Lembaga Riset AS Duga COVID-19 Sudah Jangkiti 78 Juta Orang RI

6 Oktober 2021 14:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
Warga menggunakan masker beraktivitas di Kawasan MH Thamrin, Jakarta, Jumat (13/3).  Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Warga menggunakan masker beraktivitas di Kawasan MH Thamrin, Jakarta, Jumat (13/3). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Pelandaian kurva pandemi COVID-19 saat ini tengah terjadi di Indonesia. Meski pada Juli lalu, penambahan kasus harian corona di Tanah Air sempat mencapai puncaknya, hingga lebih dari 50 ribu kasus dalam sehari.
ADVERTISEMENT
Per Selasa (5/10), sudah ada 4.221.610 kasus konfirmasi corona yang dilaporkan secara nasional. Artinya, kasus ini mencapai 1,5% dari total penduduk Indonesia.
Namun, baru-baru ini, sebuah lembaga riset kesehatan global dari University of Washington di Seattle, Amerika Serikat, yakni The Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME), merilis data terkait prediksi jumlah orang yang telah terinfeksi corona di Indonesia.
Ternyata, hasil riset mereka menunjukkan jumlah yang sudah terinfeksi jauh lebih besar dari data yang disampaikan pemerintah.
"Kami memperkirakan bahwa 29% orang di Indonesia telah terinfeksi pada 27 September," tertulis dalam rilis IHME pada 1 Oktober 2021.
Sekarang kita lihat dari segi jumlah penduduk. Hasil sensus penduduk oleh Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2020 jumlah penduduk Indonesia berjumlah 270,20 juta jiwa. Sedangkan data Dukcapil Kemendagri per Juni 2021 menunjukkan penduduk 272.229.372 juta jiwa.
ADVERTISEMENT
Dari prediksi tersebut, jika diambil 29 persen, berarti sekitar 78,3 juta orang diproyeksikan telah terpapar COVID-19 menurut data jumlah penduduk BPS. Sedangkan menjadi 78,9 juta orang telah terpapar versi jumlah penduduk Dukcapil pada 27 September lalu.
Artinya, kasus yang diproyeksikan ini terjadi 20 kali lebih banyak dari data yang dilaporkan pemerintah.
Penumpang mengenakan masker di dalam angkutan Jak Lingko di Tanah Abang, Jakarta, Kamis (22/7/2021). Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO
Masih dalam riset yang sama, IHME mengakui terjadi penurunan kasus konfirmasi COVID-19, rawat inap dan kematian di Indonesia. Namun, situasi masih sangat rapuh karena cakupan vaksinasi terbilang rendah, khususnya pada kelompok lansia.
"Situasi tetap rapuh karena cakupan vaksinasi yang masih rendah, dan persentase populasi [rentan] yang besar berisiko," tulis laporan itu lagi.
Selain itu, disebutkan juga pada 1 Januari 2022, diperkirakan ada 36 persen masyarakat Indonesia yang akan kebal terhadap corona varian delta.
ADVERTISEMENT
"Model kami juga memproyeksikan pada 1 Januari, 36 persen warga kebal terhadap varian delta. Karenanya lonjakan masih tetap mungkin terjadi," lanjut mereka.
Kata epidemiolog soal kaitan imunitas setelah divaksin
Menanggapi hasil riset tersebut, Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, menyebutkan data prediksi tersebut bisa menjadi gambaran mengapa kasus corona Indonesia saat ini dengan cepat melandai.
Sebab, jumlah orang yang sudah memiliki antibodi alami jumlahnya cukup banyak.
"Adanya prediksi ini sebenarnya membuktikan juga menjelaskan terhadap situasi yang terjadi saat ini, perbaikan yang terjadi saat ini pelandaian saat ini, terutama Jawa-Bali dan sebagian luar Jawa antara lain karena adanya kondisi imunitas dari kurang lebih mendekati 30% penduduk kita yang sudah terpapar," kata Dicky kepada kumparan, Rabu (6/10).
Dicky Budiman, epidemiolog dari Griffith University Australia. Foto: Dok. Pribadi
Dia juga menambahkan, jumlah total orang yang sudah memiliki antibodi juga sebenarnya lebih banyak jika ditambah dengan mereka yang sudah divaksinasi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data vaksin.kemkes.go.id, per hari ini, Rabu (6/10), cakupan vaksinasi Indonesia pada dosis pertama sudah mencapai lebih dari 95,7 juta orang. Sehingga, data IHME bisa saja beririsan dengan penduduk yang sudah divaksin.
Oleh karena itu, Dicky memprediksikan sudah ada 120 jutaan orang yang punya antibodi terhadap corona.
"Dan ditambah lagi bisa beririsan dengan yang sudah divaksinasi. Jadi ini dalam prediksi saya setidaknya kalau ditambah yang sudah divaksinasi, bisa jadi sampai 120 jutaan yang sudah memiliki imunitas antara natural dan juga akibat vaksinasi," jelasnya.
Apabila orang yang telah terinfeksi tak segera divaksinasi penuh setelah lebih dari sebulan sejak sembuh, maka bisa menimbulkan risiko terinfeksi lagi pada akhir tahun 2021. Sebab, orang yang mayoritas positif COVID-19 namun tak bergejala umumnya memiliki antibodi yang lebih rendah.
ADVERTISEMENT
"Namun, harus dipahami juga bila katakanlah diambil akhir masa kritis itu akhir Agustus atau September, atau pertengahan. Maka akhir tahun atau masa 2-3 bulan rata-rata 3 bulan dari pasca terinfeksi adalah masa kembali rawan. Ketika kurang lebih yang 29% ini kembali menurun imunitasnya karena mayoritas tidak bergejala. Nah, ini yang artinya membuat rawan itu kalau vaksinasi lengkap tidak dikejar," tutur Dicky.
Oleh karena itu, ia menegaskan vaksinasi corona secara lengkap merupakan hal yang harus bisa segera dituntaskan.
"Karena mereka akan rawan terinfeksi lagi dengan varian baru yang Mu atau lain yang bisa menginfeksi ulang itu, yang mau dikombinasi dengan juga mobilitas tinggi, termasuk minimnya sistem deteksi akan menyebabkan rawannya di awal tahun depan atau akhir tahun 2021. Ini yang menjadi potensi gelombang ketiga besar," tutup Dicky.
ADVERTISEMENT