LIPSUS VIRUS CORONA - Cover Collection

Lari dari Wabah Corona

3 Februari 2020 13:34 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dicengkeram wabah corona. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Dicengkeram wabah corona. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Dering telepon di Jumat terakhir Januari 2020 itu membuat Lita Siahaan semringah. Melihat nama putranya, Joshua Jansen Romeines Napitupulu, tertera di layar, seraut senyum mengembang di wajah wanita paruh baya itu. Ia segera menekan tombol hijau untuk menerima ajakan video call dari sang anak.
Belasan hari sudah Lita tak nyenyak tidur. Kerinduan bercampur rasa waswas menyelimuti pikirannya. Sebab si bungsu Jejo—panggilan sayang untuk Joshua—yang baru menamatkan studi di Wuhan University, Provinsi Hubei, China, masih tertahan di Negeri Tirai Bambu.
Sejak virus corona merebak dari kota tersebut, Wuhan dan 13 kota lainnya di Hubei diisolasi. Tak ada lagi angkutan umum beroperasi. Semua akses masuk dari dan ke wilayah itu dibatasi. Toko-toko ditutup dan warga di sana diminta untuk tak berpergian demi mencegah tertular 2019-novel coronavirus yang belum sepenuhnya teridentifikasi.
Seorang warga Wuhan mengendarai skuter dengan pakaian tertutup dan masker. Foto: AFP/Hector Retamal
“Dek, kemarin Mami baca berita, udah harus get ready, lho. Anytime kalian bisa dijemput (pemerintah RI),” kata Lita.
Joshua mengiyakan. Dia lalu memikirkan barang-barang yang ia tinggalkan begitu saja di apartemennya sebelum diwajibkan berkumpul dan tinggal di asrama kampus demi mempermudah kontrol kesehatan.
“Belum ada kabar lagi dari KBRI? Nanti ke Beijing dulu atau langsung (ke Indonesia)? Belum tahu, ya?” Lita melontarkan rentetan pertanyaan.
Jawaban serupa diucapkan Joshua: “Belum” dan “Belum tahu”.
Ia lantas menambahkan, “ Yang pasti kami disuruh kumpul. Nanti dijemput bus di depan kampus, terus ke airport.”
Mendengar sedikit jawaban itu, Lita mencoba lebih tenang sambil terus memastikan anaknya dalam kondisi sehat, makanannya tercukupi, dan mentalnya tetap kuat.
“Kadang-kadang, sebagai orang tua kayaknya saya pengin terbang, pengin ada di sana (Wuhan). Saya mau peluk (anak saya),” ucap Lita ketika ditemui kumparan di rumahnya, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (31/1).
Lita, ibu Joshua, mahasiwa Wuhan University. Foto: Deshana/kumparan
Kekhawatiran Lita timbul pada suatu pagi di awal Januari. Ia membaca berita tentang virus corona baru yang mematikan dari Wuhan. Sekujur tubuh Lita langsung lemas dan gemetar. Ia bergegas berkirim pesan kepada putra bungsunya di Wuhan.
Melalui aplikasi iMessage, Lita bertanya, “WHO bilang virus corona ini sesuatu yang serius. Kondisi kamu gimana, Nak?”
Joshua mencoba menenangkan ibunya. Ia berkata, belum ada imbauan resmi apa pun. Waktu itu baru empat orang diisolasi di Wuhan.
Rasa cemas Lita tak kunjung reda. Setiap hari berita virus corona menghantui hingga ia akhirnya meminta Joshua pulang ke tanah air.
“Kakaknya Josh langsung booking tiket untuk pulang tanggal 28 Januari kemarin. Tapi waktu dapat kabar Wuhan di-lockdown, pupus sudah harapanku,” ujar Lita.
