Ilustrasi Lipsus kumparan: Gusar Prabowo Usai Pemilu

Lembaga Survei Menantang Klaim Kemenangan Prabowo

22 April 2019 15:35 WIB
Ilustrasi Lipsus kumparan: Gusar Prabowo Usai Pemilu. Foto: Indra Fauzi /kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Lipsus kumparan: Gusar Prabowo Usai Pemilu. Foto: Indra Fauzi /kumparan

Hari pencoblosan Pemilu 2019 telah berlalu. Sejak itu, empat kali sudah Prabowo mendeklarasikan diri sebagai pemenang pemilu presiden, meski tak satu pun hasil hitung cepat lembaga survei mengunggulkannya.

Dua jam setelah hasil hitung cepat berbagai lembaga survei tayang di media, Prabowo bersiap naik ke podium. Di atas panggung di pekarangan rumahnya, Jalan Kertanegara Nomor 4, Jakarta Selatan, ia berpidato.
“Saudara-saudara sekalian, hasil exit poll kita di 5.000 TPS menunjukkan kita menang, 55,4 persen, dan hasil quick count kita menang 52,2 persen,” bunyi deklarasi pertama Prabowo, Rabu 17 April 2019. Para pendukungnya sontak memekikkan takbir.
Layar televisi menyajikan hal sebaliknya. Hasil quick count berbagai lembaga survei menyatakan pasangan calon nomor 01, Joko Widodo-Mar’ruf Amin, unggul dengan 54-55 persen suara.
Merespons hitungan quick count yang seragam menempatkannya sebagai pihak kalah, Prabowo menyanggah. Di hadapan ratusan pendukungnya, mantan danjen Kopassus itu dengan percaya diri menyebut diri ia telah menang.
Tanpa ditemani Sandiaga Uno dan para ketua umum partai pengusungnya, Prabowo berkata, “Ada upaya dari lembaga-lembaga survei tertentu yang kita ketahui memang sudah bekerja untuk satu pihak, untuk menggiring opini seolah-olah kita kalah.”
Menurut sumber kumparan di internal BPN Prabowo-Sandi, saat Prabowo pertama kali deklarasi itu, data yang diinput timnya berada di kisaran 40 persen.
Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto bersama Cawapres Sandiaga Uno mengangkat tangan saat mendeklarasikan kemenangannya. Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Tak cukup sekali deklarasi, kurang dari empat jam setelah pidato pertamanya, Prabowo kembali berorasi. “Berdasarkan hasil real count, kita di angka 62 persen. Kita menang. Ini adalah hasil real count lebih dari 320 ribu TPS,” ucapnya, juga tanpa didampingi wakilnya, Sandiaga.
Menurut Timses Prabowo, Sandi tak hadir karena tengah sakit dan cegukan tiada henti, sehingga ia memilih untuk beristirahat di kamar. Sementara sumber kumparan menyebut, sebelum deklarasi kedua Prabowo, terdapat perdebatan keras antara Sandi dan Prabowo.
Maka malam itu, Rabu (17/4), Prabowo hanya ditemani petinggi Partai Keadilan Sejahtera dan Gerindra mengumumkan dengan lantang, “Saya akan dan sudah menjadi presidennya seluruh rakyat Indonesia.” Deklarasi pun ditutup pekik takbir dan sujud.
Dalam satu hari, Prabowo telah dua kali mengklaim menang pilpres. Deklarasi kemenangan itu bersandar pada hasil hitung internal timnya, dengan angka yang berbeda-beda bahkan memiliki selisih cukup tinggi.
Ia menyebut menang exit poll dengan perolehan suara 55,4 persen, kemudian unggul di hitung cepat (quick count) internal dengan angka 52,2 persen. Terakhir, Prabowo mengklaim menang real count dengan angka melejit jadi 62 persen.
Bukan cuma berbeda satu sama lain, angka-angka itu berseberangan dengan hasil hitung cepat berbagai lembaga survei yang mengunggulkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Jadi, kenapa hasil survei internal BPN Prabowo-Sandi bisa berbeda? Apakah karena perbedaan metodologi dan pengambilan sampel, atau karena faktor lain?
