Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Landhuis di Batavia, Nasibnya dari Masa ke Masa
17 Januari 2018 21:13 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
ADVERTISEMENT
Landhuis. Di Belanda sendiri kata ini sejak 1816 harus berbagi penggunaannya dengan kata serapan dari bahasa Latin: villa (M. Philippa e.a. (2003-2009) Etymologisch Woordenboek van het Nederlands). Ya, landhuis adalah villa, rumah besar di luar kota atau di kawasan hijau. Landhuis Tjimanggis. Villa Tjimanggis.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya sudah sejak awal abad ke-19, masih di bawah pemerintahan kolonial Belanda, nasib landhuis Tjimanggis sudah mendapat perhatian dan landhuis bekas milik Adriana Johanna Bake, janda dari Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra, itu bukan satu-satunya.
Penelusuran kumparan Den Haag (kumparan.com) menunjukkan bahwa berbagai pihak di Batavia, termasuk media, pada 1930 sudah mengangkat isu ini demi menyelamatkan bangunan-bangunan bernilai historis dengan arsitektur cantik, yang umumnya dibuat pada masa Verenigde Oost-Indische Compagnie/VOC (Serikat Dagang Hindia Timur, red).
Adalah Prof. Godee Molsbergen, pejabat arsip negara, juga organisasi seperti Koninklijk Bataviaasch Genootschap, dan Algemeen-Nederlands Verbond, saat itu sudah berupaya agar ada perhatian untuk merawat landhuis yang tersebar di berbagai lokasi di Batavia dan tepian jalan antara Batavia-Buitenzorg.
ADVERTISEMENT
“Misalnya (landhuis) yang berada di desa Tjitrap (Citeureup?) dekat Tjibinong, terletak di tepian jalan raya menuju Buitenzorg (Bogor), tak dihuni, tapi terawat baik dan penuh dengan benda-benda antik dan landhuis di Tjimangis (dengan satu ‘g’, red), dibangun saat itu untuk janda Gubernur-Jenderal Van der Parra; selanjutnya menjadi pabrik karet dan rusak parah,” (Algemeen Handelsblad, 1/8/1930).
Di samping itu juga landhuis sangat indah di Tandjong Oost (Tanjung Timur), yang banyak terdapat meubel antik di dalamnya, dan landhuis Tjilitan, kemudian menjadi markas polisi, yang arsitekturnya mirip landhuis peninggalan Inggris di Benkoelen (Bengkulu).
Terdapat banyak landhuis atau bekasnya yang masih tersisa tak hanya di sepanjang kawasan menuju Bogor, tetapi orang juga bisa mengagumi beberapa landhuis di kawasan barat kota Batavia (Kota Lama, red), di tepian Angke dan Bacherachtsgracht (baca: Kanal Bacheracht, gracht = kanal, red) dan di dalam kota Batavia sendiri.
ADVERTISEMENT
Masih ada lagi landhuis di Molenvliet-West (kini Jl. Gajah Mada, red), yang pernah menjadi residensi Gubernur Jenderal Reinier de Klerk (1777-1780), sekarang gedung Arsip Nasional, juga bangunan yang dikenal dengan nama Toko Merah di Kali Besar dan gudang pakaian di Nieuwpoortstraat (Jl. Pintu Besar) sebelumnya adalah landhuis pada abad ke-17 dan ke-18.
Banyak landhuis peninggalan era VOC yang kondisinya pada saat itu kurang terawat, dan mengalami kemunduran. Sayangnya, pada tahun 1930 dunia sedang mengalami krisis ekonomi global, yang dampaknya juga menimpa Hindia Belanda. Pemerintah saat itu sedang menerapkan kebijakan efisiensi ketat di semua bidang.
Selain Prof. Molsbergen, sebelumnya pada 1904 upaya serupa juga sudah dilakukan oleh H. D. H. Bosboom, seorang anggota kehormatan Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Lembaga Negara untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia, red), serta Dr. F. de Haan dan Ir. Homan van der Heide dari lembaga yang sama pada 1912.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, sebuah komisi berhasil dibentuk untuk mengerahkan sumber daya dan mempertahankan semua landhuis yang ada, termasuk sisa-sisa reruntuhannya. Komisi ini bekerjasama dengan Oudheidkundigen Dienst (Dinas Purbakala, red) di bawah supervisi Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Lembaga Negara untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia, red).
Ada 6 butir sasaran komisi:
1. Mencegah penghancuran atau perubahan karakteristik monumen-monumen tersebut, sehingga tampilannya luarnya menjadi berubah.
2. Berupaya mempertahankan dan merawat semua benda-benda bernilai historis, yang ada dalam bangunan-bangunan tersebut.
3. Menggalang restorasi oleh para ahli semua landhuis yang kondisinya mengalami kemunduran, termasuk pengerjaan bangunan atau puing-puingnya.
4. Memindahkan bagian-bagian dari semua landhuis tersebut atau benda-benda di dalamnya yang bernilai historis ke tempat lain.
ADVERTISEMENT
5. Melakukan pembelian landhuis oleh pemerintah pusat, provinsi atau kotapraja demi mencegah kepemilikan oleh pribadi.
6. Melakukan pembelian landhuis, bagian-bagiannya dan benda-benda di dalamnya yang bernilai historis dari sumber daya sendiri.
Nasib landhuis dulu dan sekarang memang ada di tangan penguasa, termasuk dalam arti kuasa uang. Sebagian besar telah lenyap diambil lokasinya saja yang strategis, selebihnya dipandang tak lebih dari sampah usang.
Padahal bersama pemusnahan bangunan tua bersejarah, musnah pula kisahnya, termasuk keindahan khas arsitekturnya, yang sebenarnya bisa saja dijadikan magnet pariwisata, sebagaimana di Eropa.
Laporan: Eddi Santosa (kumparan Den Haag)