Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
LBH Jakarta Nilai Polri Tak Transparan Terkait Proses Etik di Kasus DWP
2 Januari 2025 17:06 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Divisi Propam Polri masih menggelar sidang etik terkait kasus dugaan pemerasan terhadap penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024. Dalam sidang itu, sudah dua polisi yang dipecat.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, LBH Jakarta menyayangkan minimnya transparansi kepada publik terkait proses sidang etik, serta tindak lanjut proses hukum pidana terhadap anggota Polri yang terlibat dalam dugaan kasus pemerasan tersebut.
"LBH Jakarta mendesak Polri untuk membuka informasi dan transparansi seluas-luasnya kepada publik terkait proses sidang etik, serta tindak lanjut proses hukum pidana terhadap anggota Polri yang terlibat dalam kasus pemerasan Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024," kata LBH Jakarta dalam siaran persnya, dikutip pada Kamis (2/1).
"Mengacu pada kondisi yang demikian, kami menyangsikan berbagai pernyataan pejabat Polri melalui Karopenmas dan Kadiv Propam yang pada pokoknya berkomitmen untuk serius dalam menyelesaikan kasus ini secara tegas. Pernyataan tersebut hanya akan menjadi omong kosong semata, apabila tidak dibarengi dengan transparansi proses hukum baik etik maupun pidana," sambungnya.
ADVERTISEMENT
LBH Jakarta menyebut hingga kini belum jelas identitas keseluruhan dan jumlah pasti anggota Polri yang disidang. Termasuk juga ketidakjelasan mengenai motif, pola, pembagian peran, dan apa ketentuan etik yang dilanggar, serta sejauh mana proses hukum pidana yang akan dikenakan terhadap anggota Polri tersebut.
"Kami menilai, ketiadaan transparansi ini telah menjadi budaya dalam tubuh kepolisian yang kerap terjadi ketika anggota Polri terlibat dalam suatu pelanggaran hukum. Kami juga menduga kuat bahwa hal ini merupakan suatu kesengajaan untuk mendistorsi kesalahan atau pelanggaran polisi dalam kasus pemerasan di DWP 2024. Hal tersebut adalah pola lama untuk melindungi kelangsungan karier rekan sejawat dan nama baik institusi yang kian hari terus merosot," tuturnya.
Oleh sebab itu, LBH Jakarta meminta kasus ini harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Polri sebagai badan publik wajib mengumumkan informasi yang kredibel dan proses yang akuntabel terkait penanganan kasus pemerasan DWP 2024.
ADVERTISEMENT
"Apabila dalam proses etik dan profesi anggota Polri yang terlibat kasus DWP 2024 tidak dilakukan secara transparan dan akuntabel, maka akan berdampak pada kualitas kepercayaan publik terhadap Polri yang terus merosot sebagai institusi untuk mencari keadilan. Polri seharusnya menerapkan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas yang meliputi adanya akses informasi bagi pihak luar, pendekatan pada sisi hukum dan partisipasi atau pelibatan hak warga negara, ini harus dipandang sebagai cara untuk menilai atau mengevaluasi seluruh pelaksanaan kewenangan Polri baik secara individu dan kelembagaan," jelasnya.
Lebih lanjut, LBH Jakarta berpandangan pelaku tidak boleh hanya diberi sanksi etik, tindakan pelaku yang juga termasuk dalam tindak pidana korupsi wajib diproses secara hukum pidana. Para polisi pelaku pemerasan ini harus diproses hukum pidana menggunakan Pasal 12 huruf e UU Tipikor.
ADVERTISEMENT
"Proses hukum pidana ini penting untuk dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. Untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan dengan penyidik Polri karena adanya code of silence atau upaya saling melindungi, maka proses hukum pidana sebaiknya dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 11 (1) UU KPK yang pada pokoknya menyatakan bahwa KPK berwenang melakukan proses hukum terhadap dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum," ujarnya.
"Proses pemidanaan yang transparan dan akuntabel juga merupakan upaya untuk menghilangkan impunitas yang selama ini ada di tubuh Polri. Hal ini diharapkan dapat memberikan efek jera dalam menyelesaikan permasalahan koruptif di tubuh Polri," lanjut LBH Jakarta.
Proses penanganan yang dilakukan seharusnya, lanjutnya, tidak hanya terbatas pada pelaku lapangan saja, atasan pelaku, dalam hal ini pejabat Polri harus pula diseret ke dalam proses yang ada.
ADVERTISEMENT
"Menurut Pasal 6 ayat (1) Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri, dijelaskan bahwa setiap Pejabat Polri yang berkedudukan sebagai atasan memiliki kewajiban untuk segera menyelesaikan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh bawahan dan mengarahkan, mengawasi, dan mengendalikan pelaksanaan tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang dilaksanakan oleh bawahan. Dalam konteks ini, maka sudah jelas terdapat kelalaian dari Atasan pelaku terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang dari pelaku," katanya.
LBH Jakarta juga menilai kasus ini harus dipandang sebagai peluang untuk mereformasi Polri secara total.
"Untuk itu, sudut pandang para pemangku kekuasaan, khususnya Presiden dan DPR RI tidak boleh hanya terbatas pada penyelesaian kasus dan penghukuman terhadap pelaku, tetapi juga terhadap perbaikan institusional dan jaminan ketidakberulangan dalam kerangka reformasi Polri. Tanpa hal tersebut, kasus-kasus serupa akan terus berulang," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kami mendesak agar Kapolri, Kadiv, Propam Polri untuk:
ADVERTISEMENT
Live Update