Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Lakon Ganjil Charles Jenkins, Tentara AS yang Membelot ke Korea Utara
26 Januari 2018 16:30 WIB
Diperbarui 13 Juli 2020 4:32 WIB

DESERTION
Charles Jenkins bukanlah orang yang pintar dan ia tahu itu. Pada sebuah malam di musim dingin Januari 1965, alkohol, ketakutan, serta beku malam yang menusuk berhasil mengalahkan kewarasannya.
Di 1965, Perang Dingin mencapai puncaknya. Desing peluru Perang Korea memang sudah tak banyak terdengar dalam 12 tahun terakhir. Namun, perang tak pernah benar-benar berakhir. “Kami hanya gencatan senjata,” begitulah kalau kedua Korea boleh menjelaskan status perang mereka setelah 1953.
Perang adalah keniscayaan. Ia adalah satu sisi mata koin, dengan Amerika Serikat menjadi sisi lain dari koin yang sama. Pada tahun yang sama, tak kurang AS terlibat di, paling tidak, lima perang besar dunia: Perang Dingin, Perang Korea, Perang India-Pakistan, Republik Dominika, dan Perang Vietnam.
Ketakutan atas yang disebut terakhirlah, yang berhasil menggerogoti habis pikiran Jenkins.
Saat itu, Sersan Jenkins berumur 24 tahun. Ia sudah dua tahun ditempatkan di pos Korea Selatan oleh angkatan darat militer AS. Ia dan unitnya bertugas melakukan patroli malam di zona demiliterisasi Korea (DMZ).
Yang tak diketahui banyak orang, dalam satu tahun terakhir, ia mengalami depresi.
Pertama, karena ketakutan yang tak habis-habis akan kemungkinan dibedil oleh tentara Korut yang berada di sisi seberang, karena menganggap patroli mereka sebuah agresi.
Kedua, dan yang paling utama, adalah karena Perang Vietnam. Perang yang terus mengganas sejak 1955 itu berhasil membuatnya ketakutan. Sampai 1965, dua ribu tentara AS tewas di tangan Vietcong --naik 25 kali lipat selama tujuh tahun setelahnya. Ia takut ditempatkan ke sana. Pada akhirnya, alkohol akrab sebagai upaya Jenkins melarikan diri dari ketakutan.
Hingga pada malam 5 Januari 1965, Jenkins mengambil keputusan paling bodoh yang bisa diambil orang paling bodoh yang berpatroli malam di DMZ.
Alkohol, ketakutan pada Vietnam, serta beku malam yang menusuk, berhasil mengalahkan kewarasan Jenkins. Pada teman-teman jaganya, Jenkins berkata mendengar suara-suara dan berniat memeriksanya seorang diri.
Jenkins berbohong. Sebuah kaus putih dia ikatkan di senapan laras panjangnya.
Ia menyeberang ke Korea Utara.

DISAPPOINTMENT
Charles Jenkins bukanlah orang yang pintar dan ia tahu itu. Pada umur 15 tahun, ia ditendang keluar dari sekolahnya. Drop out. Di tahun yang sama, 1955, Jenkins memalsukan dokumen kelahiran, mengaku berusia lebih tua, hanya untuk bergabung dengan US National Guard --garda paramiliter yang menjadi cadangan kekuatan militer AS.
Baru tahun 1958 ia bergabung dengan tentara Angkatan Darat reguler AS --meski IQ-nya berada di bawah rata-rata prajurit yang diterima. Ia ditugaskan di Divisi Kavaleri Pertama, yang bermarkas di Fort Hood, Texas. Saking bahagianya berhasil masuk ke Angkatan Darat, di lengan bawahnya ia membuat sebuah rajah: U.S. ARMY.
Sebelum membelot ke Korea Utara pada 1965, ia telah bertugas di Korea Selatan dari 1960 hingga 1961; di Jerman Barat dari 1962 sampai 1964; dan akhirnya kembali ke Korea Selatan hingga malam nahas di Januari 1965.
Kebodohannya mengecewakan: ia berpikir, dengan membelot ke Korea Utara, ia dapat mencari suaka ke Kedutaan Besar Uni Soviet di Pyongyang, yang akan membuatnya kembali ke Amerika Serikat lewat jalan pertukaran tahanan antara Soviet dan AS.
“Aku tidak berpikir secara jernih,” tulis Jenkins dalam memoarnya, The Reluctant Communist (2005). “Tapi saat itu keputusanku punya logika tersendiri, yang membuat aksiku (membelot ke Korut) seperti tidak dapat dihindari lagi.”

DESOLATION
Charles Jenkins bukanlah orang yang pintar dan ia tahu itu. Namun, ia baru mengetahui sisi dominan kebodohannya setelah ia menyerah pada tentara Korea Utara.