Rustam Ibrahim. Foto: Prabarini Kartika/kumparan
Menurut Rustam Ibrahim, mantan direktur LP3ES, lembaga yang pertama kali mengadakan hitung cepat pada Pilpres 2004, hasil hitung cepat dapat menjadi rujukan yang kredibel. Sebab, angka hasil hitung cepat terbukti tak pernah beda jauh dengan hasil real count.
Namun, bila perbedaan antara hasil quick count dan real count terlampau jauh, maka akurasi dari salah satu metode penghitungan itu mesti diragukan. Dalam konteks ini, perbedaan hasil hitung cepat dan real count yang diklaim Prabowo telah memenangkannya hampir mencapai 10 persen.
“Kalau beda sampai 5-6 persen, ada yang harus diragukan. Apakah quick count-nya atau real count-nya (yang bermasalah)?” ucap Rustam kepada kumparan di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, Kamis (18/4).
Ia menambahkan, hasil hitung cepat antara lembaga-lembaga survei tidak akan jauh berbeda satu sama lain selama pengambilan sampel dilakukan secara proporsional sesuai metode ilmiah.
Yang dimaksud proporsional ialah pengambilan sampel harus dilakukan secara merata di tiap provinsi, dengan merepresentasikan populasi, agama, suku, dan jenis kelamin. Bila prasyarat itu sudah dipenuhi, kemungkinan perbedaan hasil hitung hanya berkisar 1 hingga 2 persen.
“Selama perbedaan tidak melebihi plus minus satu persen, itu artinya cara pengambilan sampel mereka itu sudah bisa dikatakan sama,” kata Rustam.
Ia juga menjelaskan, dengan metode random sampling yang berdasar pada teori probabilitas, margin of error quick count kecil sekali. Oleh karenanya quick count justru bisa menjadi alat kontrol penyelenggaraan pemilu.
“Kami mengontrol apakah pemilu itu jujur dan adil,” ujar Rustam.
Hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei: Charta Politika, Indikator Politik, LSI Denny JA, CSIS-Cyrus Network, Saiful Mujani Research & Consulting, dan Litbang Kompas, menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda.
Dari enam hitung cepat tersebut, secara umum pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin unggul dengan perolehan suara antara 54,26-55,67 persen. Sebaliknya, suara pasangan Prabowo-Sandi hanya berkisar di angka 44,33-45,74 persen. Perbedaan hitung cepat enam lembaga survei ini hanya berada di kisaran 1-2 persen.
Dari pemilu ke pemilu pun perbedaan hasil quick count lembaga-lembaga survei ini tidak pernah meleset jauh dari hasil perhitungan KPU.
Tapi, Prabowo menolak mengakui hasil hitung cepat seluruh lembaga survei itu. Dalam pidato kemenangannya, ia bahkan meminta para pendukungnya untuk tidak percaya pada hasil hitung cepat yang dirilis ke publik.
Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto bersama pendukungnya melakukan takbir di Rumah Kertanegara. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Prabowo menuding lembaga-lembaga survei tidak netral dan berupaya menggiring opini seolah-olah dia kalah. Baginya, hasil perhitungan tim suksesnya yang menyatakan ia unggul adalah yang benar.
Dalam deklarasi selanjutnya pada Jumat (19/4) di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Prabowo bahkan menuding keras bahwa lembaga survei itu telah berbohong.
“Hei tukang bohong, rakyat tidak percaya sama kalian. Mungkin kalian bisa pindah ke negara lain, mungkin kau bisa pindah ke Antartika. Hei lembaga survei, kau bisa bohongi penguin-penguin di Antartika," ucap Prabowo.
Menanggapi tudingan Prabowo tersebut, lembaga-lembaga survei yang tergabung dalam Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) menggelar jumpa pers Expose Data Hasil Quick Count Pemilu 2019 pada Sabtu (21/4) di Hotel Morrissey, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka menunjukkan transparansi data dalam melakukan hitung cepat Pilpres 2019.
