Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Lika-liku Nazaruddin: Jejaring Harta yang Disita hingga Diduga Ikut Kudeta AHY
3 Februari 2021 15:03 WIB
ADVERTISEMENT
Nama Muhammad Nazaruddin kembali mencuat seiring gonjang-ganjing penggulingan posisi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari kursi Ketua Umum Partai Demokrat . AHY sempat menyatakan, ada gerakan yang terdiri dari 5 orang yang hendak menggulingkan posisinya.
ADVERTISEMENT
Disebutkan bahwa salah satu dari 5 orang itu ialah kader yang sudah sembilan tahun lalu dipecat dari Demokrat. Diduga, kader tersebut adalah Muhammad Nazaruddin. Sebab, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu dipecat pada Juli 2011 silam, atau sekitar sembilan tahun lalu.
Saat itu, ia menjadi tersangka di KPK karena terlibat kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan. Belakangan, ia pun kembali dijerat dalam kasus gratifikasi dan pencucian uang.
Total, ia mendapat hukuman 13 tahun penjara atas perbuatannya itu. Bahkan asetnya senilai ratusan miliar pun dirampas negara.
Namun, ia ternyata bisa bebas lebih cepat karena mendapat remisi yang sempat jadi sorotan di masyarakat. Ia bebas murni pada Agustus 2020.
ADVERTISEMENT
Namanya sempat tak terdengar lagi sampai akhirnya mencuat kabar kudeta di Partai Demokrat. Kabar yang kemudian kembali memunculkan nama Nazaruddin.
Berikut sekilas perjalanan kasus Nazaruddin yang belakangan namanya dikaitkan dengan kabar kudeta di Partai Demokrat:
Dipecat hingga Lari ke Luar Negeri karena Korupsi
Nazaruddin dipecat dari Partai Demokrat pada Juli 2011 silam. Kala itu, Nazaruddin dipecat oleh Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum karena terjerat kasus korupsi dan dianggap membebani partai, melanggar etika politik, serta melanggar AD/ART partai. Pemecatan Nazaruddin saat itu juga atas persetujuan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sebelum diberhentikan, Partai Demokrat juga sudah tiga kali melayangkan surat peringatan (SP), di mana SP ketiga berupa pemecatan.
ADVERTISEMENT
Sebelum surat pemecatan keluar, Nazaruddin ternyata sudah kabur ke luar negeri karena menjadi buronan KPK. Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 30 Juni 2011 terkait kasus Wisma Atlet.
Nazaruddin lari berpindah-pindah negara selama pelarian. Mulai dari Vietnam, Singapura, hingga Argentina. Pelarian Nazaruddin pun berakhir di Kota Cartagena, Kolombia, pada 8 Agustus 2011. Ia langsung dibawa ke Indonesia dan langsung ditahan.
Vonis 13 Tahun Penjara
Tak lama setelah ditangkap, Nazaruddin langsung diadili. Pada kasus Wisma Atlet, ia dinilai terbukti menerima suap berupa lima cek yang nilai totalnya Rp 4,6 miliar. Hal itu imbal karena andil memenangkan PT Duta Graha Indah dalam proyek Wisma Atlet, Palembang.
Pada April 2012, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 4 tahun 10 bulan penjara kepada Nazaruddin. Belakangan, MA memperberat hukumannya menjadi 7 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Ia pun dieksekusi ke Lapas Sukamiskin untuk menjalani hukumannya itu. Namun kasusnya masih berkembang. Ia kembali dijerat KPK dalam kasus gratifikasi dan pencucian uang.
Pada saat menjabat anggota DPR, ia menerima gratifikasi dari PT Duta Graha Indah dan PT Nindya Karya untuk sejumlah proyek. Nilainya hingga Rp 40,37 miliar.
Selain itu ia dinilai melakukan pencucian uang selama periode 2010-2014 yang nilainya mencapai Rp 627,86 miliar. Serta selama periode 2009-2010 dengan nilai Rp 283,599 miliar.
Atas perbuatannya itu, ia dihukum 6 tahun penjara. Maka, total hukumannya menjadi 13 tahun penjara. Meski lebih berat, hak politik Nazaruddin tak dicabut oleh hakim.
Aset Ratusan Miliar Dirampas Negara
Aset Nazaruddin senilai ratusan miliar rupiah juga dinyatakan hakim dirampas untuk negara. Hal ini tak terlepas dari pencucian uang yang dilakukannya. Ada dua dakwaan pencucian uang yang dinilai terbukti hakim.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Antara, pada dakwaan kedua, Nazaruddin dinilai terbukti melakukan pencucian uang hingga mencapai Rp 627,86 miliar selama periode 2010-2014. Terdiri atas 19 lembar cek dari PT DGI senilai total Rp 23,119 miliar; dari PT Nindya Karya senilai Rp 17,250 miliar; PT DKI terkait pembangunan Wisma Atlet di Jakabaring Palembang berupa 5 lembar cek senilai Rp 4,575 miliar; dari PT Waskita Karya sejumlah Rp 13,250 miliar; dari PT Adhi Karya sejumlah Rp 3,762 miliar; dari Odie dan kawan-kawan sejumlah Rp 33,158 miliar; dari Alwin sejumlah Rp 14,148 miliar dan dari PT Pandu Persada Konsultan sejumlah Rp 1,7 miliar. Sehingga Permai Grup yang diduga di bawah kendali Nazaruddin mendapatkan keuntungan sebesar Rp 580,39 miliar.