Novel coronavirus merajalela. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Seminggu sebelum jadwal pulang Joshua pada 28 Januari, pemerintah China menutup akses masuk ke 14 kota di Provinsi Hubei guna mencegah novel coronavirus menjalar. Ketika itu, virus yang menyerang saluran pernapasan manusia tersebut baru menginfeksi seribuan orang.
Lockdown atau karantina kota pun membuat semua jadwal transportasi umum dari dan ke Wuhan ditangguhkan. Bus kota, kereta bawah tanah, dan kapal feri berhenti beroperasi. Akses keluar lewat bandara dan stasiun kereta api juga ditutup. Langkah drastis itu diambil untuk mengurangi risiko penyebaran virus.
Alhasil, jalanan di Wuhan jadi sepi. Ia bak kota mati seiring imbauan bagi warga untuk menghindari aktivitas di luar ruangan. Warga juga dianjurkan selalu mengenakan masker demi menghindari penularan virus melalui batuk atau bersin.
Sebelas juta penghuni Wuhan, termasuk warga Indonesia di dalamnya, “terkunci” di ruangan masing-masing.
Pekerja dengan memakai masker dan pakaian pelindung tengah membersihkan jalanan yang sepi di Wuhan. Foto: AFP/Hector Retamal
Menurut data Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Tiongkok, jumlah warga Indonesia di Wuhan berdasarkan pendataan per 30 Januari 2020 sebanyak 245 orang, dengan 102 di antaranya berstatus mahasiswa.
Hampir semuanya kemudian dikumpulkan di asrama Wuhan University atau titik kumpul lain demi memudahkan kontrol kesehatan. Setiap hari, mereka wajib mengukur suhu tubuh, mencatatnya, untuk kemudian dilaporkan kepada International Office pada malam hari.
Pemusatan di satu area juga demi memudahkan koordinasi dan pembagian logistik seperti makanan, asupan vitamin, masker, hingga pembersih tangan.
“Nggak bisa ke mana-mana. Toko sampai bank pada tutup. Transportasi umum juga. Saya lelah,” tutur Joshua melalui sambungan video call dengan sang ibu, Lita, sehari sebelum dievakuasi.
Kabar soal kondisi terkini para mahasiswa disampaikan rutin oleh KBRI Tiongkok. Mereka juga memberikan uang bekal sementara.
“Kalau soal makanan, nanti ada yang mengantar ke sini (asrama). Yang ambil makanan bakal di-checklist. Tiap satu orang cuma dapat satu boks makanan, tiga kali sehari. Ngambilnya sistemnya kayak antre di kasir,” ujar Joshua.
Menurut China Daily, pemerintah kota Wuhan menggunakan 6.000 taksi untuk mendistribusikan pasokan kebutuhan warga. Taksi itu dibagi berkelompok. Satu kelompok berisi tiga sampai lima kendaraan di bawah pengelolaan komite penduduk lokal. Dengan cara itulah makanan, sayuran, dan obat-obatan diantarkan.
Pemerintah China juga berkoordinasi untuk menentukan jadwal evakuasi para warga negara asing agar mereka bisa kembali ke negeri masing-masing.
Evolusi Virus Corona. Desainer: Sabryna Putri Muviola/kumparan
Informasi soal novel coronavirus mulai terdengar pada pekan pertama Desember 2019. Ketika itu sejumlah pasien menunjukkan gejala semacam pneumonia atau radang paru-paru. Kasus serupa bertambah setiap hari, hingga pemerintah China melaporkannya ke Badan Kesehatan Dunia (WHO) tepat di hari terakhir tahun 2019.
Mereka yang terserang novel coronavirus—yang kemudian populer disebut Wuhan coronavirus—biasanya diawali gejala demam tinggi, batuk, kesulitan bernapas, hingga pneumonia yang bisa mengakibatkan kematian. Meski demikian, gejala dan pengaruh pada tiap orang bisa berbeda tergantung ketahanan tubuhnya.