Tiga setengah minggu setelah “hilang” ke sisi lain DMZ, suaranya terdengar di radio di seantero negeri Kim Il Sung. Saat itu, ia berkata ingin mencari “hidup yang lebih baik” dengan membelot ke Korea Utara.
Tentu saja membelot ke Korea Utara tak pernah bisa diartikan sebagai “hidup yang lebih baik”. Setelah mengetahui bahwa salah satu serdadunya desersi, Pentagon mengubah status militer Jenkins menjadi “defector”. Pembelot. Dan hukuman untuk seorang pembelot hanya satu: mati.
“[Ini adalah] kesalahan terbesar di dalam hidupku,” aku Jenkins, dikutip dari media Inggris, The Independent.
Pantas saja. Usai berhasil menyeberang ke Korea Utara, ia justru ditempatkan di sel sempit tanpa pemanas bersama tiga orang tahanan perang lain.
Ia dibuat kelaparan, dipukuli, dan disiksa secara berkala. Ia dipaksa menerima nama baru, Min Hyung Chang, dan dipaksa melupakan nama Jenkins. Bahkan, seperti dikutip dari Financial Times, tato kebanggaan di lengannya (U.S. ARMY) dikuliti oleh dokter dengan pisau dan gunting --tentu saja, tanpa anestesi.
Sela-sela penyiksaan malah lebih menyedihkan: indoktrinasi. Dalam sehari, Jenkins menghabiskan 10 jam untuk menghapal tulisan-tulisan Pemimpin Tertinggi Kim Il Sung. Usai menghafal, ia dipaksa meneriakkan hafalannya ke para “Communis Minder”, seperti bagaimana ia menyebut petugas-petugas indoktrinasi Korea Utara. Salah sedikit saja, pelajaran menghafal ditambah menjadi 16 jam.
“Haram jadah-haram jadah itu,” tulis Jenkins di sebuah memoarnya, “Mereka membenci kami dan orang-orang AS dengan sangat dalam. Mereka tak lagi melihat kami sebagai manusia dan sangat bahagia membuat hidup kami bagaikan neraka.”
Periode neraka itu bertahan hingga tujuh tahun. Lebih parah, di negeri asalnya, Jenkins perlahan-lahan dilupakan.
Peruntungannya berubah di 1972. Alasannya? Tak ada yang tahu. Namun, tujuh tahun setelah menyeberang DMZ dari Korea Selatan, ia diberi kewarganegaraan Korea Utara. Tak hanya sampai di situ, pemerintah Korea Utara juga memberinya rumah pribadi.
Meski beberapa kali penyiksaan dan pengawasan ketat terus dilakukan, kehidupannya berangsur sedikit lebih baik. Ia kemudian diminta menjadi pengajar Bahasa Inggris di sebuah sekolah militer yang dikelola oleh Biro Mata-mata Partai Komunis Korea Utara.
Sounds good, doesn’t work. Tujuan mempekerjakan Jenkins, mudah ditebak, adalah untuk mengajari mata-mata Korea Utara bagaimana berbahasa Inggris dengan pelafalan Amerika Serikat.
Namun, aksen Carolina Utaranya yang amat kental --yang bagi orang-orang Amerika saja kadang sulit dipahami-- justru mempersulit kadet mata-mata Korea Utara belajar bahasa Inggris. Lucunya, baru di 1985 --belasan tahun setelahnya-- ia diberhentikan dari pekerjaan ganjilnya tersebut…
...dan mengantarnya ke pekerjaan absurd lain: bintang film.
Pada 1985, peran Kim Jong Il --anak Supreme Leader Kim Il Sung-- sudah cukup dominan. Celakanya, keyakinan Jong Il bahwa film propaganda sangat penting bagi perjuangan revolusionari negara komunis, membawa Jenkins ke nasib lainnya yang tak kalah komikal.
Dalam sebuah serial 20 episode berjudul Unsung Heroes, Jenkins ambil bagian sebagai orang Amerika Serikat yang menjadi sosok penjahat. Tokoh tersebut bernama Dr. Kelton, seorang penjahat asal Amerika Serikat.
“Kamu hanya akan menghabiskan waktu apabila menolak permintaan Korea Utara,” ucapnya, dilansir Financial Times. “Pada akhirnya kamu akan melakukannya juga. Aku sudah paham hal itu sedari dulu.”
Dr. Kelton dicitrakan sebagai seorang warmonger (penghasut perang) dari negeri kapitalis. Ia punya tujuan memelihara berlangsungnya Perang Korea, yang memberikannya keuntungan besar dari penjualan senjata AS ke Korea Selatan. Peran yang tak buruk bagi bintang film amatiran.
