Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Dalam jangka waktu lima tahun, tepatnya dari 2008-2013, ratusan anak dari Indonesia ditangkap di perairan Australia . Alasannya macam-macam, dari yang semata-mata karena memasuki perairan negara lain tanpa izin sampai yang lebih serius seperti menjadi anak buah kapal yang membawa imigran-imigran gelap.
Yang mengenaskan, sebagian dari ratusan anak tersebut ditempatkan di penjara dewasa—tindakan yang bertentangan dengan hukum Australia sendiri.
Dari situ, muncullah Elizabeth Hiariej atau yang biasa disapa Lisa, advokat Indonesia yang menetap di Australia. Mengaku bekerja secara pro bono, Lisa menjadi kuasa hukum dari 115 anak yang pernah dipenjara di Australia. Jalan panjang telah ia tempuh, dari mengumpulkan data anak-anak sampai memulai proses hukum di dalam negeri.
Jalan panjang Lisa dalam menuntut kompensasi bagi anak-anak tersebut tampaknya akan jadi semakin panjang. November 2016 lalu, gugatan Lisa terkait penahanan anak-anak tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ditolak hakim. Pun begitu dengan upaya bandingnya di pengadilan tinggi. Namun, Lisa menegaskan bahwa upaya hukum belum berhenti.
Pertengahan Agustus 2019 kemarin, wartawan kumparan Aryo Bhawono berbincang dengan Lisa di sebuah kafe di bilang Cikini, Jakarta Pusat. Mereka berdiskusi mengenai perkembangan upaya hukumnya dan detail dari penanganan kasus tersebut. Dalam kesempatan itu, Lisa menjelaskan beberapa hal, seperti mengapa ia menempuh jalur hukum di Indonesia dan bukan di Australia, serta mengapa ia membawa dokumen-dokumen asli anak-anak yang jadi kliennya tersebut.
Soal upaya hukum yang sejauh ini dilakukan di Indonesia. Bagaimana perjalanannya?
Ok, (awalnya) saya kebetulan membantu (tahanan) yang dewasa dengan lawyer-lawyer di Australia, saya tidak banyak membantu anak-anak ini.
Jadi saat mereka itu ketahuan bahwa mereka itu tidak bersalah, dipulangkan oleh pemerintah Australia, mereka mengeluh kepada teman-teman mereka yang dewasa, bahwa "Ah, kami kan tidak salah, kami di penjara. Ah kami mau meminta dong ganti rugi."
Lalu orang dewasa itu bilang "Tapi kita enggak punya duit, kita kan orang miskin." Lalu yang orang dewasa itu bilang, "Oh, ada satu pengacara, orang Indonesia. Namanya Ibu Lisa. Nah nanti kita hubungi."
Nah disitulah orang dewasa itu hubungi saya. Dia bilang, "Ibu, ada anak-anak yang di bawah umur itu mau gugat pemerintah minta ganti rugi, Ibu bisa bantu enggak?" Oh iya kita ketemu dulu, siapa tau saya bisa bantu.
Akhirnya saya ketemu dengan orang dewasa itu, dia menceritakan, ya saya bilang "Ok, saya akan bantu" Sesudah itu dia bilang "Ok, nanti saya hubungi anak-anak itu" karena bapak itu kan tau nomor (mereka).
Itu tahun berapa?
Itu sekitar tahun 2012. Akhirnya pertama yang dikasih itu Rasid. Akhirnya saya bilang dengan Rasid sama Eji.
Nah Rasid dan Eji mulai menceritakan, dia bilang, “Ibu tolong bantu kami, kami orang miskin, kami buta hukum, kami tidak punya apa-apa, karena kami ingin ganti rugi, karena kami tidak bersalah.”
Saya bilang, "Kalau dua…(susah). Ada berapa banyak?"
“Oh, banyak," katanya.
“Kamu tahu alamat-alamatnya?”
“Oh, itu gampang,” katanya.
Udah, akhirnya dia telepon ke Kupang. Saya lihat Kupang banyak, ada 80 lebih lah. Nah saya hubungi mereka. Saya ke Lombok. Demikian Batam. Sudah saya pergi semua. Akhirnya saya menjadi pengacara untuk mereka.
Lalu mengapa proses hukum yang Anda lakukan di Indonesia, bukan di Australia?
Saya bilang begini, karena anak-anak ini kan sudah pulang ke Indonesia, berarti anak-anak ini adalah anak-anak Indonesia. Memang betul, pas kejadiannya di Australia , locus-nya di Australia, tapi anak-anak ini adalah anak-anak Indonesia. Jadi anak-anak Indonesia punya hak dong untuk sidang di Indonesia, dan pengadilan Indonesia tidak bisa menolak mereka.