Lembaga-lembaga survei menolak disebut pembohong. Menurut Sekjen Persepi yang juga Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, perhimpunannya merasa perlu membuka data untuk menjaga kredibilitas lembaga survei lewat pertanggungjawaban ilmiah.
Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, dalam Expose Data Quick Count Pemilu 2019 di Hotel Morrissey, Jakarta, Sabtu (20/4). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
“Sambil menunggu real count KPU, minimal kami (Persepi) bisa membuktikan quick count kami dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” ujarnya kepada kumparan. Menurut Yunarto, hal tersebut penting untuk menegaskan posisi lembaga survei secara ilmiah bukan dalam framing politik.
Dalam acara tersebut, sepuluh lembaga survei yang tergabung dalam Persepi membuat stan terbuka. Di tiap stan, publik dapat meminta transparansi data, metodologi, dan alur hitung cepat yang dilakukan lembaga survei.
Ambil contoh hitung cepat yang dilakukan Indikator Politik. Hasil hitung cepat lembaga ini menunjukkan pasangan petahana meraih 54,07 persen suara, sementara Prabowo-Sandi mendapat 45,93 persen suara.
Tingkat toleransi kesalahan (margin of error) hitung cepat ini berada pada angka 0,64 persen dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Artinya, hasil survei bisa bergeser ke atas atau ke bawah sebesar 0,64 persen, dan ia punya kemungkinan meleset 5 persen (berdasarkan tingkat kepercayaan 95 persen).
Prosedur pemilihan sampel yang digunakan Indikator adalah stratified systematic random sampling (pengambilan sampel bertingkat sistematis) di 3.000 TPS di seluruh Indonesia. Penentuan jumlah TPS dikelompokkan sesuai dengan wilayah daerah pemilihan DPR RI dan status perdesaan-perkotaan.
Kemudian di masing-masing irisan dapil dan wilayah desa-kota, dipilih TPS secara systematic random sampling dengan jumlah proporsional. Yang dimaksud dengan systematic random sampling adalah TPS dikelompokkan menurut karakteristik subpopulasi yang sama, misal responden berpendidikan SMA atau berpenghasilan di atas Rp 1 juta.
Hasil akhir penghitungan suara Pilpres di TPS tempat Sandiaga Uno mencoblos. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Selain membuka metodologi hitung cepat, Indikator juga memperlihatkan alur data hitung cepat. Indikator menempatkan satu orang relawan di tiap-tiap TPS yang dipilih secara acak.
Data yang masuk ke data center Indikator kemudian divalidasi dan dihitung secara otomatis. Setelah itu, hasil penghitungan dikirim ke media untuk ditampilkan ke publik.
Sementara Persepi telah membuka metodologi data dan pengambilan sampel, BPN Prabowo-Sandi masih juga bungkam terkait metodologi hitung cepat dan real count yang mereka klaim. Padahal, menurut Yunarto, BPN Prabowo-Sandi serta TKN Jokowi-Amin turut diundang Persepi untuk menunjukkan data mereka di acara tersebut.
“Kalau mereka tidak berani membuka data dari survei atau quick count, nggak salah orang berspekulasi: jangan-jangan datanya nggak ada,” ujar Yunarto
BPN Prabowo-Sandi memilih melakukan survei internal secara mandiri. Sebab, menurut mereka, biaya untuk menyewa lembaga survei terlalu mahal.
Direktur Kampanye BPN, Sugiono saat konferensi pers di Kertanegara, Jakarta. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Survei di internal BPN Prabowo-Sandi dikoordinasi di bawah Wakil Ketua Umum Gerindra Sugiono dan Ketua DPP Bidang Organisasi dan Keanggotaan Gerindra Prasetyo Hadi Priambodo. Menurut sumber kumparan, tim ini terdiri dari ahli statistik lulusan Institut Teknologi Bandung, beberapa profesor, dan organ partai.
