news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

MA Cabut Syarat Ketat Remisi, Apa Pertimbangan Hakim?

3 November 2021 10:40 WIB
ยท
waktu baca 7 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bendera Merah Putih berkibar di Gedung MA Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Bendera Merah Putih berkibar di Gedung MA Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Agung (MA) mencabut syarat ketat pemberian remisi terhadap narapidana kejahatan luar biasa baik itu korupsi, narkotika, hingga terorisme. Hal tersebut menjadikan narapidana kasus-kasus tersebut bisa sama mudahnya mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat dengan narapidana lainnya, contohnya napi maling ayam.
ADVERTISEMENT
Pasal yang dianulir oleh MA Pasal yakni 34A serta Pasal 43 A di PP Nomor 99 Tahun 2012. Dalam pasal tersebut, diatur soal syarat tambahan bagi napi narkoba hingga korupsi untuk mendapatkan remisi.
Salah satunya bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya atau dengan kata lain menjadi justice collaborator (JC).
Pasal-pasal tersebut digugat oleh Subowo dan kawan-kawan. Mereka merupakan mantan kepala desa yang kini sedang menjalani hukuman di Lapas Sukamiskin Bandung. Putusan tersebut diketok oleh hakim yang diketuai Supandi dengan anggota Is Sudaryono dan Yodi Martono Wahyunadi pada 28 Oktober 2021.
Apa pertimbangan MA dalam mengabulkan gugatan para koruptor itu?
Berikut keterangan tertulis dari juru bicara MA Andi Samsan Nganro terkait dengan pertimbangan hakim:
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Tanggapan Sejumlah Pihak
Cagub Kalsel, Denny Indrayana. Foto: Dok. Istimewa
Terkait pencabutan syarat ketat remisi ini, Mantan Wamenkumham Denny Indrayana memberikan sejumlah catatan. Catatan tersebut ia hasilkan dari pertimbangan hakim terkait pencabutan syarat ketat remisi tersebut.
Beberapa poin yang Denny sampaikan terkait dengan inkonsistensi MA dalam mengadili gugatan PP 99 Tahun 2012. Dia menyebut, MA dulu pernah dua kali mengadili PP serupa tetapi keduanya berakhir dengan ditolak, tak dikabulkan seperti sekarang ini.
Putusan yang dimaksud Denny yakni putusan MA nomor 51 Tahun 2013. Pada putusan tahun 2013 itu, MA menyatakan bahwa keberadaan PP Nomor 99 Tahun 2012 memperketat syarat pemberian remisi agar pelaksanaannya mencerminkan nilai keadilan. Saat itu, kata Denny, putusan ini diketok oleh almarhum Artidjo Alkostar.
ADVERTISEMENT
Dalam putusan itu pula, kata Denny, disebutkan bahwa perbedaan perlakuan terhadap narapidana merupakan konsekuensi etis untuk memperlakukan secara adil. Sesuai dengan dampak kerusakan moral, sosial, ekonomi, keamanan, generasi muda, dan masa depan bangsa, dari kejahatan yang dilakukan masing-masing narapidana.
Lalu, putusan MA yang mencabut syarat ketat remisi ini juga dinilai bertentangan dengan putusan nomor 56 Tahun 2013. Dalam putusan ini, disebutkan pengetatan syarat remisi narapidana juga pernah diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 2006.
Dalam putusan itu disebutkan bahwa pengetatan dilakukan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat karena kejahatan tersebut merupakan kejahatan luar biasa. Sebab mengakibatkan kerugian besar bagi negara atau masyarakat atau korban yang banyak.
Denny juga menilai alasan MA terkait adanya kondisi kelebihan penghuni lapas tidak beralasan. Sebab, kata Denny, total hunian narapidana di lapas saat ini adalah 270.427 narapidana. Namun yang terkait kasus korupsi hanya 4.431 orang saja.
ADVERTISEMENT
Napi terbanyak bersumber dari kasus luar biasa lainnya yakni narkoba. Namun pencabutan pengetatan remisi ini dinilai tak menyelesaikan masalah overload tersebut. Dia menyebut seharusnya masalah overload diatasi dari hulu yakni aturan tentang pemidanaan pengguna narkoba.
Lainnya, Denny menilai pemberian remisi bukanlah mencerminkan HAM tetapi hak napi. Sehingga, tak ada kewajiban semua napi mendapatkan hak serupa. Karena hak tersebut merupakan legal right, bukan human right.
Catatan lengkap dari Denny Indrayana dapat dibaca di link berikut:
Di sisi lain, ICW hingga Pukat UGM juga sudah memberikan komentar terkait dengan pencabutan syarat ketat remisi ini. ICW bersama dengan organisasi lain menilai MA tik mendukung upaya pemberantasan korupsi.
"Dari sini, masyarakat dapat melihat bahwa lembaga kekuasaan kehakiman tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi," kata ICW dalam pernyataan sikapnya bersama dengan Pusat Kajian Antikorupsi UGM dan Bung Hatta Anti Corruption Award, Senin (1/11).
ADVERTISEMENT
"Pada masa mendatang, akibat putusan MA ini, narapidana korupsi akan semakin mudah untuk mendapatkan pengurangan hukuman," sambung ICW.

Pasal yang Dicabut

Berikut isi pasal yang mengatur syarat-syarat tersebut yang sudah dicabut oleh MA. Tepatnya pada Pasal 34 A ayat (1) huruf (a) dan b, Pasal 34A ayat (3), dan Pasal 43 A ayat (1) huruf (a), Pasal 43A ayat (3):
Pasal 34A
(1) Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:
a. bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
ADVERTISEMENT
b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan
c. telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar:
1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau
2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme.
(2) Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
(3) Kesediaan untuk bekerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Pasal 43A
(1) Pemberian Pembebasan Bersyarat untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) juga harus memenuhi persyaratan:
a. bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
b. telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan;
c. telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa pidana yang wajib dijalani; dan
d. telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar:
ADVERTISEMENT
1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau
2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme.
(2) Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
(3) Kesediaan untuk bekerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.