Akhirnya saya punya tim lawyer, lawyer Australia yang memang mengeluarkan anak-anak ini. Jadi saya berbicara dengan mereka, lawyer ini, mereka bilang "Ok" di Indonesia karena anak-anak ini sudah pulang. Jadi kalau prosesnya hukum, kalau lawyer Australia ini kan kalau mau datang ke Indonesia, Ini kan anak Indonesia, mereka harus minta izin. Apalagi proses hukum, jadi mereka sudah bekerja sama dengan saya.
Yang terakhir adalah kedaluwarsa. Yang mana kedaluwarsa untuk permintaan ganti rugi di Australia kan sudah selesai. Kalau di Indonesia kan 30 tahun. Di Australia itu tergantung state-nya, ada yang pertahun, ada yang tiga tahun.
Makanya dulu kasus yang Belanda ingat kan? Yang menangkan di Belanda itu, itu kan sudah berapa puluh tahun itu, baru di sini bisa. (Kasus keluarga korban Perang Kemerdekaan).
Itu mekanismenya bagaimana? Kan sudah habis di sana, yang di sini masih hidup. Berarti nanti antar-pemerintahan?
Itulah, antar pemerintah. Makanya nanti tergantung dari putusan ini. Untuk bagaimana nanti kan pengadilan yang memutuskan.
Yang penting kan nanti dulu, dari pengadilan dulu, dia memutuskan apa, entah bagaimana pemerintah dengan pemerintah. Ya, itu kan anak Indonesia. Makanya sekarang pemerintah tidak mau bergerak karena dia masih ada di pengadilan.
Di sana sudah selesai, kedaluwarsa. Dan kalaupun saya misalnya gagal di sini, saya bisa naikkan ke sana biar sudah kedaluwarsa, karena sudah pernah dinaikkan di pengadilan sini. Di sana kan belum pernah.
Berarti pertimbangan hukumnya itu karena anak-anak itu Warga Negara Indonesia?
Iya pertimbangan saya, pertimbangan saya sebagai pengacara itu bahwa anak-anak itu kan anak-anak Indonesia. Jadi mereka harus dilindungi oleh Bangsa Indonesia sehingga pengadilan Indonesia tidak bisa menolak karena ada Undang-undangnya untuk melindungi anak-anak Indonesia. Dan dalam kasus ini saya bukan untuk memalukan pemerintah Australia, hanya untuk minta ganti rugi dan minta maaf. Itu saja yang saya ajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kapan gugatannya diajukan dan apakah sudah ada putusan?
Pengajuan itu Oktober 2016, di PN Jakarta Pusat, tapi putusnya itu hampir satu tahun setengah baru putus tahun 2018, kalau enggak salah itu bulan Mei. Itu namanya putusan sela yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak punya wewenang karena itu adalah pemerintah Australia . Kita tidak kalah.
Dari situ saya naikkan ke banding, supaya Pengadilan Tinggi melihat putusan daripada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Di tingkat banding menyutujui, benar bahwa tidak bisa memutuskan ke sini, jadi saya akhirnya naik ke Mahkamah Agung kemarin bulan Juli.
Jadi upaya hukum tetap jalan terus ya Bu?
Iya, upaya hukum tidak berhenti.
Selain Ibu, infonya ada pihak lain yang ikut terlibat membantu anak-anak ini ya?
Ya itu yang saya bilang, bahwa Colin Singer itu ternyata berteman dengan Haris Azhar, dan Haris Azhar ini minta dokumen saya karena dia juga katanya lawyer, dia mau bergerak kan harus baca dokumen dong. Saya tidak tahu, kalau dia dengan Colin ini dekat. Dan Colin itu karena saya percaya bahwa dia juga mempertahankan anak Indonesia karena istrinya orang Indonesia, jadi saya terbuka semua.
Saya tidak tahu dia bekerja sama dengan Haris, akhirnya kan saya punya dokumen nama-nama anak-anak semua, dia pergi ke anak-anak itu bawa istrinya Colin, orang Indonesia.
Lalu istrinya itu sampai di sana dia bilang sama anak-anak, bahwa "Kalian punya kasus sama Bunda Lisa. Bunda Lisa sudah kalah." Katanya, "Satu Bunda Lisa kalah, dua Bunda Lisa lari tinggalkan kalian, sekarang saya penggantinya, saya lawyernya, dan ada semua dokumen." Ibu itu menyatakan bahwa dia lawyer.
Hari itu kan saya lagi tangani kasus, saya pulang. Pas saya pulang saya tanya anak-anak itu. Nah, baru mereka cerita. Akhirnya kita lapor. Penipuan kan. Kita lapor di Polda. Akhirnya ya enggak tau lah, pokoknya enggak berjalan sampai segini lah ini.
Jadi Colin itu ngambil semua saya punya klien itu, hampir semua. Colin ini bukan pengacara, Colin ini HAM sama dengan Haris, cuman dia itu bekerja sama dengan lawyer itu supaya entah dapat berapa persen. Gitu ceritanya.