Pada 7 Januari 2020, otoritas China menyatakan virus itu bernama 2019-novel coronavirus (nCoV). Virus diduga menjalar dari Pasar Hewan Huanan di Wuhan yang tak hanya menjual bahan-bahan seafood, tapi juga hewan-hewan liar seperti kelelawar dan ular, yang kemudian diduga menjadi sumber penyebaran virus.
Belasan tahun lalu, kasus serupa pernah terjadi di Provinsi Guangdong—juga China. Virus corona yang merebak pada 2002-2003 itu dinamai Severe Acute Respiratory Syndrome-Coronavirus (SARS-CoV). Ia diduga kuat menyebar dari kelelawar, lalu bermutasi dan menular antarmanusia. Wabah ini setidaknya menjangkiti 8.098 jiwa dan menewaskan 774 orang.
Sepuluh tahun kemudian di belahan benua lain, virus corona juga muncul dan menjadi wabah mematikan. Virus bernama Middle East Respiratory Syndrome-Coronavirus (MERS-CoV) itu pertama kali dilaporkan dari Arab Saudi pada 2012. Kali ini bukan kelelawar, melainkan unta yang kemungkinan besar menjadi asal mula virus.
MERS menginfeksi 2.494 orang dan menyebabkan kematian pada 858 jiwa menurut data per November 2019.
Sementara novel coronavirus hingga awal Februari 2020 telah menginfeksi 17.000 jiwa lebih di 27 negara.
Kematian pertama akibat nCoV terjadi pada 9 Januari 2020. Sampai 2 Februari 2020, Wuhan coronavirus menyebabkan 362 kematian. Sementara pengobatan yang tepat dan imunitas tubuh penderita yang membaik mampu membuat 477 orang di antaranya sembuh.
Meski tak semematikan SARS maupun MERS, novel coronavirus ini lebih cepat menyebar. Peningkatan kasus yang rata-rata mencapai 2.000 jiwa per harinya membuat WHO menetapkan status Darurat Kesehatan Global pada 30 Januari 2020.
Tak lama setelahnya, Presiden Jokowi menginstruksikan agar WNI di China segera dievakuasi. Pemerintah Indonesia kemudian memberangkatkan pesawat untuk menjemput 245 WNI di Hubei.
Proses evakuasi menggunakan pesawat Batik Air yang dilakukan dalam sekali jalan. Berangkat ke China dari Bandara Soekarno-Hatta pada Sabtu siang (1/2), pesawat itu kembali ke Indonesia dan mendarat di Bandara Hang Nadim, Batam, keesokan harinya sekitar pukul 08.35 WIB.
Demi mencegah virus menempel di badan pesawat, bagian dalam pesawat dilapisi plastik. Sementara para petugas dan awak kabin mengenakan baju hazmat (hazardous materials).
WNI yang baru mendarat dari Wuhan disemprot disinfektan saat turun pesawat di Bandara Hang Nadim, Batam. Foto: Dok. Kemlu
Setibanya di Batam, para WNI yang baru mendarat dari Wuhan itu disemprot cairan disinfektan oleh petugas kesehatan. Selanjutnya, mereka dibawa ke Pulau Natuna menggunakan dua pesawat Boeing dan satu Hercules milik TNI AU.
Di Natuna, mereka akan menjalani observasi selama dua minggu sesuai standar protokol WHO, sebelum diizinkan pulang ke rumah masing-masing.
Saat ini pemerintah RI menutup seluruh penerbangan dari dan ke China, serta menghentikan sementara fasilitas bebas visa dan visa on arrival bagi turis asal China demi mencegah masuknya virus corona ke Indonesia.
Lita berharap proses pemulangan WNI dari China bisa menjamin perlindungan kesehatan bagi mereka semua.
Selanjutnya yang perlu dijaga adalah koordinasi kontinu pemerintah pusat dengan pemerintah daerah Natuna agar ketakutan warga di sana tak menjelma.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten