Mahfud Kenang Artidjo Alkostar: Kebersamaan di AS hingga Hukuman Berat Koruptor

1 Maret 2021 10:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Artidjo Alkostar.
 Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Artidjo Alkostar. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Dunia penegakan hukum Indonesia berduka setelah sosok mantan hakim agung sekaligus anggota Dewan Pengawas KPK, Artidjo Alkostar tutup usia pada Minggu (28/2) siang. Artidjo mengembuskan napas terakhirnya pada usia 72 tahun.
ADVERTISEMENT
Berita berpulangnya Artidjo pertama diketahui publik dari tweet Menko Polhukam Mahfud MD. Melalui akun twitter pribadinya Mahfud menyampaikan kabar duka terkait meninggalnya sosok yang sering disebut sebagai algojo para koruptor itu.
Ditemui di rumah duka di bilangan Kemayoran, Jakarta Pusat, Mahfud menjelaskan penyebab meninggalnya Artidjo. Bukan karena COVID-19 yang ditakutkan oleh semua orang, kata Mahfud, Artidjo meninggal setelah sekian lama bertarung dengan sejumlah komplikasi penyakit yang dideritanya.
"Penyakitnya sudah agak lama beliau mempunyai komplikasi ginjal, jantung, dan paru-paru tapi bukan COVID karena dokter merekomendasi tidak di rumah sakit, sudah lama, jadi beliau sakit memang itu, orang tua lah ya, ginjal, jantung dan komplikasi paru-paru," ujar Mahfud.
Menkopolhukam Mahfud MD menggelar rapat terbatas bersama TGPF kasus penyerangan di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Foto: Humas Kemenkopolhukam
Tak hanya mengenal sosok Artidjo sebagai seorang hakim, lebih dari itu Mahfud menganggap Artidjo sebagai figur seorang kakak dan panutan baginya.
ADVERTISEMENT
Berikut cerita singkat Mahfud soal sosok seorang Artidjo.
Pada November 1990, saya berangkat ke Amerika Serikat sebagai academic researcher di Columbia University, New York. Tujuan saya ke Amerika adalah untuk menulis disertasi tentang Politik Hukum di Indonesia. Saya menulis disertasi di Program Doktor UGM tapi, alhamdulillah, mendapat beasiswa untuk Sandwich Program ke Amerika melalui library research program di Pusat Studi Asia, Columbia University.
Urusan-urusan saya di Amerika relatif lancar dan mudah karena di sana sudah ada Mas Artidjo Alkostar yang menjemput dan mengatur tempat tinggal dan urusan administrasi saya. Mas Artidjo memang lebih dulu berangkat dan bekerja sebagai volunter di Asia Watch yang dipimpin oleh Sydney Jones di New York. Selama 8 bulan di New York saya punya acara rutin dengan Mas Artidjo. Kalau hari Jumat kami janjian ketemu di masjid untuk salat Jumat di Islamic Center. Kalau Sabtu kami makan siang di restoran Asia, termasuk restoran India. Jika ke restoran India Mas Artidjo suka memesan nasi briyani.
ADVERTISEMENT
Artidjo bagi saya menjadi semacam inspirator untuk penegakan hukum dan demokrasi. Ketika pada 1978 saya mulai kuliah di UII Mas Artidjo sudah menjadi dosen muda sehingga ikut mengajar saya. Dosen muda yang lain antaranya adalah Dahlan Thaib. Kedua dosen muda tersebut menginspirasi saya untuk menjadi dosen. Saya menyukai Dahlan Thaib karena retorikanya sangat bagus, selalu tampil rapi dan handsome sebagai dosen.
Saya menyukai Artidjo karena kalau mengajar selalu membawa banyak buku yang tebal-tebal dan membedah kasus-kasus konkret yang pelik-pelik ke dalam buku-buku tebal itu. Saya terinspirasi ingin menjadi dosen dan pejuang yang keren seperti Mas Artidjo. Maka itu begitu lulus dari FH-UII saya langsung mendaftar sebagai dosen, saya tidak pergi ke Jakarta untuk mencoba mencari pekerjaan lain yang dianggap lebih menjanjikan secara ekonomis. Saya mantap ikut jejak Mas Artidjo.
ADVERTISEMENT
Ketika Mas Artidjo belum pensiun sebagai hakim agung saya pernah menyampaikan protes teman-teman Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Waktu itu ada seorang tokoh parpol yang alumni HMI yang hukumannya dinaikkan hampir dua kali lipat dari hukuman di tingkat PN oleh Mas Artidjo. Sebagai Ketua Umum Presidium KAHMI saya sampaikan kritik teman-teman kepada Mas Artidjo karena dianggap menghukum terlalu berat. Sebagai orang hukum saya tahu bahwa hal itu takkan ada gunanya disampaikan kepada Mas Artidjo, tapi saya sampaikan juga sambil tertawa-tawa.
Saya sampaikan juga bahwa menurut teman-teman ada kesan umum Pak Artidjo tak pernah menghukum tidak berat orang yang diadilinya, tak pernah mau mengampuni. Apa jawaban Artidjo? “Saya juga alumni HMI tapi saya tetap harus menegakkan hukum dan menghukum koruptor dengan berat meski dia anggota KAHMI”, katanya dengan tegas. Soal kesan bahwa dirinya tak pernah tidak menghukum orang itu juga dibantahnya. Dia menunjukkan beberapa vonis yang membebaskan orang yang dijatuhi hukuman korupsi di PN dan PT tetapi ternyata tidak bersalah. Dia hanya dikorupsikan sehingga dibebaskan oleh Mas Artidjo pada kasasi di tingkat MA.
ADVERTISEMENT
Terakhir kali saya bertemu langsung dengan Mas Artidjo adalah tanggal 18 Agustus 2020. Sehari sebelumnya saya mendapat kabar dari murid setianya Ari Yusuf Amir dan Sugito bahwa Mas Artidjo sakit dan didiagnosis ada masalah dengan jantung dan paru-parunya. Tapi Mas Artidjo tak mau dirawat di rumah sakit meski dokter sangat merekomendasikan.
Oleh sebab itu saya meminta tolong kepada Menteri Kesehatan Dokter Terawan untuk bisa dirawat di apartemennya. Menkes mengirim dokter dan perawat ke apartemen Mas Artidjo pada tanggal 18 Agustus 2020 itu dan saya ikut menemuinya di sana. Mendagri Tito Karnavian kemudian juga mengirim adiknya yang dokter ahli jantung untuk merawat kesehatan Mas Artidjo. Hari Minggu, 28 Februari 2021, ternyata Mas Artidjo pergi untuk selamanya. Dia menghadap Allah dengan damai.
ADVERTISEMENT