Latvia dan Negara-negara yang Ditinggalkan Penduduknya

13 Januari 2018 9:51 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ibu Kota Latvia, Riga (Foto: Flickr/Xerethra)
zoom-in-whitePerbesar
Ibu Kota Latvia, Riga (Foto: Flickr/Xerethra)
ADVERTISEMENT
Populasi penduduk di negara ini terus berkurang, tahun demi tahun. Orang-orang meninggalkan tanah air mereka, sedikit demi sedikit. Pelan-pelan, situasi ini menumbuhkan kecemasan bagi mereka yang memilih untuk bertahan. Jurnalis dan sejarawan Latvia, Gordon F. Sanders, bahkan menuliskan Latvia, A Disappearing Nation sebagai judul artikelnya.
ADVERTISEMENT
“Kenyataannya, kita mulai kehilangan para penduduk (secara) cepat,” ujar Atis Sjanit, diplomat khusus Latvia, ketika Sander mewawancarainya.
Sjanits memiliki tugas khusus dalam mengurusi masalah gelombang eksodus yang terjadi di Latvia. Menurutnya, persoalan ini mulai terjadi sejak negera tersebut bergabung ke dalam Uni Eropa pada Mei 2004.
Hampir seperlima sudah penduduk Latvia meninggalkan negerinya. Demi perbaikan ekonomi, mereka menuju Inggris, Irlandia, dan Jerman yang menjadi negara tujuan utama para emigran ini.
Sjanits tidak menyangkal motif ekonomi --seperti lapangan kerja-- menjadi sebab utama berkurangnya penduduk. Sebab lain dapat ditambah sebagai pendukung: tingkat kelahiran yang rendah dan tingkat kematian yang tinggi.
Itu semua adalah proses. Proses yang mungkin berujung serupa dengan kekhawatiran Sjanits: ancaman terhadap kelangsungan hidup negara Latvia. Akan tidak ada cukup tentara di masa depan untuk menghadapi ancaman kekuatan militer dari luar dan hanya sedikit pembayar pajak untuk membangun negara.
ADVERTISEMENT
“Latvia sudah menjadi negara dengan kepadatan penduduk yang rendah,” kata Otto Ozols, jurnalis terkemuka di sana. “Pada tingkat ini, dalam 50 tahun terakhir, Latvia mungkin akan berhenti menjadi sebuah negara.”
Ibu Kota Latvia, Riga (Foto: Flickr/Vadim Timoshkin)
zoom-in-whitePerbesar
Ibu Kota Latvia, Riga (Foto: Flickr/Vadim Timoshkin)
Populasi Latvia mencapai puncaknya pada 1990, yakni 2,6 juta jiwa, tahun ketika merdeka dari kekuasaan Uni Soviet yang keruntuhanya tak lagi dapat ditolong. Setelah itu populasi penduduk terus menurun hingga saat ini.
Dalam 10 tahun, jumlah penduduk Latvia turun menjadi 2,38 juta jiwa. Jumlah penduduk di negara dengan luas setengah pulau Jawa ini kembali turun hingga hanya tersisa 1,95 juta jiwa. Menurut PBB, tak ada negara lain dengan penurunan jumlah penduduk seperti Latvia, yang mencapai 18,2 persen.
Kesempatan para penduduk Latvia untuk lebih leluasa pergi ke luar negeri ini terjadi setelah lepas dari dominasi tungga Uni Soviet. Mereka beremigrasi mencari pundi-pundi untuk membangun nasib yang --diharapkan-- lebih terang.
ADVERTISEMENT
Sependapat dengan Sjanits, Matthew Holehouse--jurnalis yang tinggal di Salacgrīva, kota di bagian utara Latvia--dalam Latvia Fights Against the Great EU Exodus, menyebut lonjakan gelombang emigrasi untuk pertama kalinya terjadi sejak bergabung dengan Uni Eropa. Sejak itu sekitar 40.000 orang Latvia beremigrasi per tahun.
Pada 2016, Holehouse mencatat setidaknya terdapat sekitar 160 ribu orang Latvia yang terdaftar sebagai pekerja di Inggris sejak aksesi Latvia ke Uni Eropa. Angka itu memunculkan prediksi bahwa pada 2060, populasi Latvia akan turun menjadi 1,3 juta jiwa, sementara populasi Inggris akan tumbuh sebesar 15 sampai 80 juta jiwa.
Gelombang eksodus itulah yang menjadi salah satu penyebab Inggris mencabut keanggotannya dari Uni Eropa atau yang dikenal dengan Brexit pada 2016.
ADVERTISEMENT
Sebuah laporan dua tahun lalu menemukan bahwa hanya dalam lima tahun emigrasi sejak 2004 telah meninggalkan "bekas luka permanen" pada tingkat pertumbuhan penduduk Latvia setidaknya sebesar 3 persen.
"Kami sekarat," kata Prof Peteris Zvidrins, ahli sejarah Latvia paling terkemuka.
Ekonom Latvia, Mihails Hazans, menganggap eksodus yang terjadi selama 13 tahun, sejak 2000 hingga 2013, sudah mengurangi secara permanen 9 persen potensi produksi negara itu di masa depan. Ia berpendapat, negara-negara Uni Eropa lain mesti membayar kompensasi atas hilangnya "modal manusia, angkatan kerja, dan potensi reproduksi".
Pandangan itu mewakili kecemasan Wali Kota Riga, Nils Usakov, yang mengeluh bahwa orang-orang dari kelompok angkatan kerja di kotanya pergi berbondong-bondong ke Jerman.
