news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mahfud MD: SP3 Kasus Pemerkosaan Pegawai Kemenkop Batal, Proses Hukum Lanjut

22 November 2022 10:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md di Undip Semarang. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md di Undip Semarang. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Menko Polhukam Mahfud MD memastikan kasus pemerkosaan yang menimpa salah seorang pegawai Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) tetap dilanjutkan. Sebelumnya sempat dihentikan atau di-SP3.
ADVERTISEMENT
Keputusan pelanjutan diambil Mahfud dalam rapat gabungan yang turut dihadiri LPSK, Kabareskrim, Kompolnas, Kejaksaan, Kementerian Koperasi dan usaha kecil dan menengah UMKM, dan Kementerian PPA, pada Senin (21/11).
”Memutuskan bahwa kasus pemerkosaan terhadap seorang pegawai di kantor Kementerian Koperasi dan usaha kecil dan menengah yang korbannya bernama NDN dilanjutkan proses hukumnya dan dibatalkan SP3-nya,” ujar Mahfud dalam pernyataannya, Selasa (22/11).
”Oleh sebab itu kepada empat tersangka dan tiga saksi yaitu N, kemudian MF, WH, ZPA Kemudian saksinya yang juga dianggap terlibat itu A. Kemudian T dan H itu supaya terus diproses di pengadilan,” sambungnya.
Mahfud menyebut perkara itu tetap dilanjutkan lantaran alasan SP3 atau penghentian penyidikan itu tidak benar secara hukum. Terlebih diketahui SP3 tersebut didasarkan pada pencabutan laporan. Menurutnya di dalam hukum laporan tidak bisa dicabut hanya pengaduan yang bisa dicabut.
ADVERTISEMENT
”Kalau laporan, polisi harus menilai kalau tidak cukup tanpa dicabut pun dihentikan perkaranya. Tapi kalau cukup bukti meskipun yang melapor menyatakan mencabut maka perkara harus diteruskan. Beda dengan pengaduan yang itu berdasarkan delik aduan, kalau pengaduan begitu yang mengadu mencabut maka perkara menjadi ditutup,” ucap Mahfud.
Tak hanya itu, penggunaan alasan restorative justice dalam penghentian penyidikan kasua ini juga dinilainya salah kaprah. Ia menjelaskan, restorative justice hanya bisa diterapkan pada kasus-kasus ringan yang hukumannya di bawah 5 tahun.
”Kemudian alasan bahwa pengeluaran SP3 berdasar restorative Justice perdamaian antara pihak-pihak yang bersangkutan selain dibantah oleh korban. Dan keluarga korban dan juga dibantah bahwa mereka telah memberi kuasa kepada seseorang untuk mencabut laporan yang itu pun tidak sah. Maka restorative justice itu hanya berlaku untuk tindak pidana tertentu yang sifatnya ringan, misalnya delik aduan,” ungkap Mahfud.
ADVERTISEMENT
”Kalau kejahatan yang serius yang ancamannya misalnya 4 tahun atau 5 tahun lebih itu tidak ada restorative Justice korupsi, pencurian, pembunuhan, perampokan itu tidak ada restorative Justice itu harus terus dibawa ke pengadilan," lanjut dia.
Oleh karena itu, Mahfud kembali menekankan bahwa seluruh alasan yang dijadikan dasar dalam menghentikan penyidikan kasus ini tak berdasar. Sehingga patut bagi aparat yang menangani perkara ini untuk tetap melanjutkan proses hukumnya.
”Karena ini banyak yang salah kaprah Ada orang ketangkap korupsi minta restorative Justice tidak ada restorative Justice di dalam kejahatan ya, itu ada pedomannya di Mahkamah Agung, di kejaksaan agung, maupun di Polri sudah ada pedomannya. Restorative justice itu bukan sembarang tindak pidana orang mau berdamai lalu ditutup kasusnya, ndak bisa,” kata mahfud.
ADVERTISEMENT
Kasus pemerkosaan itu terjadi pada Desember 2019. Korban ialah ND, CPNS perempuan di Kemenkop dan UKM. Sementara pelaku ialah 4 orang pekerja di kementerian tersebut, yakni W, Z, MF, dan N.
Saat peristiwa itu terjadi, W ialah PNS Kemenkop dan UKM golongan 2C, sementara Z ialah CPNS di Kemenkop dan UKM. Sedangkan MF dan N ialah pekerja honorer di kementerian tersebut.
Kasus ini sempat dilaporkan ke Polres Bogor, namun akhirnya berakhir damai setelah korban menarik laporannya.