Lebih dari 60% Warga Sudan Selatan Hadapi Krisis Pangan

10 April 2022 2:46 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga Sudan Utara membawa sekarung tepung yang didistribusikan oleh staf Program Pangan Dunia (WFP) di Aweil di negara bagian Bahr el Ghazal utara di Sudan selatan 29 Desember 2010. Foto: Goran Tomasevic/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Warga Sudan Utara membawa sekarung tepung yang didistribusikan oleh staf Program Pangan Dunia (WFP) di Aweil di negara bagian Bahr el Ghazal utara di Sudan selatan 29 Desember 2010. Foto: Goran Tomasevic/REUTERS
ADVERTISEMENT
Lebih dari 7,7 juta warga Sudan Selatan atau sekitar 63% dari populasi tengah menghadapi krisis pangan ketika kekerasan meningkat di negara itu. Dikutip dari AFP, hal ini disampaikan Pemerintah Sudan dan PBB pada Sabtu (9/4).
ADVERTISEMENT
Angka tersebut menandai kenaikan 7% dari angka yang dilaporkan tahun lalu.
Berdasarkan hasil laporan bersama, yang juga dipresentasikan kepada media pada Sabtu, guncangan iklim seperti banjir dan kekeringan, dan perpindahan populasi berkontribusi atas peningkatan kerawanan pangan, serta bentrokan senjata yang tengah berlangsung.
Negara terbaru dunia, Sudan Selatan, telah mengalami ketidakstabilan kronis sejak kemerdekaannya pada 2011, menghabiskan hampir setengah hidupnya sebagai negara berperang. Negara itu pada 2013 terjerumus dalam perang saudara selama 5 tahun antara pasukan yang setia kepada Presiden Salva Kiir dan pemimpin oposisi veteran Riek Machar.
Perang tersebut merenggut hampir 400.000 nyawa dan membuat jutaan orang mengungsi dari rumah mereka.
Dua tahun lalu, kedua pria itu membentuk persatuan pemerintahan, memperkuat kesepakatan damai yang ditandatangani pada 2018 yang mengakhiri konflik. Namun sejak saat itu, Sudan Selatan terhuyung-huyung keluar dari krisis ke krisis, berjuang melawan banjir, kelaparan, juga kekerasan dan pertengkaran politik karena janji-janji perdamaian yang gagal terwujud.
ADVERTISEMENT
PBB telah berkali-kali mengkritisi kepemimpinan Sudan Selatan atas perannya dalam memicu kekerasan, menindak kebebasan politik, dan menjarah kas publik.
"Kami akan terus menghadapi situasi yang kami alami di Sudan Selatan jika kami tidak mulai melakukan transisi untuk memastikan perdamaian di tingkat masyarakat," kata Koordinator Kemanusiaan PBB di Sudan Selatan, Sara Beysolow Nyanti. Ia juga menambahkan "kami melihat kekerasan sub-nasional".
"Sampai konflik diatasi, kami akan terus melihat angka-angka tersebut meningkat karena artinya adalah masyarakat tidak memiliki akses aman ke tanah mereka untuk bercocok tanam," kata Penjabat Direktur Program Pangan Dunia di Sudan Selatan, Adeyinka Badejo.
Seorang wanita dari suku Dadinga membawa bantuan makanan yang didistribusikan oleh staf Program Pangan Dunia (WFP) di desa Lauro di kabupaten Budy di Negara Bagian Equatoria Timur, Sudan selatan, 2 April 2010. Foto: Goran Tomasevic/REUTERS
"Kami membujuk para pemimpin negara untuk terus menuju jalan perdamaian," lanjutnya.
Pada Jumat, pertempuran baru meletus antara pemerintah dan pasukan oposisi, hanya beberapa hari setelah kedua belah pihak berjanji melakukan gencatan senjata dan mencoba menyelamatkan kesepakatan perdamaian yang goyah.
ADVERTISEMENT
Bentrokan di negara persatuan yang kaya akan minyak ini adalah yang terbaru dalam beberapa minggu antara pasukan yang bersekutu dengan Kiir dan mereka yang setia kepada wakilnya, Machar.
Berdasarkan laporan pada Sabtu, 80% populasi yang menderita krisis pangan berada di Unity, Jonglei, Upper Nile, Warrap, dan negara bagian selatan Equatoria.