Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menempatkan mahasiswa dengan perilaku yang menyimpang untuk dibawa ke barak militer dan dibina kembali dikritik. Maarif Institute menyatakan menolak pembinaan siswa melalui pendekatan militer.
ADVERTISEMENT
"Menolak segala bentuk pembinaan siswa melalui pendekatan militeristik karena bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan yang berkeadaban dan memperkuat praktik kekerasan simbolik yang tidak manusiawi. Kami mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk membatalkan rencana pengiriman siswa ke barak militer dan menyusun kebijakan alternatif yang berbasis pendekatan humanistik, reflektif, dan inklusif," kata Andar Nubowo, Direktur Eksekutif Maarif Institute, dalam keterangannya, dikutip Sabtu (10/5).
Andar juga mendorong Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah memberikan arahan tegas, supervisi, dan pendampingan kebijakan kepada pemda agar penyelenggaraan pendidikan selaras dengan visi nasional.
"Meminta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas HAM, dan lembaga perlindungan anak lainnya untuk segera melakukan pemantauan dan asesmen terhadap kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, serta mengeluarkan rekomendasi resmi atas potensi pelanggaran terhadap UU Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak yang diratifikasi oleh Indonesia," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Andar mengimbau masyarakat sipil, organisasi profesi pendidikan, dan komunitas keagamaan progresif untuk bersuara dan menolak normalisasi kekerasan dalam dunia pendidikan.
"Terutama ketika dilakukan atas nama pembinaan moral. Praktik seperti ini tidak hanya keliru secara pedagogis, tetapi juga melemahkan komitmen kolektif kita terhadap pendidikan yang transformatif dan berlandaskan keadilan sosial," jelasnya.
Terakhir, Andar meminta evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pendidikan yang bersifat reaktif dan koersif, serta mendorong perumusan kebijakan berbasis bukti yang melibatkan peran aktif pendidik, psikolog, keluarga, dan komunitas.
"Penanganan persoalan remaja harus dilakukan dengan pendekatan intersektoral dan sistemik, bukan melalui pendekatan instan yang menyalahkan anak dan mengabaikan konteks sosial-ekonomi yang melingkupinya," ujar Andar.