Pada periode Maret-April 2019, tim ini pernah mengadakan survei elektabilitas Prabowo-Sandi terhadap 10 ribu responden di 34 provinsi di Indonesia. Namun, baik metodologi maupun tingkat margin of error survei tidak dipublikasikan sebagai bagian dari kebijakan internal.
Hingga berita ini diturunkan, baik Sugiono ataupun Prasetyo tidak merespons permintaan wawancara yang diajukan kumparan.
Yunarto mengatakan, bila BPN Prabowo-Sandi bersedia transparan membuka data hasil quick count dan real count mereka, persoalan beda hasil hitung cepat ini dapat diselesaikan dengan uji ilmiah. Ia heran dengan perbedaan hasil hitung cepat dan real count mencapai hampir 10 persen seperti yang terjadi pada perhitungan internal kubu Prabowo.
“Mana ada quick count dengan real count beda 10 persen. Artinya real count-nya atau quick count-nya yang ngaco,” kata dia.
Klaim Kemenangan Prabowo Foto: Basith Subastian/kumparan
Senada dengan Yunarto, Ketua Dewan Etik Persepi, Hamdi Muluk, juga menyatakan bahwa hasil hitung cepat tidak mungkin berbeda jauh dari hasil real count. Menurutnya, hal semacam itu tidak logis dalam ilmu statistika.
Quick count-nya 52 persen, ternyata hasil real count 62 persen, berarti melesetnya jauh. Quick count-nya abal-abal itu. Harusnya malu, berarti Anda melakukan quick count asal-asalan, bedanya sampai 10 persen. Aneh,” jelasnya.
Hamdi juga mengkritik klaim kemenangan yang dipaparkan oleh Sekretaris Tim Kampanye Nasional Jokowi-Maruf Amin sebesar 62 persen. Baginya, pernyataan kubu Prabowo maupun Jokowi merupakan psywar alias perang urat saraf.
Ia meminta masing-masing pihak berani membuka data untuk dipertanggungjawabkan secara ilmiah guna membuktikan keabsahan klaim tersebut.
“Kami siap untuk menghadiri debat ilmiah atau seminar nasional tentang quick count. Hasil quick count diteliti oleh ahli-ahli ilmu statistik supaya ada basis legitimasi keilmuannya,” tegasnya.
Berdasarkan data yang dihimpun kumparan, dalam enam kali pemilihan umum—Pilpres 2009, Pilkada DKI Jakarta putaran pertama 2012, Pilkada DKI putaran kedua 2012, Pilpres 2014, Pilkada DKI putaran pertama 2017, dan Pilkada DKI putaran kedua 2017, hasil hitung cepat memang tidak berbeda jauh dengan penghitungan resmi KPU.
Ambil contoh Pilkada DKI putaran kedua 2017. Saat itu, hasil hitung cepat enam lembaga survei, yakni Charta Politika, SMRC, Indikator Politik, Indo Barometer, Litbang Kompas, dan LSI Denny JA, menunjukkan keunggulan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dengan perolehan suara di kisaran 57,67-58,5 persen.
Hasil hitung cepat itu tidak berbeda jauh dengan penghitungan resmi KPU yang memenangkan Anies-Sandi dengan perolehan 57,96 persen. Margin penghitungan hasil quick count enam lembaga survei dan hasil akhir penghitungan resmi KPU hanya berkisar 1-2 persen.
War Room Real Count Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf Amin di Hotel Gran Melia, Jakarta. Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Menjawab tantangan Persepi, TKN Jokowi-Ma’ruf Amin membuka sistem penghitungan real count internal mereka di Hotel Gran Melia Jakarta ke publik.
Menurut Wakil Ketua TKN, Moeldoko, penyelenggaraan real count internal tersebut dibuka untuk menghindari kecurigaan. Selain itu, hasil penghitungan real count internal ini dapat dijadikan pembanding real count yang dilakukan KPU.
“Tidak ada yang perlu kami sembunyikan karena kami ingin semuanya termanajemen dengan baik dan tidak perlu ada yang curiga. Standar kerja kami juga dapat dipertanggungjawabkan, sama seperti KPU,” klaim Moeldoko.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten