Mahfud MD: Corona Jadi Bencana Nasional Tak Bisa Jadi Alasan Force Majeure

14 April 2020 17:12 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menkopolhukam, Mahfud MD, menyampaikan keterangan pers di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Rabu (11/3). Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menkopolhukam, Mahfud MD, menyampaikan keterangan pers di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Rabu (11/3). Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
ADVERTISEMENT
Virus corona sudah ditetapkan sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020. Dalam konsiderans, Keppres itu menyinggung UU Penanggulangan Bencana dan UU Wabah Penyakit Menular.
ADVERTISEMENT
Pada Pasal 8 UU Wabah Penyakit Menular, disebutkan bahwa:
(1) Kepada mereka yang mengalami kerugian harta benda yang diakibatkan oleh upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat diberikan ganti rugi.
Penetapan bencana nasional itu kemudian dinilai memberikan dampak pada sejumlah sektor, termasuk ekonomi dan industri keuangan. Salah satunya, status bencana nasional dinilai bisa menjadi dasar status force majeure atau overmacht, yang disebut sebagai keadaan memaksa (keadaan kahar).
Status force majeure itu dinilai bisa menjadi dasar memberi dispensasi atas kontrak-kontrak yang mandeg lantaran wabah virus corona.
Namun, menurut Menkopolhukam Mahfud MD, status bencana nasional itu tak bisa dijadikan sebagai alasan force majeure.
"Tidak dapat dijadikan dasar sebagai force majeure untuk membatalkan kontrak," kata Mahfud MD, dikutip dari media sosialnya, Selasa (14/4).
Menkopolhukam Mahfud MD saat menyampaikan keterangan pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kmaias (5/3). Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menilai bahwa kontrak tetap berjalan sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata.
ADVERTISEMENT
Bunyi pasalnya ialah:
"Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik".
"Relaksasinya bisa diatur OJK (Otoritas Jasa Keuangan)," kata Mahfud MD.