Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Dua hari setelah lebaran di tahun pertama Indonesia merdeka, kantor berita Antara menurunkan berita berjudul “Pertempoeran pada hari Lebaran”. Masa-masa ketika mudik sulit dilakukan sebab situasi yang mencekam.
“Bertepatan dengan hari Raja Idoel Fitri pada tg. 28/8 barisan rakjat memberi poekoelan pada pasoekan2 Nica didesa Tjibeber sehingga mereka terpaksa moendoer”. Begitu bunyi penggalan berita tersebut seperti dilansir Historia .
Cerita semacam itu tak cuma terjadi di Cibeber, Bogor, tapi juga jauh di Padang, Sumatera Barat. Dalam buku Republik Indonesia: Propinsi Sumatera Tengah yang dikeluarkan oleh Kementerian Penerangan pada 1959 diceritakan bahwa pertempuran terjadi beberapa jam sebelum salat Id dilaksanakan. “Padang telah menjadi lautan api akibat kebakaran dan pertempuran di berbagai sisi kota.”
Koran Kedaulatan Rakjat menjadirkan peristiwa tersebut sebagai berita utama pada 31 Agustus 1946. “Idoelfitri di Padang dirajakan dengan tjara jang istimewa oleh pemoeda2 Padang dan barisan rakjat disekeliling kota terseboet,’ tulis Kedaulatan Rakjat.
Tak cuma karena kontak senjata yang masih terjadi dalam rangka mempertahankan kemerdekaan, kondisi transportasi pun belum mendukung sama sekali. Meski jawatan kereta api menyediakan ‘kereta lebaran’, tapi masih terbatas pada kota-kota di Jawa Tengah saja. Sementara kereta Lebaran dari atau menuju Batavia dan daerah-daerah yang diduduki sekutu Belanda tak tersedia. Kondisi di tahun-tahun awal republik ini berdiri memaksa rakyatnya untuk tak melakukan mudik atau pulang kampung .
Menurut sejarawan dari Universitas Negeri Yogyakarta, Yuanda Zara, saat itu mudik masih menjadi urusan personal sebab pemerintah lebih fokus dalam menangani perang melawan sekutu. “Ada yang berusaha untuk mudik, tapi banyak yang tidak bisa melakukannya karena sedang perang. Jalur kereta api juga banyak dijadikan sasaran (pertempuran), sabotase, dan lain-lain.”
Tak ketinggalan akal, upaya untuk menjalin silaturahmi tetap dilakukan melalui surat kabar dan radio sebagai teknologi komunikasi massa termodern saat itu. Misalnya saja Koran Kedaulatan Rakjat yang menyewakan kolom yang bisa diisi pembacanya untuk menyampaikan ucapan selamat Hari Raya. Popularitas kolom ini membuat kiriman ucapan hari raya memenuhi hampir satu halaman koran dan terus dimuat hingga beberapa hari usai lebaran.
Setelah 17 tahun merdeka, pemerintah Indonesia sempat mengeluarkan anjuran untuk tidak mudik. “Saat pemerintah sibuk membebaskan Irian Barat, lalu dananya juga terserap untuk menangani pemberontakan PRRI/Permesta, akibatnya tidak bisa menyediakan fasilitas mudik,” ucap Yuanda.
Oleh karenanya di masa itu pemerintah mengeluarkan anjuran untuk tidak mudik pada tahun 1962. “Segala tenaga harus dipusatkan untuk perjuangan pembebasan Irian Barat,” tulis Koran Kedaulatan Rakjat pada 2 Maret 1962.
Saat itu Presiden Sukarno memang tengah melancarkan Operasi Trikora sejak 1961 untuk merebut Irian Barat. Dikutip dari Historia, upaya penyelesaian Irian Barat ini bahkan disinggung Sukarno dalam amanat sehabis salat Idul Fitri di halaman Istana pada 8 Maret 1962.
Anjuran halus untuk tak mudik kembali didengungkan pada lebaran tahun berikutnya. Harian Nasional edisi 2 Maret 1963 menulis bahwa Djawatan Kereta Api, Departemen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, serta beberapa kepala daerah ikut bersuara dalam hal ini.
“Agar pada hari-hari Lebaran tidak bepergian menggunakan kereta api atau kendaraan umum atau agar membatasi diri untuk bepergian menjelang hari-hari Lebaran,” tulis harian Nasional.
Demi memperketat anjuran tersebut, pemerintah bahkan menerapkan aturan Surat Permintaan Memesan Kartjis (Spmk) untuk para calon penumpang kereta api dari Jakarta khususnya. Spmk tersebut harus diajukan kepada Biro Pendaftaran Pemesanan Kartjis di Jakarta Kota dan Gambir yang jam kerjanya dibatasi hanya pada pukul 08.00-11.00.