“Setelah film pertama, saat aku berjalan di jalanan sekitar rumah, orang-orang akan berteriak, ‘Kelton Bac-Sa [Dr. Kelton]!’” kenang Jenkins bercerita. “Bahkan, orang-orang Korea Utara sampai meminta tanda tanganku.”

DISTANCE
Charles Jenkins bukanlah orang yang pintar dan ia tahu itu. Namun, kasih tak mengenal senjang pandai-pandir --dan Jenkins bersyukur karena itu.
Jenkins, tak seperti kebanyakan Anda, dalam upaya desersinya yang menyedihkan, bisa menemukan jodohnya di negeri komunis totalitarian macam Korea Utara.
Well, memang lebih tepat jika dibilang ia “dipertemukan” dengan jodohnya oleh pemerintah Korea Utara.
Adalah Hitomi Soga, seorang perempuan Jepang, yang diculik oleh mata-mata Korea Utara dari Pulau Sado, sebelah barat Jepang, tahun 1978. Saat itu, Soga masih berusia 19 tahun. Ia diculik bersama ibunya yang sampai kini tak jelas bagaimana kabarnya.
Seperti Jenkins, Soga ditempatkan di sekolah militer yang sama dan bertugas mengajari calon mata-mata Korea Utara Bahasa Jepang, agar para calon intel itu menguasai bahasa tersebut bagaikan bahasa ibu mereka.
Babak baru kehidupan Soga ternyata menjadi babak baru hidup Jenkins pula.
Jenkins bertemu Soga tahun 1980, saat ia berusia 40 tahun sementara Soga baru 21. Militer Korea Utaralah yang mempertemukan keduanya. Mak Comblang paling ganjil sepanjang sejarah anak cucu Adam itu mengatur latar pertemuan keduanya lewat kursus Bahasa Inggris: agar Soga bisa berbahasa Inggris lewat arahan Jenkins.
Sepulang kursus, Soga diberi pemahaman (dipaksa, mungkin begitu pula dengan Jenkins meski ia tak pernah mengakuinya) bahwa keduanya akan menikah. Keduanya tahu ini hanya akal-akalan Korea Utara untuk menjadikan anak keduanya mata-mata mereka.
Tiga-puluh-delapan hari setelah pertemuan, keduanya menikah.
“Tidak lama setelah menikah, aku bertanya padanya, apa Bahasa Jepang dari ‘selamat malam’,” tulis Jenkins dalam memoarnya.
Maka, setiap malam, setiap hari, selama puluhan tahun, Jenkins akan mencium kening Soga tiga kali dan berkata, “Oyasumi,” yang akan menemui balas dari mulut Soga, “Good night.”
“Kami melakukan ini supaya kami tidak pernah lupa siapa kami sebenarnya dan dari mana kami berasal,” demikian kata Jenkins.
Adalah konsep yang aneh --jarak. Bagaimanapun ia berbentuk --ras, negara, bahasa, umur, nasib, ia selesai pada selamat malam.
“Sedikit demi sedikit, kami mulai mencintai satu sama lain,” begitu aku Soga. Ikatan itu terjalin atas kebencian mereka bersama pada Korea Utara.
Percik bahagia lain mulai menghampiri. Roberta Mika Jenkins, anak pertama mereka, lahir tiga tahun setelah pernikahan. Kemudian, Brinda Carol Jenkins menyusul dua tahun setelahnya. Cinta pada perempuan-perempuan inilah yang memberi daya Jenkins untuk bertahan.
“Saat aku bertemu dengannya, hidupku berubah banyak. Aku dan dia bersama --aku tahu kami bisa bertahan di Korea Utara. Dan kami berhasil bertahan.”
Meski demikian, menjadi aset propaganda Korea Utara tak menjamin hidup Jenkins dan keluarganya jadi jauh lebih baik. Ia tetap miskin dan kelaparan. Pemerintah Korea Utara tetap tak mengizinkan ia keluar rumah tanpa pengawasan. Keluarganya cuma mendapat ransum setangkup beras, sabun, dan pakaian.
“Berasnya penuh dengan serangga,” kata Jenkins. “Tapi ini lebih baik dari orang Korea biasa. Mereka tak dapat apa-apa.”

DEATH
Charles Jenkins bukanlah orang yang pintar dan ia tahu itu. Namun demikian, isi kepala adalah satu hal, dan jalan takdir adalah hal lain yang sama sekali berbeda. Pada 2002, nasib baik (akhirnya) datang padanya.
