Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
28 Ramadhan 1446 HJumat, 28 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
LPSK Sebut Korban Kekerasan Seksual Kerap Tak Mau Ajukan Restitusi
19 Maret 2025 17:31 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
ADVERTISEMENT
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengungkap masih ada segelintir korban kekerasan seksual yang enggan mengajukan restitusi untuk dibebankan kepada pelaku.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati dalam 'Diskusi Tantangan Pemberian Restitusi: Implementasi Perma Nomor 1 Tahun 2022' yang digelar secara daring, Rabu (19/3).
Sri menjelaskan, jumlah permohonan restitusi kepada pihaknya memang meningkat setiap tahun. Pada 2022 ada 2.150 permohonan; 2023 ada 4.264 permohonan; dan 2024 ada 4.427 permohonan.
Namun ternyata, masih banyak pula korban kejahatan yang enggan mengajukan restitusi. Salah satunya, yakni korban dalam kasus kekerasan seksual.
"Untuk (kasus) kekerasan seksual itu pada umumnya merasa kok seolah-olah 'saya sedang mentransaksikan layanan seksual, padahal itu kan saya yang mengalami perkosaan. Jadi saya enggak mau untuk mengajukan permohonan restitusi'," ungkap Sri.
Selain itu, Sri membeberkan, korban kejahatan lain pun juga punya alasan tersendiri enggan mengajukan restitusi. Mereka kebanyakan pesimis para pelaku kejahatan bisa membayarnya.
ADVERTISEMENT
Keraguan macam itu ternyata memang benar adanya. Berdasarkan data yang dimilikinya, nilai pembayaran restitusi sangat jauh dari yang telah ditetapkan.
"Kalau kita lihat kalau kita lihat dari rinciannya, kita lihat dari kekerasan seksual dulu ya, kekerasan seksual itu kerugian yang dihitung LPSK mencapai Rp 3.406.931.474, yang dibayar pelaku itu hanya Rp 62.646.360. Ketimpangannya, sangat, sangat dalam," ungkap dia.
Namun kini, lanjut dia, dengan adanya perkembangan peraturan perundang-undangan hak-hak korban bisa dipulihkan.
"Di undang-undang TPKS itu memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan sita aset pelaku, tidak hanya sita aset yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, tetapi juga seluruh harta pelaku sebagai jaminan sebagai jaminan restitusinya akan dibayar. Jadi tadi ya sekian persen yang tidak dibayarkan oleh pelakunya itu bisa dibayarkan," ujarnya.
ADVERTISEMENT