kota Medan, Jumat (26/8/2022). Foto: Rahmat Utomo/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti menjadi keynote speaker di acara Kongres Umat Islam di Asrama Haji Kota Medan, Jumat (26/8/2022). Foto: Rahmat Utomo/kumparan
ADVERTISEMENT
Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti menjadi keynote speaker pada acara Kongres Umat Islam di Asrama Haji Kota Medan, Jumat (26/8). Pada kesempatan itu, dia menyebut 3 penyebab gejala Islamophobia di Indonesia terus meningkat.
ADVERTISEMENT
“Pertanyaannya, mengapa fenomena (Islamophobia) belakangan semakin menguat di Indonesia? selain faktor geopolitik internasional, saya akan mencoba membahas faktor dalam negeri,” kata La Nyalla di acara yang dihadiri perwakilan berbagai ormas di Indonesia tersebut.
La Nyalla menerangkan, ada beberapa faktor yang memicu peningkatan Islamophobia. Pertama, soal akibat adanya Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden. Kata dia, pola ini membuat bangsa Indonesia terpolarisasi potensi konflik antarkelompok.
“Kita semua masih mengenal istilah Presidential Treshold, di sinilah akar masalahnya, karena akibat aturan ambang batas ini, pasangan calon yang dihasilkan terbukti sangat terbatas. Celakanya dari dua kali pemilihan presiden. Negara ini hanya mampu menghasilkan dua pasang calon yang head to head,” kata La Nyalla.
Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti (kedua kanan) saat memimpin sidang paripurna luar biasa DPD RI ke-1 di komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (4/11/2019). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Menurut dia, dampak polarisasi masyarakat cukup tajam. Hal itu diperparah pola komunikasi elite politik yang juga mengedepankan kegaduhan.
ADVERTISEMENT
“Sehingga semakin lengkap pembelakan yang terjadi di masyarakat sehingga puncaknya pada bangsa ini secara tidak sadar membenturkan Pancasila dengan Islam hanya karena semangat melakukan apa pun yang bersifat antitesa,” ujar La Nyalla.
Padahal, kata la Nyalla, tidak ada yang mampu menjelaskan pertentangan antara nilai Pancasila dengan Islam. Namun menurutnya, negara tidak hadir menyelesaikan persoalan ini.
“Semakin menjadi lebih parah ketika ruang dialog yang ada juga semakin dibatasi dan persekusi baik secara formal maupun dibatasi secara resmi oleh institusi negara,” ujar La Nyalla.
“Kita menyaksikan sweeping bendera, sweeping kaus, sweeping forum diskusi, pembubaran pengajian dan lainnya. Ini sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi,” kata La Nyalla.
Sehingga menurutnya tidak heran bila sejumlah lembaga internasional menyatakan indeks demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran.
ADVERTISEMENT
“(lalu) muncul istilah kampret, cebong kadrun, radikal, dan lain sebagainya sungguh sangat tidak sehat untuk proses perjalanan politik sebuah bangsa,” paparnya.
Ilustrasi pemungutan suara di TPS Foto: Anggi Dwiky/kumparan
Lanjut La Nyalla, faktor lainnya di antaranya adanya semangat membangun kebinekaan dengan kampanye modernisasi dan moderasi agama yang tidak tepat sasaran.
“Seolah agama dipaksa dimoderatkan, tetapi yang selalu dilakukan pembahasan selalu Islam. Islam selalu menjadi tertuduh sebagai penyebab kemuduran, dalam hal kemampuan melihat perbedaan dan keberangaman,” ungkapnya
Kemudian akibatnya pemahaman agama yang cenderung tekstual dan ini justru memicu menguatnya politik identitas.
“Ini sebagai reaksi alami dari bentuk ketidaksetujuan terhadap konsep modernisasi agama yang menyudutkan Islam tersebut,”katanya
Lalu faktor lainnya, menurut La Nyalla, lantaran terjadi perubahan naskah asli UUD 1945 pada 1999-2002.
ADVERTISEMENT
“Isinya telah mengubah 95% isi pasal-pasal di dalamnya, sehingga tidak nyambung lagi dengan Pancasila,” ujarnya.