ADVERTISEMENT
Hasil keuntungan tersebut diputar dengan membeli saham tersebut antara lain pembelian saham PT Garuda Indonesia (persero) Tbk senilai total 298.036.000 lembar berjumlah Rp 163,918 miliar; saham PT Bank Mandiri senilai total 7.651.500 lembar berjumlah Rp 40,14 miliar; saham PT Krakatau Steel, saham PT Bank Negara Indonesia, serta sukuk yang ditotal sekitar Rp 300 miliar.
Sedangkan dakwaan ketiga, Nazaruddin dinilai melakukan tindak pidana pencucian uang hingga mencapai Rp 283,599 miliar selama periode 2009-2010. Caranya ialah menggunakan rekening atas nama orang lain dan rekening perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Permai Grup dengan saldo akhir seluruhnya sebesar Rp 50,205 miliar; dibayarkan atau dibelanjakan untuk pembelian tanah dan bangunan seluruhnya sebesar Rp 33,194 miliar; dan tanah berikut bangunan yang dititipkan dengan cara seolah-olah dijual (dialihkan kepemilikannya) senilai Rp 200,265 miliar.
ADVERTISEMENT
Dalam putusannya, majelis hakim yang terdiri dari Ibnu Basuki Wibowo, Sinung Hermawan, Didik Purnomo, Ugo dan Sofialdi pun menyetujui untuk merampas harta Nazaruddin yang dinilai masuk dalam pencucian uang senilai sekitar Rp 600 miliar. Kecuali sejumlah harta yang menurut hakim diperoleh Nazar sebelum ia menjadi anggota DPR.
Terdapat enam aset yang dikembalikan, yakni:
Pertama, lahan perkebunan kelapa sawit beserta bangunan di atasnya seluas 2.500 hektar di kelurahan Pematang Hulu Riau yang merupakan aset PT Panahatan. Ditambah satu unit traktor dan rekening Bank Mandiri atas nama PT Panahatan dengan total saldo Rp 1,88 miliar.
Kedua, tanah dan bangunan di Pejaten No.7 dan 7A atas nama Neneng Sri Wahyuni senilai Rp 15 miliar.
ADVERTISEMENT
Ketiga, rumah di rumah susun Taman Rasuna yang dijual kepada Neneng Sri Wahyuni dengan harga Rp 750 juta.
Keempat, rumah di Sutera Palma di Perumaham Alam Sutera atas nama Mujahidin Nurhasyim seharga Rp 1,44 miliar dengan diskon Rp 72 juta.
Kelima, polis asuransi AXA Mandiri atas nama Neneng Sri Wahyuni dan nama tertanggung M Syarif Hidayatullah dan Sultan Al Hakim yang dibeli pada 9 Juli 2009.
Keenam, satu buah jam tangan Philips dalam keadaan kaca pecah.
Sedangkan aset-aset dan harta benda yang awalnya atas nama Nazaruddin kemudian dipindahnamakan kepada pihak lain majelis hakim memutuskan agar harta itu disita dan dirampas untuk negara.
"Demikian pula saham-saham, saham PT Garuda, PT Mandiri, PT Krakatau Steel, PT Gudang Garam, dan uang dalam rekening grup perseroan terbatas di bawah kendali terdakwa dinyatakan dirampas untuk negara," tegas hakim.
ADVERTISEMENT
Atas putusan 6 tahun penjara tersebut, Nazaruddin menyatakan menerimanya.
"Saya ikhlas seikhlas-ikhlasnya, saya menerima putusan apa pun dari yang mulia. Saya tidak ada niatan untuk banding dan memprotes putusan," kata Nazaruddin.
Belum diketahui rinci soal aset Nazaruddin yang dirampas oleh negara. Namun, beberapa di antaranya sudah mulai dalam proses lelang oleh KPK yang nilainya miliaran, yakni:
Pertama, satu bidang tanah dan bangunan di wilayah Manggarai, Jakarta Selatan. Harga limit lelang Rp 14.349.705.000.
Kedua, satu bidang aset berupa tanah dan bangunan di Kompleks Kejaksaan Agung. Harga limit lelang Rp 2.066.546.000.
Ketiga, satu unit tanah dan bangunan di daerah Pejaten, Jakarta Selatan. Harga limit lelang Rp 1.908.908.000.