“Pada zaman itu untuk memesan tiketnya pun kita harus memesan tiket lagi, jadi ada proses 2 kali di situ. Untuk dapat Spmk itu sendiri harganya berkali lipat karena diatur calo. Sehingga membuat orang akan berpikir 2 kali lipat untk bisa mudik ke kampung halaman,” papar Yuanda.
Di masa itu, situasi ekonomi juga tengah sulit. Beras sempat menjadi barang langka di Jawa, sebab keuangan pemerintah terserap untuk urusan keamanan, menangani pemberontakan PRRI/Permesta, dan pembebasan Irian Barat.
Tahun-tahun setelahnya mudik kian masih seiring dengan laju urbanisasi yang begitu deras. Pembangunan proyek infrastruktur dan roda ekonomi di kota-kota besar menarik warga desa untuk berpindah ke kota. Kegiatan yang sebelumnya hanya disebut pulang kampung atau berkendara di hari lebaran itu kemudian menemukan padanan kata lain, yakni mudik.
“Awalnya, artinya mudik itu ke selatan menurut Kamus Bahasa Melayu dialek Betawi. Setelah tahun 1960-an itu orang nggak hanya mudik ke selatan tapi bisa ke arah mana-mana itu,” ucap sejarawan JJ Rizal.
Besarnya laju urbanisasi di Jakarta membuat Gubernur Ali Sadikin sempat memberlakukan peraturan “Jakarta sebagai Kota Tertutup”. Hal tersebut ia lakukan agar jumlah penduduk ibu kota tak tambah bengkak. Menurut Surat Keputusan Gubernur No lb.3/1/27/1970 disebutkan bahwa Jakarta sebagai kota tertutup bagi pendatang baru dari daerah lain dan hanya pemilik KTP Jakarta yang diizinkan menetap di kota tersebut.
Namun upaya Ali gagal. Kebijakan tersebut malah diakali warga dengan menjamurnya praktik pemalsuan kartu tanda penduduk sembari menyembunyikan para pendatang gelap yang tak terdeteksi aparat.
Imbauan untuk tidak mudik kembali muncul di masa krisis moneter. “Kemudian pas lebaran tahun 1999, itu kan berdekatan dengan krisis ekonomi dan krisis politik. Pemerintah menganjurkan masyarakat untuk tidak mudik dan kalau punya uang, uangnya itu disave untuk menghadapi masa-masa berat yang mungkin akan terjadi,” tutur Yuanda selanjutnya.
Tapi imbauan tersebut tak cukup berhasil. Transportasi umum seperti kereta api tetap saja disesaki oleh penumpang yang pulang ke kampung halamannya dari Jakarta.
Mudik memang bukanlah perjalanan biasa, ia menjadi tradisi penting bagi para perantau yang telah meninggalkan kampung halamannya. Hampir setiap tahun arus mudik kian meningkat, dalam waktu hampir bersama jutaan orang berpindah meninggalkan kota-kota untuk kembali ke desa. Fenomena yang kemudian menjadi perhatian besar pemerintah.
“Banyak orang rela menempuh ribuan kilometer, berhutang segala rupa, karena satu kali dalam satu tahun mereka bisa pulang, merasa kembali ke akar,” kata Yuanda. Ia kemudian menceritakan bahkan adanya anggapan orang yang tidak mudika sebagai anak yang tidak berbakti. “Lupa pada akarnya, merasa sudah sukses di kota sehingga tidak mau kembali ke asalnya.”
Imbauan untuk tidak mudik kali ini menemukan tantangan baru, bukan hanya karena persoalan ekonomi tapi juga kesehatan. Aktivitas mudik tak hanya berisiko pada kesehatan pribadi, tapi juga membahayakan kesehatan keluarga di kampung alias risiko tertular dan menularkan.
Kondisi dilematis dihadapi oleh mereka yang kemudian kehilangan pekerjaan di kota. Kembali ke desa, meski dengan berbagai risiko tersebut, menjadi opsi yang kemudian paling banyak diambil. Suka tidak suka.
“Mudik atau pulang kampung itu peristiwa budaya sekaligus juga peristiwa ekonomi. Bagi kaum urban, kampung itu akan selalu menerima mereka meski mereka gagal. Sharing poverty, berbagi kemiskinan,” ucap JJ Rizal.
Tapi, apakah 430.993 mobil pribadi yang keluar dari Jakarta jelang lebaran atau pemudik yang memadati Bandara Soekarno-Hatta itu memilih pulang karena kehilangan sumber penghidupan di ibu kota?
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.