Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Keresahan atas berbagai produk perundangan yang dianggap membajak proses demokrasi membuat mahasiswa turun ke jalan. Aksi ini merupakan akumulasi protes yang tak digubris oleh politisi, dari soal pengesahan Revisi Undang-Undang KPK hingga Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Mereka melawan tak hanya di Jakarta saja. Mahasiswa di Yogyakarta menggelar #GejayanMemanggil, di Solo digelar #BengawanMelawan, dan kota lain seperti Medan, Makassar, Semarang, Bandung kerumunan massa berjaket almamater memenuhi jalanan. Memang ada penumpang gelap, tapi demonstrasi harus terus digelar supaya penguasa mendengar.
***
Belakangan Obed Kresna mengaku sudah kenyang dengan berbagai kilah anggota DPR ketika menghadapi kritik soal pengesahan Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berbagai pasal yang mengebiri kewenangan KPK seperti penyadapan selalu dijawab dengan permasalahan HAM. Kilah ini terus berlanjut hingga mereka mengesahkan Revisi UU KPK pada Selasa 17 September 2019 lalu.
Tapi kilah yang berbeda selalu terlontar dari mulut anggota DPR ketika menjawab kritik soal Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Berbagai pasal rencangan perundangan itu justru gampang main penjara. Hukum pun dirasai jadi tajam ke atas dan tumpul ke bawah.
Mahasiswa FISIPOL UGM ini pun menganggap protes melalui jalur perdebatan sia-sia. DPR seperti sudah waktunya tutup buku dan segera ketok palu. Sudah saatnya protes digelar di jalanan.
Niat ini dilaksanakan, proses pengorganisiran berlangsung cepat demi mengejar rapat paripurna DPR RI yang bakal dilaksanakan awal pekan berikutnya pada Selasa (24/9/2019).
“Momentum akhir di rapat paripurna inilah yang menjadi harapan kita untuk mencegah aturan-aturan itu disahkan,” kata mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan UGM Obed Kresna kepada kumparan, Selasa (24/9).
Aksi mulai digelar sejak Sabtu (21/9/2019) di pertigaan Gejayan. Tempat itu dipilih karena menjadi pusat hiruk pikuk Yogyakarta. Jalan utama yang kini dinamai Jalan Affandi itu berada di tengah puluhan kampus yang tersebar di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.
Selain itu, pemilihan Gejayan juga memiliki tujuan untuk memberikan kejutan. Perempatan Tugu atau Jalan Malioboro terlalu biasa untuk menjadi lokasi demonstrasi. “Isu yang kami naikan itu isu yang urgent. Isu yang genting, yang orang kalau melihat ini kenapa. Pilihan kami jatuh ke Gejayan,” kata Obed.
Tagar #GejayanMemanggil berhasil menjadi trending topik nasional. Lebih dari 206.385 ribu tweet membicarakan gerakan lokal ini. Tak disangka, arus massa yang hadir mencapai 15 ribu orang. Peristiwa ini menandai sejarah baru aksi massa di Yogyakarta sejak reformasi 1998. Aksi besar terakhir yang muncul saat 2 Mei 2015 di Balairung Rektorat UGM dengan tuntutan penghapusan Uang Kuliah Tunggal yang terlalu mahal serta menolak relokasi kantin FIB UGM.
Rentetan undang-undang bermasalah ditambah rasa keprihatinan bencana asap yang tak kunjung tertangani ternyata bisa mengumpulkan massa sedemikian banyak. “Orang merasa ada banyak sekali persoalan yang harus segera diselesaikan,” kata Obed.
Dalam risalah tuntutannya, #GejayanMemanggil mendesak pembahasan ulang pasal-pasal kontroversial RKUHP, mendesak revisi RUU KPK yang dianggap melemahkan lembaga anti-rasuah, menolak pasal RUU Ketenagakerjaan yang merugikan tenaga kerja, menolak RUU Pertanahan, dan mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang justru diabaikan. Isu lain seperti kejahatan lingkungan penyebab bencana asap dan penangkapan aktivis.
Berbagai poster dengan ragam warna ditenteng. Pesan amarah masih jadi mantra, namun sesekali terselip aspirasi tentang situasi terkini yang dikemas jenaka. “Entah apa yang merasukimu hingga tega kau mengkhianatiku,” tulis sebuah poster berlatar foto Presiden Joko Widodo dan Gedung DPR-MPR di Senayan. “Cukup cintaku yang kandas. KPK jangan,” tulis poster lain.
Demonstrasi berhasil meraih simpati warga di sekitar Gejayan. Pedagang buah yang biasa berjualan di sekitaran membagikan dagangannya kepada peserta aksi. “Kami selaku warga ikut antusias dan mengapresiasi segitu besarnya kepedulian terhadap Indonesia,” seorang pedagang bernama Nurcholis.
Yogyakarta bukan satu-satunya tempat. Orkestra aksi mahasiswa merebak di Jakarta, Solo, Bandung, Bogor, Malang, Jember, Cirebon, Batam, Makassar, Samarinda, dan Balikpapan.
Meski sama-sama digerakkan oleh mahasiswa, aksi di Yogyakarta tidak terkait dengan aksi di kota lain. Yogyakarta bergerak atas konsolidasi mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil tanpa embel-embel organisasi. “Tidak ada konsolidasi dengan teman-teman di kota lain,” kata Obed.
Sementara kota lainnya berjejaring dalam naungan Badan Eksekutif Mahasiswa dari masing-masing universitas. Jaringan universitas di masing-masing kota saling berkomunikasi untuk melakukan aksi di level kota.
Koordinator lapangan Aliansi Semarang Raya yang juga mahasiswa UIN Walisongo, Fuhum Gusti, mengatakan jika kampus-kampus di seluruh Indonesia sudah sejak lama menyoroti lahirnya undang-undang yang dianggap bermasalah. Isu UU KPK, RKUHP, dan berbagai macam RUU lainnya tetap menjadi tema sentral. Kritik disuarakan secara paralel lewat jaringan di berbagai daerah.
“Setiap daerah menentukan tanggal dan waktunya masing-masing sesuai rencana mereka sendiri,” kata Gusti kepada kumparan, Selasa (24/9). Semarang misalnya memutuskan untuk melaksanakan demonstrasi pada hari Selasa. Kota lain seperti Surabaya bakal menggelar aksinya di Hari Kamis besok.
Aksi mahasiswa di berbagai kota ini berhasil membuat Presiden Joko Widodo untuk meminta penundaan atas empat rancangan undang-undang, yakni RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU KUHP, kemudian keempat RUU Pemasyarakatan.
Namun mahasiswa tak kendur. Mereka menganggap anggota parlemen seperti tutup telinga dan masih kukuh melanjutkan RUU KUHP, dan disinyalir bakal mengetok RUU lainnya.
“Kami belum percaya sepenuhnya terhadap penundaan yang dilakukan DPR, karena ini bisa saja menjadi intrik mereka untuk mengesahkan RKUHP tersebut secara diam-diam dan terburu,” tambah Gusti.
Sementara aksi di daerah terus bergulir, beberapa kelompok mahasiswa memperkuat basis gerakan yang ada di Jakarta. Demo menolak RKUHP yang berlangsung di pintu gerbang DPR RI sejak pertengahan September yang diorganisir kelompok LSM berangsur membesar lewat kehadiran mahasiswa.
Sejak Kamis (19/9), mahasiswa di seputaran Jakarta mulai membawa massa. Kelompok mahasiswa merasa perlu menata aksi lebih rapi agar demonstrasi bisa skala besar. Minggunya, 40 organisasi kampus melakukan konsolidasi di Universitas Trisakti, Jakarta, guna merencanakan aksi besar.
Koordinator Lapangan Institut Sains dan Teknologi Al Kamal Jakarta mengatakan jika sebelum konsolidasi, massa yang datang hanya terdiri dari segelintir mahasiswa. Mahasiswa mengejar momentum akan digelarnya paripurna pada hari Selasa, “Karena ini hari terakhir. Hari ketentuan, maka ramean,” kata Husein ketika ditemui kumparan di depan Gedung DPR Senayan, Selasa (24/9).
Namun momentum demi momentum mendorong mahasiswa dari seluruh Jakarta semakin tergerak untuk menuju Senayan. Pertemuan 58 perwakilan mahasiswa dengan DPR pada Senin sore meminta pertemuan dengan pimpinan DPR berakhir buntu karena hanya ditemui Fraksi Gerindra. “Kami mau ketemu pimpinan DPR, minimal pimpinan komisi. Kami minta dipindahkan bukan di ruang fraksi,” kata salah seorang mahasiswa.
Aksi di Jakarta juga memperoleh bantuan dari luar kota. Mahasiswa asal Semarang mengirim rombongan menaiki 8 bus. Sementara dari Bandung mengirim lebih dari 15 bus. Massa dari Bali juga tengah dalam perjalanan menuju Jakarta.
BEM UGM yang hari sebelumnya ikut terlibat dalam aksi GejayanMemanggil langsung menuju Jakarta demi bisa mendukung aksi langsung di depan target kritik mereka. “Tapi nggak ngerti juga saya gimana perwakilan rakyatnya. Sedangkan apa yang disuarakan rakyat tidak pernah didengar,” ucap Davin, mahasiswa UGM angkatan 2018.
Demonstrasi pada hari Selasa benar-benar membuat jalanan Gatot Subroto di depan Gedung DPR menjadi lautan manusia. Tidak hanya di jalur lambat, massa menyemut hingga jalur tol ke arah Semanggi. Polisi menyiagakan 18 ribu personelnya.
Kritik terhadap RUU KPK dan RKUHP membesar ketika mahasiswa turun gelanggang. Pengamat media sosial Ismail Fahmi mengatakan, ada lonjakan percakapan terkait isu-isu tersebut sejak demonstrasi mahasiswa dimulai.
“Jadi kalau mahasiswa nggak turun di lapangan ke DPR ya bablas nih nggak ada yang tahu. Meskipun ada elemen-elemen masyarakat sipil itu masih kecil,” kata Ismail Fahmi kepada kumparan, Selasa (24/9).
Ismail memantau perbincangan soal KUHP tetap redup meski terus diolah oleh beberapa LSM. Begitu juga isu RUU KPK yang pembicaraannya hanya berkutat di Wadah KPK dan LSM seperti Indonesia Corruption Watch. Tagar-tagar lain seperti #ReformasiDiperkosa yang mulai muncul tak terlalu menggema.
Percakapan baru menjadi masif tatkala demonstrasi mahasiswa di depan DPR pada Kamis (19/8) dan diikuti aksi di Gejayan pada hari Selasanya.
Namun, Ismail melihat ada upaya menunggangi gerakan mahasiswa bahkan sejak di dunia maya. Menurut mesin pemantau media sosial Drone Emprit milik Ismail, pergerakan naik tagar GejayanMemanggil pada Senin (23/9) dan Selasa (24/9) diikuti tagar TurunkanJokowi yang mendadak melonjak pada saat bersamaan. Selain itu, ada beberapa tagar yang menjaga citra Jokowi dari harumnya reputasi gerakan #GejayanMemanggil. Temuan ini tidak mencapai angka yang terlalu signifikan.
Meski dari aspirasi kubu berbeda, Ismail melihat keduanya sama-sama berusaha menggunakan momentum aksi mahasiswa di Gejayan untuk kepentingan politik mereka. “Oposisi itu mendompleng, di kubu Jokowi mereka itu mendeligitimasi,” kata Ismail.
Nuansa konflik Pilpres ini sebenarnya sudah diantisipasi oleh kelompok mahasiswa, terutama di Yogyakarta. Misalnya penyelenggara aksi amat mewanti-wanti massa agar tidak menggunakan atribut dan menyortir setiap spanduk yang ada.
Ketika ada salah satu spanduk bertuliskan TurunkanJokowi muncul di tengah kerumunan dengan sigap diantisipasi. Massa di Gejayan tidak mau terjebak dalam agenda aksi semacam itu. “Target kami untuk seluruh elit politik,” kata Obed.
Kubu pemerintah pun terus mendelegitimasi munculnya gerakan mahasiswa. Menkopolhukam Wiranto menganggap semua tuntutan demonstrasi sudah dituruti dengan sikap pemerintah menunda beberapa RUU. Selanjutnya Menkumham Yasonna Laoly bahkan menuduh gerakan mahasiswa yang mulai membesar memiliki dalang.
“Ya itu ada desain. Jadi kita lihat sekarang, ini kan dibuat digerakan seluruh Indonesia. Dibuat desain untuk membuat instabilitas,” kata Yasonna kepada kumparan, Senin (23/9).
Demonstrasi di Gedung DPR berujung kisruh. Aksi yang digelar sejak pagi di depan Komplek Gedung MPR, DPR, dan DPD mendapat reaksi penembakan gas air mata dan water cannon pada pukul empat sore.
Kelompok mahasiswa pun membelah di dua arah. Ricuh dimulai dari titik ini. Aksi berupa pembakaran terjadi dan mahasiswa sendiri mengalami kekurangan pertolongan medis dan logistik sehingga korban mulai berjatuhan.
Data terakhir yang diterima kumparan menyebutkan 232 orang menjadi korban luka atas demonstrasi di berbagai daerah. Jumlah ini diperkirakan masih terus bertambah. Berbagai rekaman kekerasan oleh aparat bertebaran di media sosial, termasuk penganiayaan seorang mahasiswa di Medan.
Di Jakarta, 37 mahasiswa dan 3 wartawan mengalami luka. Rumah Sakit Pertamina menampung tiga mahasiswa yang satu di antaranya dirawat di ICU. Sementara polisi menahan 94 orang yang diduga sebagai provokator.
Perlawanan diperkirakan terus berlanjut. Apalagi DPR masih saja main kucing-kucingan soal pengesahan RUU. Pada Saat demonstrasi Selasa (24/9) Paripurna mengesahkan RUU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan (RUU SBPB).
Padahal pasal perundangan itu dinilai bermasalah dengan mengebiri serikat tani dan mementingkan korporasi yang memproduksi benih dari hasil genetika.
Mahasiswa masih tidak percaya dengan politisi di Senayan. Pertaruhan masih akan berlanjut hingga Senin (30/9) saat Paripurna terakhir DPR periode 2014-2019.
Seorang mahasiswa mengaku tugasnya belum selesai. Ketika ditanya apakah masih punya tenaga untuk terus beraksi sampai tanggal 30 nanti, ia menjawab tegas, “Masih!”