Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Lee Hsien Loong dan Dinasti Tangan Besi Singapura
5 Juli 2017 10:01 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Perseteruan merundung para putera Bapak Pendiri Singapura Lee Kuan Yew. Soalnya bermula dari sebuah surat wasiat mendiang sang bapak menyangkut rumah warisan.
ADVERTISEMENT
Lee yang mangkat 2015 lalu, melalui wasiatnya, meminta agar rumah tinggalannya di 38 Oxley Road diruntuhkan, daripada rusak dan berantakan jika dibuka untuk umum sepeninggal dia.
Anak kedua dan ketiga Lee, Lee Wei Ling dan Lee Hsien Yang, meyakini itulah wasiat ayahnya. Sementara si sulung yang saat ini menjabat Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, meragukan keotentikan wasiat bapaknya.
Urusan keluarga dinasti politik di Singapura itu tampaknya tak akan surut dalam waktu dekat. Lantaran PM Lee membawa persoalan ini hingga ke parlemen Singapura setelah ia dituding oleh kedua saudaranya telah menyalahgunakan kekuasaan untuk memiliki rumah warisan yang sudah berdiri lebih dari satu abad tersebut untuk tujuan politis.
Tudingan penyalahgunaan kekuasaan oleh PM Lee Hsien Loong bukan isapan jempol belaka dan bukan sesuatu yang mengejutkan dalam sejarah oligarki penguasa Singapura.
Dalam pembangunan memegahkan negara-kota oleh Lee Kuan Yew pasca-kemerdekaan Singapura, terdapat watak tangan besi. Sifat itu pula yang mengalir dalam syahwat kuasa PM Lee Hsien Loong.
ADVERTISEMENT
Atas nama stabilitas negara, represi dan pembungkaman kebebasan berpendapat disahkan dan dilanggengkan di negara berpenduduk sekitar lima juta jiwa itu.
Hingga saat ini, dinasti politik keturunan Lee, dengan People’s Action Party (PAP) sebagai kuda politiknya, masih bercokol kuat di tanah kecil bekas jajahan Inggris itu selama lebih dari lima dekade.
Human Rights Watch mengemukakan, Singapura menggunakan peraturan Internal Security Act (ISA) dan Criminal Law (Temporary Provisions) Act untuk menangkap dan secara administratif menahan orang-orang dalam waktu tak terbatas tanpa tuduhan atau judicial review.
“Singapura tetap menjadi contoh ‘buku teks’ negara yang represif secara politis. Individu yang ingin mengkritik atau menantang kekuatan partai berkuasa bakal menghadapi pelecehan, tuntutan hukum, dan bahkan penjara,” kata Phil Robertson, Wakil Direktur Deputi Asia Human Rights Watch.
ADVERTISEMENT
Juli 2014 misalnya, seorang kartunis, Leslie Chew, diadili atas tuduhan menghina lembaga peradilan melalui karyanya, Demon-cratic Singapore, yang ia unggah di laman Facebook. Karya tersebut menggambarkan ketidakadilan sistem hukum di Singapura.
Menghadapi pasal penghinaan itu, nyali si kartunis ciut. Ia meminta maaf, lalu menghapus unggahan karyanya, dan berjanji tidak akan lagi membuat karya berisi kritik terhadap lembaga peradilan negara.
Proses peradilan atas Leslie Chew pun tidak dilanjutkan. Si kartunis sempat diinterogasi dan ditahan selama dua setengah hari sebelum dibebaskan dengan jaminan.
Tahun berikutnya, Maret 2015, masyarakat Singapura dihebohkan dengan video berisi kritik atas Lee Kuan Yew yang diunggah oleh seorang remaja berusia 16 tahun, Amos Yee. Video berjudul Lee Kuan Yew is Finally Dead itu mengantarkan si remaja pemberani mendekam di balik jeruji besi selama 53 hari.
ADVERTISEMENT
Tapi, bukannya ciut nyali seperti kartunis Chew, remaja itu justru merasa bangga. Ia berpendapat, hukuman atas tindakan subversifnya itu menjadi konsekuensi logis dan sepadan untuk mendorong kesadaran masyarakat Singapura terhadap demokrasi.
“Karena semua orang takut. Semua orang takut jika mengatakan hal semacam itu (kritik), mereka mungkin akan terjerumus dalam masalah dan itu merupakan dampak utama dari warisan Lee Kuan Yew,” ujar Yee.
Empat belas bulan kemudian, Mei 2016, kepolisian Singapura menggeledah rumah Roy Ngerng, seorang aktivis dan blogger yang dituding memfitnah PM Lee Hsien Loong.
Sejumlah barang Ngerng disita dan ia diinterogasi berjam-jam. Ngerng dituduh memfitnah PM Lee karena menyebutnya telah menyelewengkan dana publik.
Ngerng meminta maaf, namun PM Lee menolaknya, sebab menilai permintaan maaf Ngerng tidak tulus. Tawaran kompensasi 5.000 dolar Singapura dari Ngerng juga ditolak PM Lee.