"Kekurangan tenaga kerja yang kita hadapi di banyak daerah, terutama disebabkan migrasi di dalam Uni Eropa. Di satu sisi, hal ini membantu kami melalui krisis (sulitnya lapangan pekerjaan) karena orang dapat menemukan pekerjaan (di negara lain). Di sisi lain, ada harga yang mesti dibayar karena banyak dari mereka yang tak kembali, bahkan berpikir untuk membawa keluarga bersama mereka," ujar Usakov.
ADVERTISEMENT
Pada Mei 2006, Latvia mencoba mengakali persoalan ini dengan mengakhiri pembatasan kewarganegaraan ganda bagi orang-orang keturunan Latvia yang tinggal di luar negeri.
Dengan kebijakan tersebut, orang Latvia dan keturunan mereka di luar negeri dapat mempertahankan atau mendapatkan kewarganegaraan Latvia tanpa meninggalkan kewarganegaraan kedua di tempat tinggal mereka yang baru.
Kebijakan itu bertujuan untuk mendorong emigran dan anak-anak mereka untuk akhirnya kembali ke Latvia.
Vilnius, Ibu Kota Lithuania (Foto: Flickr/Piotr Gaborek)
zoom-in-whitePerbesar
Vilnius, Ibu Kota Lithuania (Foto: Flickr/Piotr Gaborek)
Latvia tidak sendiri. Persoalan serupa juga menjadi pekerjaan rumah bagi negara Baltik lainnya: Lithuania dan Estonia. Persoalan ini menjadi persoalan umum bagi negara-negara Baltik, dan Latvia adalah negara yang menghadapi ancaman paling besar.
Dalam artikel In the Baltics, Emigration and Demographic Decline di Stratfor, disebutkan dari 1990 sampai 2011, populasi Latvia turun dari 2,6 juta menjadi 2 juta jiwa. Hal yang sama di periode tersebut dialami juga oleh Lithuania yang populasinya turun dari 3,6 juta menjadi 3 juta, sementara Estonia dari 1,5 juta menjadi 1,3 juta jiwa.
ADVERTISEMENT
Per Desember 2017, populasi penduduk Latvia sekitar 1,9 juta jiwa, Lithuania 2,8 juta jiwa, dan Estonia masih di kisaran 1,3 juta jiwa --meski angkanya perlahan tetap merangkak turun.
Dari 2010 hingga 2030, populasi ketiga negara tersebut diproyeksikan akan turun sebesar 4,5 persen untuk Estonia; 8,6 persen untuk Lithuania; dan Latvia akan turun hingga 10 persen.
Penduduk di Ibu Kota Latvia, Riga (Foto: Flickr/Knut-Arve Simonsen)
zoom-in-whitePerbesar
Penduduk di Ibu Kota Latvia, Riga (Foto: Flickr/Knut-Arve Simonsen)
Perginya penduduk yang merupakan bagian dari kelompok angkatan kerja membuat negara-negara di Baltik memiliki ketergantungan terhadap penduduk yang menuju atau sudah berada di ambang usia tua.
Menurut data Eurostat, rasio ketergantungan pada usia tua di negara-negara Baltik diproyeksikan meningkat pada periode 2010 sampai 2030. Yakni dari sekitar 25 persen menjadi 36 persen di Estonia serta Latvia, dan sekitar 23 persen menjadi 35 persen di Lithuania.
ADVERTISEMENT
Untuk menanggulangi krisis ini, pemerintah negara-negara Baltik mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan kualitas kesehatan. Dengan meningkatnya angka harapan hidup, mereka berharap dapat menarik kembali penduduknya yang berada di luar negeri.
Pemerintah ketiga negara tersebut juga menawarkan tunjangan persalinan demi meningkatkan angka kelahiran. Di Estonia, misalnya, diberlakukan kebijakan membolehkan seorang ibu yang baru melahirkan untuk menikmati cuti sampai 20 minggu.
Namun ternyata, kombinasi kebijakan tersebut dinilai tak cukup ampuh. Populasi penduduk negara-negara Baltik semakin tua. Porsi penduduk berusia lebih dari 65 tahun di Estonia meningkat dari 11,7 persen pada 1991 menjadi 17 persen 2011.
Talinn, Ibu Kota Estonia (Foto: Michael Gordon)
zoom-in-whitePerbesar
Talinn, Ibu Kota Estonia (Foto: Michael Gordon)
Di Latvia, kelompok usia tua ini juga meningkat dari 11,8 persen menjadi 18,4 persen. Sementara di Lithuania, populasi kelompok usia di atas 65 tahun juga meningkat dari dari 11 persen menjadi 17,9 persen.
ADVERTISEMENT
Pada 2030, jumlah penduduk usia tua di Estonia sebesar 21,7 persen, sementara di Lithuania mencapai 22,1 persen, dan 22,2 persen di Latvia.
Kebijakan memperbaiki angka harapan hidup malah berbuntut pada ditingkatkannya kompensasi tunjangan usia tua. Persoalan ini malah menambah permasalahan baru yang belum terselesaikan. Negara-negara Baltik harus berurusan dengan angkatan kerja yang menyusut, sementara jumlah pensiunan membengkak.
Keduanya tumpang tindih menjadi faktor yang mengurangi pendapatan dari pajak di masing-masing negara bersama dengan meningkatnya tekanan fiskal pada pemerintah. Sebab mereka harus mengucurkan sejumlah besar anggaran untuk tunjangan pensiun dan bantuan kesehatan.
Sementara harapan kembalinya para penduduk yang bermigrasi tak kunjung jadi kenyataan.
===================
Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!
ADVERTISEMENT