Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.0
Mahfud di DPR: Adu Dalil hingga Ada Laporan PPATK Tak Sampai ke Sri Mulyani
30 Maret 2023 6:13 WIB
·
waktu baca 7 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Serangan Mahfud tersebut usai Arteria menyatakan bahwa membuka data soal Rp 349 miliar bisa terancam pidana dalam rapat pada Selasa (21/3) bersama PPATK. Saat itu, Arteria mengatakan laporan PPATK itu seharusnya tidak boleh diumumkan ke publik.
Sebab, dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, ada ancaman pidana 4 tahun bagi yang membocorkan.
Mahfud menepis pernyataan Arteria tersebut. Dia menegaskan, apa yang dia umumkan soal Rp 349 triliun merupakan ageregat. Dia mengaku tidak menyampaikan informasi lain yaang mendetail. Sebagaimana dilarang dalam undang-undang.
"Saya umumkan kasus itu, Saudara, adalah sifatnya agregat. Jadi perputaran uang tidak menyebut nama orang, tidak menyebut nama akun. Itu tidak boleh. Agregat. Bahwa perputaran uang dari sekian ratoran itu Rp 349 T," kata Mahfud dalam rapat bersama Komisi III DPR RI, Rabu (29/3).
ADVERTISEMENT
"Agregat, ya. Saudara, yang disebut namanya hanya yang sudah jadi kasus hukum, seperti Rafael, Angin Prayitno dan mungkin ada nama yang sudah jadi kasus hukum tapi kasus hukum pidananya," sambung dia.
Dia kemudian menantang Arteria Dahlan atas pernyataannya saat rapat dengan PPATK. Begitu juga pernyataan yang disampaikan oleh Anggota Komisi III lainnya Arsul Sani yang menyebut PPATK tak berwenang melapor hasil temuan ke Mahfud.
Sebab menurut Mahfud, mendapatkan laporan dari PPATK adalah wajar sebab dia menjabat sebagai Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Saat itulah, dia menyinggung soal sosok Kepala BIN Budi Gunawan. Sebab, Mahfud juga menerima rutin laporan dari Budi Gunawan.
"Kan persis yang disampaikan ke saya, kalau sampaikan ke Menkopolhukam bisa 10 tahun. Ini BIN sampaikan bukan ke presiden, tapi ke saya. Ini Maret aja ini. Kok terus enggak boleh gimana?" lanjut Mahfud.
ADVERTISEMENT
Mahfud menilai, informasi yang dia terima dari PPATK sangat penting. Sebab informasi intelijen. Begitu juga setiap informasi yang dia terima dari Budi Gunawan, meski kepala BIN harusnya langsung bertanggung jawab kepada presiden.
Mahfud ke Anggota DPR: Kadang Marah-marah Enggak Tahunya 'Markus', Titip Kasus
Mahfud lalu menyinggung adanya anggota DPR yang Markus (Marah-marah lalu titip kasus). Markus sebetulnya jamak dikenal sebagai Mafia Kasus.
"Karena sering di DPR ini aneh. Kadang-kadang marah-marah gitu, enggak tahunya markus dia. Marah ke Kejagung, nantinya datang ke Kantor Kejagung titip kasus," kata Mahfud di Gedung DPR, Senayan, Rabu (29/3).
Pernyataan Mahfud langsung direspons oleh Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Habiburokhman. Dia bertanya apakah anggota yang menitip kasus ada di DPR periode 2019-2024 ini.
ADVERTISEMENT
"Saya kebetulan pimpinan MKD, saya minta Pak Mahfud, apabila benar ada data yang soal markus anggota DPR, disampaikan saja sekarang," kata Habiburokhman.
Mahfud menjawab adanya kasus titipan terkait Kampung Malik. Namun, kasus itu bukan dititipkan anggota DPR periode saat ini.
"Ingat peristiwa di Kampung Maling. Ustaz di Kampung maling. Saya kira saya bersama Pak Benny masih ada di sini ya. Kan tadi saya sebut DPR, bukan sebut saudara," kata eks Ketua MK itu.
"Pada waktu itu, Jaksa Agung Abdurachman Saleh, dicecar habis-habis ditanya seperti ini. Di bilang 'Bapak ini seperti ustaz di Kampung Maling, bapak baik tetapi bapak di lingkungan jelek.' Ya kami ingat, itu tanggal 17 Februari 2002," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Mahfud menyebut fenomena 'markus" tak tabu dilakukan anggota DPR. Namun, ia tak ingin menjawab pertanyaan Habiburokhman apakah ada penitipan kasus di periode DPR saat ini.
Mahfud 'Ngegas' di Rapat DPR: Jangan Gertak-gertak, Saya Juga Bisa Gertak!
Menkopolhukam Mahfud MD geram saat menjelaskan temuan Rp 349 triliun di hadapan anggota Komisi III DPR RI. Hal itu terjadi saat penjelasannya dipotong oleh salah satu anggota Komisi III.
"Saya enggak mau diinterupsi, interupsi itu urusan Anda, masa iya orang ngomong diinterupsi, nantilah, Pak, saya, kan, tadi sudah bilang, pakai interupsi-interupsi enggak selesai kita ini. Lalu, saya nanti yang interupsi dituding-tuding, saya enggak mau," kata Mahfud dalam rapat bersama Komisi III, Rabu (29/3).
Bahkan dia mengancam akan keluar dari ruang sidang bila ada yang berteriak atau memintanya keluar.
ADVERTISEMENT
"Artinya kalau begitu, misalnya saya membantah lalu di sini ada berteriak ‘keluar’, saya keluar. Saya punya forum," kata dia.
Mahfud mengaku setiap ke Komisi III selalu dikeroyok. Belum sempat menjelaskan sudah diinterupsi.
"Saya setiap ke sini dikeroyok, belum ngomong sudah diinterupsi, belum ngomong diinterupsi. Waktu kasus itu juga, waktu kasus Sambo, belum ngomong diinterupsi. Dituding-tuding suruh bubarkan segala macam. Jangan begitu dong," katanya.
Adu Dalil Mahfud dan Arsul Sani dalam Rapat DPR soal Polemik Rp 349 Triliun
Mahfud secara spesifik menyinggung pernyataan anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani yang menyebut Mahfud sebagai Ketua Komite Nasional Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) tidak memiliki wewenang untuk mengumumkan praktik TPPU.
Pernyataan Arsul dibantah oleh Mahfud. Dia mengatakan di dalam hukum, jika ada sesuatu yang tidak dilarang, maka boleh dilakukan. Mahfud pun mengutip sebuah dalil usul fiqih.
ADVERTISEMENT
"Pak Arsul bicara soal kewenangan, menurut kewenangan, Polhukam itu tidak berwenang umumkan. Lho, saya tanya, apa dilarang mengumumkan? Kalau tidak berwenang apa dilarang? Kalau di hukum, kalau ada sesuatu yang tidak dilarang itu boleh dilakukan. Anda dari pesantren nih, saya bacakan dalilnya," kata Mahfud membantah pernyataan Arsul saat RDP dengan Komisi III di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (29/3).
Mahfud membacakan kaidah fiqih:
والأصل في العقود والمعاملات الصحة حتى يقوم دليل على البطلا والتحريم
"Jadi setiap urusan itu kalau tidak ada larangan itu boleh kecuali sampai timbul yang dilarang. Itu kan pesantren, dalil di pesantren dari kecil hafalkan ini," kata Mahfud.
Pernyataan Mahfud pun direspons oleh Arsul. Dia menjawab pernyataan Mahfud juga dengan mengutip sebuah hadis yang mengingatkan untuk menjaga amarah.
ADVERTISEMENT
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
"Orang kuat itu bukanlah orang yang jago bergulat. Baik jago gulat fisik maupun gulat mulut. Akan tetapi orang kuat adalah orang yang dapat menahan dirinya ketika marah," kata Arsul.
Arsul menghormati pendapat yang disampaikan oleh Mahfud. Namun dia menegaskan, pendapat Mahfud bukanlah satu-satunya pendapat.
"Apa yang disampaikan oleh Ketua Komite yang seorang guru besar hukum tentu harus kita hormati, Itu sebuah pendapat. Tapi bukan satu-satunya pendapat," pungkasnya.
Mahfud Ungkap Ada Laporan PPATK Tak Sampai ke Sri Mulyani: Ditutup dari Bawah
Menko Polhukam Mahfud MD mengungkap ada laporan hasil analisis yang disampaikan oleh PPATK ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang tak sampai ke tangan Sri Mulyani selaku menteri. Laporan tersebut terkait 15 entitas yang melakukan transaksi janggal hingga Rp 189 triliun.
ADVERTISEMENT
"Penjelasan Bu Srimul karena ditutupnya akses yang sebenarnya dari bawah," kata Mahfud dalam rapat bersama Komisi III DPR RI, Rabu (29/3).
Mahfud tak menjelaskan data kekeliruan apa yang sempat disampaikan oleh Sri Mulyani. Termasuk siapa yang menutup akses yang dimaksud.
Namun, Mahfud membeberkan momen saat Sri Mulyani mendapatkan data laporan Rp 189 triliun transaksi mencurigakan dari PPATK. Saat itu, Sri Mulyani kaget dan langsung mengkonfirmasi kepada pejabat eselon 1 di Kemenkeu. Tak disebutkan siapa.
"Ketika ditanya oleh Bu Sri itu "Ini apa kok ada uang Rp 189 [triliun] ?" kata Mahfud menirukan respons Sri Mulyani.
"Itu pejabat tingginya yang eselon I itu bilang, 'ini enggak ada Bu'," lanjut Mahfud.
"Ini tahun 2020?" tanya Sri Mulyani kepada pejabat tersebut, masih diceritakan ulang Mahfud.
ADVERTISEMENT
"Enggak ada," jawab pejabat itu.
"Baru dia, "Oh iya nanti dicari." dan itu nyangkut Rp 189 triliun. Dan itu adalah dugaan pencucian uang cukai dengan 15 entitas," kata Mahfud.
Pencucian uang yang dimaksud Mahfud ini diduga terkait dengan impor emas yang seharusnya dikenakan cukai, tetapi hanya dibayarkan pajaknya saja. Modusnya, emas tersebut diimpor dalam bentuk jadi, tetapi seolah-olah emas mentah yang akan diproses di Surabaya.