Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
“Gue mau makan dulu, ya!” menjadi ucapan yang wajar ketika didengarkan area Jakarta. Tapi, bagaimana jika yang mengucapkan adalah anak-anak yang tinggal di salah satu desa di Konawe, Sulawesi Tenggara?
ADVERTISEMENT
Bagaimana bisa gaya berbahasa ibu kota itu muncul di desa yang berjarak sekitar 2.500 kilometer dari Jakarta? Sebuah desa dengan akses jalan tanah yang berjarak 400 kilometer dari ibu kota kabupaten. Wilayah tanpa akses internet dan sulit sinyal telepon.
Ternyata, mesin parabola yang terpasang di banyak rumah warga menjadi jawaban dari fenomena itu. Dari televisi, warga menyaksikan gaya berbahasa ala Jakarta yang kerap muncul di sinetron maupun program televisi lain.
Cepat diserap dan ditiru warga, meskipun menonton televisi hanya bisa pukul 18.00-23.00 WITA. Yakni ketika pasokan listrik tersedia.
Di sana, banyak anak-anak yang menyerap dialog-dialog yang mereka saksikan lewat sinetron. Kemudian, menirukannya saat berinteraksi dengan teman sebaya.
ADVERTISEMENT
Sebuah fenomena yang bisa dibilang, senada dengan isu Jakarta sentris yang sempat ramai di laman twitter I Gede Ari Astina atau yang akrab disapa Jerinx, personel grup band Superman is Dead (SID). Waktu itu, Jerinx mempertanyakan ibu kota Indonesia, Jakarta atau Persija.
Kemudian, cuitan itu diramaikan komentar warganet seputar isu Jakarta sentris. Sebuah perdebatan tentang Jakarta yang dijadikan sebagai acuan tren warga-warga daerah. Mulai dari cara hidup hingga logat bicara.
Bahkan, Bahasa Indonesia yang dipakai sekarang pun menjadi salah satu bagian dari fenomena Jakarta sentris. Sebut saja, penggunaan Bahasa Indonesia berlogat daerah yang kadang dinilai kurang pas atau berbeda.
“Jadi ketika mereka (orang daerah) memakai ragam Jakarta, merasa terangkat dan dinilai lebih keren,” ujar mantan ketua Masyarakat Linguistik Indonesia Katharina Endriati Sukamto kepada kumparan, Senin (4/4).
Katharina menambahkan, penyebab tren Jakarta sentris dalam berbahasa Indonesia adalah soal dominasi. Ragam Jakarta mendominasi entah karena dalam segi jumlah atau segi prestise.
ADVERTISEMENT
“Kalau diperhatikan di televisi seperti sinetron, ragam mana yang digunakan? Ragam Jakarta kan? Itu yang ditiru karena lebih prestise. Seperti ‘lu gue’, dan kata-kata berakhiran ‘in’ seperti buatin, nemenin,” ucap Katharina.
Dia menilai, ragam Jakarta ditiru orang daerah karena posisi Jakarta sebagai ibu kota. Ditambah lagi, media massa juga memberikan pengaruh ketika ragam Jakarta itu masuk dalam layar kaca.
Memang, peran media terutama televisi dinilai signifikan dalam mempromosikan ragam Jakarta. Salah satu yang paling kentara, adalah kemunculan sinetron ‘Si Doel Anak Sekolahan’ pada 1994.
Sebuah tayangan yang mengangkat potret keluarga Betawi yang masih mempertahankan budayanya di tengah modernisasi. Akan tetapi, secara tidak langsung, serial itu juga mempromosikan dialek Melayu Jakarta (MJ) atau dialek Betawi.
ADVERTISEMENT
Dalam bukunya berjudul ‘Watching Si Doel: Television, Language and Cultural Identity in Contemporary Indonesia’, Klarijn Loven menjelaskan, perbedaan antara MJ dan Bahasa Indonesia Baku (BIB).
Salah satunya, adalah akhiran -an pada kata sifat tua. Dalam MJ, kata tersebut berubah menjadi tuaan, sementara di BIB menjadi lebih tua.
Juga akhiran -in pada kata kerja. MIsalnya di BIB akan menjadi melestarikan, namun di MJ berubah menjadi ngelestariin.
Di antara beragam dialek MJ itu, yang tidak kalah populer adalah penggunaan kata lu (kamu) dan gue (saya). Sebuah kosakata yang masuk ke Jakarta akibat pengaruh budaya China. Sama halnya, seperti goceng (lima ribu) atau gocap (lima puluh ribu).
Dalam teorinya Wallace yang dikutip Klarijn, MJ memang berkaitan erat dengan perubahan wajah BIB. Awal mulanya, MJ dan Bahasa Indonesia berasal dari rumpun Melayu.
ADVERTISEMENT
Lalu MJ berkembang menjadi dua cabang dialek Betawi Tengah dan dialek Betawi Pinggiran. Kemudian Bahasa Indonesia berkembang menjadi BIB dan Dialek Lisan Jakarta.
Melihat runutan itu, Wallace menyebut, kontak bahasa MJ dan BIB tidak jelas batasan perbedaannya. “Fenomena ini masuk ke dalam diglossic continuum menurut Wallace,” tulis Klarijn.
Artinya, kedua bahasa itu digunakan secara berdampingan dengan posisi yang berbeda, tidak formal untuk MJ dan resmi untuk BIB.
Dalam kesimpulannya, Klarijn menyebut, sebenarnya MJ dan BI itu tidak beda jauh karena satu rumpun dari Bahasa Melayu. Meski begitu, MJ mempunyai konotasi tersendiri yang kemudian membedakan dari Bahasa Indonesia.
Dari latar belakang ini, terlihat bahwa Jakarta sentris dalam penggunaan Bahasa Indonesia tidak hanya soal pengaruh media. Tetapi, juga terkait proses terbentuknya Bahasa Indonesia Baku yang tidak bisa lepas dari MJ.
ADVERTISEMENT
Berbicara mengenai fenomena Jakarta sentris dalam berbahasa, Katharina melihat adanya sebuah ironi.
“Wajar ketika orang daerah memakai dialek Jakarta karena superioritas, tetapi di kota besar, situasinya agak miris karena Bahasa Indonesia tidak lagi utama,” tambahnya.
Fenomena ini terlihat dari kalangan berpenghasilan tinggi yang menyekolahkan anak mereka ke sekolah internasional. Di mana bahasa pengantarnya bukan lagi Bahasa Indonesia melainkan Bahasa Inggris.
“Akibatnya, anak-anaknya tidak bisa berbahasa Indonesia. Tetapi bahasa Inggrisnya bukan seperti di Amerika, karena mereka tinggal di Indonesia,” tandasnya.