ADVERTISEMENT
Tuntutan pencemaran nama baik dialamatkan pada Ngerng yang sudah memantik murka sang Perdana Menteri.
Data World Press Freedom Index 2017 dari Reporters Without Borders menempatkan Singapura pada peringkat 151 dari 180 negara. Singapura disebut sebagai negara yang secara aktif menyerang dan tak segan menuntut orang-orang yang mengkritik penguasa --menekan mereka agar tak memiliki pekerjaan, hingga terpaksa angkat kaki dari tanah air dan mencari suaka di luar negeri.
Internal Security Act yang disahkan Singapura sejak 1963 menjadi senjata. Dalih keamanan nasional menjadikan ISA sebagai peraturan yang mengesahkan penahanan seseorang tanpa proses hukum. Sasarannya tentu lawan politik maupun orang-orang yang dianggap subversif oleh penguasa, salah satunya mereka yang bergiat dalam gerakan kiri.
ADVERTISEMENT
Menurut sumber yang dipetik dari Historia , salah satu korban penangkapan rezim pada 1963, Lim Hock Siew, mengungkapkan kekonyolan peraturan dari ISA yang disebut-sebut berada dalam kontrol People’s Action Party bentukan Lee Kuan Yew.
“Nyatanya ada penahanan tanpa pengadilan melalui ISA --sistem hukum yang mengolok-olok konsep daripada sebuah hukum itu sendiri. ISA adalah hukum di luar hukum. Saat anda ditahan di bawah ISA, anda tidak akan mendapatkan perlindungan hukum dalam bentuk apapun,” ujar Lim Hock Siew pada 2009.
Barisan Sosialis yang saat itu dianggap sebagai ancaman politik terbesar bagi Lee dan PAP kemudian lumpuh. Lebih dari 100 politikus oposisi dan pemimpin serikat pekerja dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional, dan ditahan dengan sewenang-wenang.
ADVERTISEMENT
Pada 1966, tahun yang sama kala Soeharto di Indonesia memberangus PKI dan kelompok kiri, seorang anggota parlemen Singapura dari Barisan Sosialis, Chia Thye Poh, juga tersapu praktik despotik Lee setelah ia menentang keputusan pemerintah untuk memisahkan diri dari Malaysia.
Chia Thye Poh dikirim ke penjara selama 32 tahun, dan PAP dan Lee disebut sebagai aktor di belakang tindakan tersebut.
Dua tahun kemudian, PAP meraup kemenangan mutlak di parlemen dengan menggasak 58 dari 58 kursi. Kekuatan oposisi tidak pernah pulih setelahnya, dan sejak itu pula PAP tak tergoyahkan mencengkeram Singapura.
ISA merupakan produk kolonialisme yang dipertahankan Lee. Ia justru mengambil pelajaran dari para kolonialis untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Selama 31 tahun berkuasa sebagai pucuk pimpinan dan dua dekade berikutnya menempati posisi kunci di kabinet, Lee membentuk Singapura sesuai kehendaknya.
ADVERTISEMENT
Watak kekuasaan Lee kerap disebut otoritarianisme lunak. Pada 2005, Cherian George, pemimpin Asia Journalism Fellowship, menggambarkan watak otoritarianisme Lee sebagai bentuk pemaksaan yang dikalibrasi --otoritarianisme yang terukur di mana ia mempertahankan hegemoni negara dengan tetap membuat orang-orang bisa mengisi perutnya dan tidak memberontak.
Seorang korban penerapan ISA pada 1987, Teo Soh Lung, mengatakan bahwa pada 2010 tumbuh kegelisahan anak-anak muda Singapura terhadap masa lalu negara mereka terkait pengoperasian hukum yang sewenang-wenang.
Lee Kuan Yew pun sempat menyadari adanya generasi yang tumbuh dengan ketidakpercayaan terhadap hasil pekerjaan dari kekuasaan otoriternya.
ADVERTISEMENT
“The ones under 30, who’ve just grown up in stability and growth year by year, I think they think that I’m selling them a line just to make them work harder, but they are wrong. The problem is they don’t believe. They think I’m wrong.”
Kini, bukan tak mungkin kisruh keluarga dan tudingan politis yang dilancarkan kedua adik Lee Hsien Loong terhadapnya dapat merontokkan kepercayaan publik pada dinasti Lee dan dominasi People’s Action Party.
Atau sebaliknya, Lee sulung yang menggenggam kuasa, akan meneruskan kedigdayaan sang ayah, terus melenggang meski dihantam riak soal rumah warisan bapaknya.
Setidaknya, kekhawatiran sang adik, Lee Hsien Yang, menjadi pertanda. Lee Hsien yang merasa diawasi dan dimata-matai, kini merasa tak aman, tak nyaman, dan tak diterima lagi di negaranya sendiri --yang dikendalikan sang kakak-- sehingga memutuskan untuk pergi dari Singapura bersama istrinya, Lee Suet Fern.
ADVERTISEMENT
Dinasti tangan besi Singapura belum akan berakhir.