Belum ada pengumuman dari KPK mengenai hasil lelang aset Nazaruddin tersebut.
ADVERTISEMENT
Remisi yang Bikin Nazaruddin Bebas Hanya dalam 7 Tahun
Merujuk pada hukuman 13 tahun penjara, Nazaruddin yang ditahan sejak Agustus 2011 seharusnya baru bisa bebas murni pada Agustus 2024. Namun, ia bebas 4 tahun lebih awal.
Ia mendapat Cuti Menjelang Bebas sejak 14 Juni 2020. Hal itu karena Nazaruddin sudah menjalani 2/3 masa pidana. Sehingga, dinilai layak diajukan mendapat cuti menjelang bebas.
Ternyata, Kemenkumham beberapa kali memberikan remisi kepada Nazaruddin. Totalnya selama 49 bulan atau sekitar 4 tahun. Remisi ini yang menjadi perdebatan dan mewarnai kebebasan Nazaruddin.
Kemenkumham meyakini Nazaruddin berstatus justice collaborator (JC) atau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum. Hal itu yang menjadi dasar pemberian remisi. Sementara hal itu dibantah oleh KPK yang mengaku tak pernah keluarkan status JC.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari itu semua, kini Nazaruddin sudah menjalani kehidupan bebas. Ia bebas murni pada Agustus 2020 sebab denda total Rp 1,3 miliar pun sudah dibayar olehnya.
Istri Nazaruddin Sudah Bebas Sejak 2018
Istri Nazaruddin, Neneng Sri Wahyuni, juga terjerat kasus korupsi pada 2011 silam. Berbeda dengan Nazaruddin, Neneng menjadi tersangka KPK dalam kasus korupsi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Namun, ia bersama-sama Nazaruddin kabur ke luar negeri dan buron sejak Agustus 2011. Saat sang suami ditangkap di Kolombia, Neneng berhasil kabur. Pada akhirnya, ia berhasil ditangkap pada Juni 2012. Namun, penangkapannya bukan di luar negeri. Melainkan di kediamannya di daerah Jakarta Selatan.
Dalam kasusnya, ia dinilai terbukti terlibat dalam korupsi pengadaan PLTS. Neneng disebut ikut menegosiasikan pembayaran kepada PT Anugerah Nusantara, perusahaan yang mengerjakan proyek itu.
ADVERTISEMENT
Akibat perbuatannya, negara dirugikan karena Depnakertrans membayar Rp 8 miliar padahal hanya dipakai PT Anugerah Nusantara Rp 5,27 miliar. Sisa dari uang yang dibayarkan oleh Depnakertrans itu disebut dinikmati oleh Neneng dan juga PT Anugerah Nusantara.
Atas perbuatannya, Neneng divonis 6 tahun penjara, denda Rp 200 juta subsidair 6 bulan kurungan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Ia pun dihukum membayar uang pengganti Rp 800 juta. Hakim memberi catatan, apabila Neneng tak sanggup membayar uang pengganti, maka aset Neneng akan dirampas oleh negara.
Hukuman Neneng diperberat pada tahap banding. Vonis pidana tetap penjara selama 6 tahun. Namun, uang pengganti yang harus dibayarkan Neneng menjadi Rp 2,6 miliar.
Neneng pun ternyata sudah bebas sejak 2018 lalu. "Tanggal bebas 9 Juni 2018," kata Kabag Humas Ditjen PAS Rika Aprianti.
ADVERTISEMENT
Kudeta di Partai Demokrat
Kabar adanya upaya kudeta di Partai Demokrat terungkap dalam konferensi pers yang dilakukan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Ia mengungkapkan adanya upaya dari sejumlah pihak yang ingin menggulingkan posisinya dari ketum partai.
AHY kemudian merinci, gerakan politik itu disebut mendapat dukungan pejabat pemerintahan Presiden Jokowi dan dilakukan oleh lima orang. Beberapa di antaranya pernah menjadi bagian dari Partai Demokrat.
"Gabungan dari pelaku gerakan ini ada lima orang terdiri dari satu kader Demokrat aktif, satu kader yang sudah enam tahun tidak aktif, satu mantan kader yang sudah sembilan tahun diberhentikan dengan tidak hormat dari partai, karena menjalani hukuman akibat korupsi," kata AHY.
"Dan satu mantan kader yang telah keluar dari partai tiga tahun yang lalu," tambah dia.
ADVERTISEMENT
Dari lima nama itu, ada satu nama yang cukup menarik perhatian yakni mantan kader Partai Demokrat yang diberhentikan tidak hormat sembilan tahun lalu akibat terjerat korupsi.
Sebab, ada satu nama mantan kader Partai Demokrat yang dipecat sembilan tahun lalu. Dia adalah Muhammad Nazaruddin . Namun, hingga saat ini, belum ada tanggapan dari Nazaruddin mengenai kabar tersebut.