Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
ADVERTISEMENT
Polemik pelarangan perekaman hingga pendokumentasian sidang tanpa adanya izin dari ketua pengadilan terus bergulir. Kali ini, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang mengkritik dan menyebut hal itu merupakan kesewenang-wenangan Mahkamah Agung (MA).
ADVERTISEMENT
"Sekadar melarang tanpa mewajibkan setiap pengadilan mengeluarkan materi terkait dengan persidangan, maka dalam pandangan ICJR hal ini adalah bentuk kesewenang-wenangan dari Mahkamah Agung," kata Direktur Eksekutif ICJR, Anggara, dalam keterangan tertulis, Jumat (28/2).
Larangan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2020 tentang tata tertib menghadiri persidangan pada 7 Februari 2020. Dalam surat itu diatur ketentuan pengambilan foto, rekaman suara, TV harus seizin ketua pengadilan negeri bersangkutan.
Anggara mengatakan, aturan tersebut menegasikan atau menihilkan kewenangan Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan perkara karena ketertiban di ruang sidang adalah tanggung jawab dari Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut.
"Izin dari Ketua Pengadilan baru relevan jika para pengunjung sidang termasuk media massa membawa peralatan yang pada dasarnya akan mengganggu tidak hanya persidangan namun pengadilan secara keseluruhan," kata dia.
ADVERTISEMENT
Anggara juga menilai aturan ini berat sebelah karena jika aturan ini diberlakukan MA harus menjamin bahwa setiap pengadilan wajib mengeluarkan materi berupa pendokumentasian sidang.
Ia menyebut, apabila sekadar melarang tanpa mewajibkan pengadilan mengeluarkan materi terkait sidang, maka ICJR menilai itu adalah kesewenang-wenangan MA.
"ICJR mengingatkan bahwa larangan ini juga berdampak terhadap kerja โ kerja advokat yang membutuhkan dokumentasi materi persidangan untuk dapat melakukan pembelaan secara maksimal," kata Anggara.
"Secara lebih luas, larangan ini akan berdampak serius terhadap akses keadilan masyarakat dan mereduksi keterbukaan informasi yang juga diwajibkan oleh hukum yang berlaku di Indonesia," pungkasnya.
Sebelumnya, MA telah menjelaskan bahwa peraturan ini sudah mulai diberlakukan. Namun, sifatnya masih sosialisasi.
"Iya (masih sosialisasi), jadi ada norma baru yang harus disosialisasikan kepada teman-teman di daerah," kata Kepala Biro Humas dan Hukum MA, Abdullah, Rabu (26/2).
ADVERTISEMENT