Laut China Selatan Terus Memanas, Indonesia Bisa Ambil Peran Redakan Ketegangan

9 Juni 2021 14:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pulau Spratly di Laut China Selatan Foto: Dok. Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Pulau Spratly di Laut China Selatan Foto: Dok. Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Laut China Selatan merupakan wilayah maritim luas dengan segudang konflik. Lautan yang menjadi bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) beberapa negara ini menjadi pusat konflik antara sejumlah negara ASEAN dan China.
ADVERTISEMENT
Mayoritas bagian dari perairan ini tumpang tindih dengan ZEE beberapa negara Asia Tenggara, yakni Filipina, Malaysia, Brunei, Vietnam, dan juga Indonesia dengan China.
Kekayaan sumber daya laut di perairan ini menjadi salah satu pemicu utama terjadinya perselisihan teritorial yang hingga kini masih terus bergulir. China pun secara sepihak mengakui hampir sebagian besar wilayah Laut China Selatan.
Menurut sebuah artikel jurnal yang ditulis oleh ahli hukum kelautan, Ryan Martinson, salah satu area yang diklaim China kepulauan Spartly tak masuk ke dalam ZEE negara mana pun menurut Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982. Oleh sebab itu, klaim China tidak berlaku secara legal.
Meski sudah ada dasar hukum, ketegangan di Laut China Selatan nyatanya tidak kunjung usai.
ADVERTISEMENT
Pakar di Pusat Studi Strategis dan Internasional, Evan Laksmana, menyatakan bahwa perselisihan yang terjadi ini harus perlahan diselesaikan dalam dua langkah pengelolaan, yakni pengelolaan ketegangan dan penyelesaian perselisihan.
Menurut Evan, salah satu bentuk dari pengelolaan ketegangan adalah dengan dibentuknya COC atau Code of Conduct. Ini adalah sebuah bentuk negosiasi antara negara-negara ASEAN dan China untuk membantu mengelola ketegangan yang terjadi di wilayah persengketaan.
Menlu hadiri pertemuan virtual ASEAN hari kedua. Foto: Dok. Kementerian Luar Negeri

Peran Indonesia dalam Pengelolaan Ketegangan di Laut China Selatan

Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan Asia Tenggara tentunya bisa ikut serta dalam membantu manajemen perselisihan di Laut China Selatan, yaitu dengan turut serta dalam merumuskan COC secara suportif dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Proses COC ini, menurut Evan, berjalan dengan sangat lamban, sehingga pengelolaan ketegangan di wilayah tersebut juga menjadi terhambat. Oleh karena itu, Indonesia harus membantu perumusan COC yang berkualitas.
ADVERTISEMENT
“Indonesia harus tetap mengerahkan fokusnya dalam proses COC yang telah dibuat oleh ASEAN dan China. Lebih baik Indonesia berada di ASEAN, dan COC harus berlaku,” tegas Evan dalam diskusi virtual soal perselisihan Laut China Selatan dan Laut Natuna Utara, Rabu (9/6).
Lebih lanjut, Evan mengatakan bahwa merumuskan COC yang bermutu itu adalah hal yang terpenting dalam mengelola ketegangan di Laut China Selatan.
“Indonesia harus lebih tegas dalam membentuk dan memproduksi COC yang berkualitas tinggi lebih baik dibandingkan dengan memenuhi tenggat waktu tertentu,” ujar Evan, membahas mengenai keterlambatan dan penundaan perumusan negosiasi COC.
“COC sendiri itu gunanya untuk manajemen ketegangan, bukan untuk penyelesaian perselisihan. Sembari menunggu CoC yang lebih berkualitas, kita jangan menaruh harapan pada CoC ini saja,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Evan berpendapat bahwa Indonesia harus mampu membangun dan memperluas hubungan erat dengan negara-negara tetangga di ASEAN, seperti Vietnam dan Malaysia.
“Menyamakan posisi dan membangun hubungan pertahanan dan keamanan dengan negara-negara yang mengeklaim di Laut China Selatan akan membantu dalam proses negosiasi COC,” terangnya.
Ilustrasi Laut China Selatan. Foto: Getty Images

Potensi Konflik Indonesia dan China di Laut Natuna Utara

Indonesia sendiri tak masuk ke dalam pusaran konflik Laut China Selatan dengan China dan negara-negara ASEAN lainnya.
Hal itu disebabkan karena Indonesia tak mengeklaim atas wilayah yang disengketakan, yakni Perairan Kepulauan Spratlys. Tetapi, kepentingan Indonesia berbenturan dengan China di Laut Natuna Utara, yang kebetulan berlokasi di bagian selatan Spratlys.
“Indonesia tidak mengambil klaim atas wilayah atau area yang disengketakan di Laut China Selatan. Ini adalah esensi dasar dari posisi Pemerintah Indonesia yang tak mengeklaim apa pun,” jelas Evan.
ADVERTISEMENT
“Indonesia menganggap bahwa penyusupan yang dilakukan Pemerintah China, sebagai masalah hukum maritim, dan bukan perselisihan Laut China Selatan,” tambahnya.
Tak hanya sekali atau dua kali Indonesia telah menangkap basah kapal-kapal penangkap ikan China yang memasuki wilayah Laut Natuna Utara akibat dari ketumpang-tindihan klaim ini.
Menyusup kapal-kapal Tiongkok, disebabkan Beijing mempertahankan argumennya atas garis 9 dash line yang keberadaannya didasari secara kesejarahan negara mereka.
Tetapi, kedudukan Indonesia masih lebih kuat, dikarenakan klaim Indonesia atas ZEE telah tercatat oleh UNCLOS 1982, tak seperti 9 dash line China.
Kapal Coast Guard China membanyangi KRI Usman Harun-359 saat melaksanakan patroli di ZEE Indonesia Utara Pulau Natuna, Sabtu (11/1). Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Manajemen Konflik di Laut Natuna Utara

Laut Natuna Utara yang tumpang tindih dengan nine dash line yang diklaim China sebenarnya berpotensi menyulut konflik antara Indonesia dengan China. Tetapi, menurut Evan, hal itu bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, ada beberapa hal yang harus dilakukan dan ditingkatkan oleh Indonesia dalam mengelola ketegangan dan menghindari perselisihan dengan China di Laut Natuna Utara.
Pertama, Indonesia harus mengembangkan kebijakan baru untuk memperluas perangkat kebijakannya.
Dalam pemaparannya, Evan membagi solusinya ke dalam tiga jangka waktu yang berbeda, yakni jangka pendek, menengah, dan panjang. Bidangnya pun disesuaikan, yakni dalam bidang diplomatik, ekonomi, militer, dan keamanan.
“Kedua, Pemerintah Indonesia harus bisa membuat keseragaman tujuan di antara instansi-instansi pemerintahannya, sehingga bisa mencapai maksud dan tujuan yang lebih realistis,” papar Evan.
“Tujuan realistis itu adalah untuk menahan China untuk masuk ke Laut Natuna Utara dan melakukan penangkapan ikan secara ilegal,” imbuhnya.
Sebagai penutup, Evan menekankan bahwa Indonesia juga harus membentuk sistem pengelolaan krisis yang lebih baik, supaya mampu menghadapi sengketa dengan China di Laut Natuna Utara dengan langkah yang lebih baik dan tegas.
ADVERTISEMENT