Jenkins, yang di masa kecil drop out ketika masih kelas 2 SMP, menemui dirinya terseret arus krisis diplomatik Korea Utara dan Jepang. Dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi di Pyongyang September 2002, Pemimpin Tertinggi Kim Jong Il mengaku pemerintahnya menculik 13 warga sipil Jepang selama dekade 70-an.
Dari 13 korban penculikan tersebut, lima disebut otoritas Korea Utara masih hidup. Kesepakatan antara Koizumi dan Jong Il pun dimulai, dengan Korea Utara berjanji mengembalikan kelima orang tersebut, sementara Jong Il membawa pulang bantuan medis senilai USD 10 juta dan 250 ribu ton makanan.
Soga adalah satu dari lima korban penculikan yang dimaksud. Masalahnya, Mika, Brinda, dan Jenkins tak termasuk dalam perjanjian tersebut.
Jarak kembali tercipta.
Publik Jepang, yang melihat keluarga Soga-Jenkins dengan kacamata kemanusiaan, mendesak pemerintah Koizumi untuk mengembalikan sisa keluarga Soga dari Korea Utara. Sayangnya, Amerika Serikat tak melihat Jenkins lewat kacamata yang sama. Ia hanyalah desertir, yang akan segera ditangkap ketika keluar dari Korea Utara.
Baru dua tahun setelahnya, diplomasi yang dilakukan Jepang berhasil membuahkan hasil. Korea Utara bersedia mengizinkan Jenkins, Mika, dan Brinda bertemu dengan istri dan ibunya. Pertemuan tersebut, dilansir The Guardian, terjadi di negara netral: Indonesia.
Seharusnya, pertemuan keluarga tersebut berlangsung sebentar saja. Ketiganya sudah dijadwalkan kembali ke Korea Utara. Namun begitu, upaya diplomasi Jepang berjalan lebih jauh lagi. Tak hanya membuat Korea Utara mau melepaskan ketiganya, Jepang juga berhasil mendesak AS untuk tak menangkapnya.
Jenkins dan kedua anaknya meninggalkan Korea Utara menuju Jepang.
Pada 11 September 2004, desertir Jenkins, berumur 64 tahun saat itu, kembali ke Camp Zama, markas Angkatan Darat Amerika Serikat yang berjarak satu jam perjalanan dari Tokyo. Sejarah tercipta.
Kepada Letnan Kolonel Paul Nigara, Jenkins menyerahkan diri, “Sir, I'm Sergeant Jenkins, and I'm reporting.” Setelah 39 tahun kabur dari markas militer AS, Jenkins menjadi desertir terlama yang pernah meninggalkan markas dan berhasil kembali.
Jenkins, tentu saja, menerima banyak hukuman. Ia dilucuti dari pangkatnya. Ia juga didakwa membantu musuh dan mengajak koleganya untuk desersi dan mendorong ketidaksetiaan antar prajurit. Ia menerima.
“Aku membuat kesalahan besar dalam hidupku. Namun, berhasil membawa dua anak perempuanku keluar dari sini, mungkin menjadi satu-satunya hal benar yang pernah kuperbuat,” ujarnya kepada TIME.
Kedua dakwaan tersebut, normalnya, menghasilkan hukuman mati. Tapi AS mencoba menghargai simpati warga negara aliansinya, Jepang. Ia dihukum 30 hari penjara militer, meski sudah dikeluarkan di hari ke-26 karena berkelakuan baik.
Setelah itu, selama dua bulan penuh, ia menghabiskan delapan jam setiap harinya untuk mendeskripsikan bagaimana kehidupan Korea Utara, bagaimana cara militer dan mata-mata mereka bekerja, juga informasi mendetail lainnya sebagai bahan intelijen militer AS.
Setelah itu, ia dan keluarganya tinggal di kampung halaman Soga di Pulau Sado. Ia bekerja sebagai penyambut tamu sembari menjajakan keripik senbei di Mano Park, salah satu tempat wisata di Sado. Beberapa kali dalam sehari, para tamu akan mengenali dia dan meminta foto bersama atau tanda tangan.
Kepada CBS, Jenkins berkata, “Berpikir kembali ke masa lalu, aku jelas-jelas bodoh. Jika ada Tuhan di surga, Dialah yang membawaku melewati semua ini.”
Awal Desember 2017, Jenkins meninggal dunia di kediamannya. Bukan karena peluru tentara Korea Utara, bukan akibat siksaan sipir penjara, bukan pula karena ranjau darat serdadu Vietkong di Perang Vietnam, apalagi kursi listrik peradilan Amerika Serikat untuk para pengkhianat. Jenkins tewas karena gagal jantung di usia 77 tahun.
Dan lakon ganjil desertir terlama di dunia itu berakhir sudah.

===============
Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline.