Laporan Intelijen AS: Putin Berupaya Menangkan Trump pada Pemilu AS 2020

17 Maret 2021 15:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Rusia Vladimir Putin. Foto: Sputnik/Aleksey Nikolskyi/Kremlin via REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Rusia Vladimir Putin. Foto: Sputnik/Aleksey Nikolskyi/Kremlin via REUTERS
ADVERTISEMENT
Presiden Rusia Vladimir Putin diduga berupaya memenangkan Donald Trump pada Pemilu Amerika Serikat 2020 lalu.
ADVERTISEMENT
Dugaan tersebut terungkap dalam laporan 15 halaman yang dirilis Kantor Direktur Intelijen Nasional Amerika Serikat. Dengan adanya laporan tersebut, AS akan menjatuhkan sanksi baru ke Rusia.
Dalam laporan tersebut, beberapa orang dekat Trump diduga bekerja sama dengan figur Ukraina yang terkait dengan Rusia. Kerja sama itu untuk menjatuhkan penantang Trump, Joe Biden.
Presiden Rusia Vladimir Putin. Foto: Sputnik/Alexei Druzhinin/Kremlin via REUTERS
Putin kemungkinan besar menyetujui bahkan mengawasi tindakan tersebut, demikian dikutip dari Reuters.
Figur yang dimaksud dalam laporan intelijen itu adalah anggota parlemen Ukraina pro-Rusia, Andriy Derkach. Dia membantu tim politik Trump untuk mencoreng nama Biden dan putranya, Hunter.
Pada pemilu 2020 lalu, dugaan keterlibatan keluarga Biden dalam korupsi di perusahaan Ukraina terus dijadikan senjata Trump.
Spanduk hentikan kecurangan selama protes tentang hasil awal Pemilu AS 2020, di depan Balai Kota Phoenix, di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat, Kamis (5/11). Foto: CHENEY ORR/REUTERS
Dalam laporan itu juga, Derkach sempat bertemu pengacara Trump, Rudy Giuliany, pada 2019. Derkach diduga kuat diminta Putin bertemu Giuliany.
ADVERTISEMENT
Selain itu Derkach bersama seorang yang punya kaitan dengan intelijen Rusia, Konstantin Kiliminik, diduga pernah memberikan materi mengenai keterlibatan keluarga Biden ke orang-orang Trump.
Menurut tiga sumber dekat Pemerintahan Joe Biden, sanksi baru ke Rusia akan dijatuhkan pada pekan depan.
Bukan pertama kali Rusia diduga campur tangan pada pemilu AS. Dugaan serupa muncul pada 2016 untuk mencegah kemenangan capres Demokrat ketika itu, Hillary Clinton.