Maia Estianty dan Kisah Utari Cokroaminoto, Istri Pertama Bung Karno

11 Agustus 2017 12:59 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Belum lama ini musisi Maia Estianty mengunggah foto dirinya di Instagram dengan latar foto sosok perempuan yang turut menorehkan sejarah bangsa, yang disebutnya sebagai neneknya.
ADVERTISEMENT
Berikut caption di akunnya:
My grandmother, Oetari Tjokroaminoto, was the first wife of the first president of Republic Indonesia, Soekarno.... Nenek saya ini, Oetari Tjokroaminoto adalah istri pertama Presiden RI yg pertama, Soekarno. #maiaestianty #diarymaia #soekarno #istrisoekarno.
Unggahan ini mendapat sambutan positif dari fans Maia, yang menunjukkan Maia memiliki darah seorang pahlawan nasional, yaitu HOS Cokroaminoto.
@rahayudewi201: Sungguh luar biasa mendengarnya turunan dr seorang pejuang dan org no 1 di republik ind ini.. sangat dibanggakan buat mba maia..
@twintinaprabowo: Siti Oetari punya anak Ir.Harjono Sigit (ayah mbak maia) beliau pernah menjabat sebagai Rektor ITS (1982-1986) beliau juga perancang Pasar Atom
@ginaginaa1: Bunda Maia berarti bukan keturunan Soekarno. Tapi asli keturunan HOS Tjokroaminoto. Karena saat itu pernikahan Oetari dgn Soekarno tidak dikaruniai anak sebelum akhirnya mereka bercerai. Hanya saja bunda menjelaskan bahwa eyang nya merupakan istri pertama Soekarno.
ADVERTISEMENT
Unggahan itu juga mengandung nilai sejarah, yang bagi sebagian netizen merupakan informasi yang baru diketahuinya.
@hacciuGaes @suara_fate @nilaanggreni: tambah2 pengetahuan tentang sejarah istri pertama Soekarno
Lalu bagaimana kisah Oetari — yang juga ditulis sebagai Utari — sebagai istri pertama Sukarno?
Kisah Utari Versi Sukarno
Siti Utari adalah adalah putri sulung HOS Cokroaminoto, pemimpin Sarikat Islam, yang juga guru para tokoh pergerakan Indonesia. Ketika bersekolah di Surabaya, Sukarno menumpang di rumah HOS Cokroaminoto. Lalu Sukarno yang belum genap 20 tahun menikahi Utari yang ketika itu berusia 16 tahun pada tahun 1921.
Sukarno berbicara tentang Utari di buku biografinya yang berjudul “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” yang ditulis oleh Cindy Adams terbitan 1966.
ADVERTISEMENT
Kala itu, Sukarno menikahi Utari untuk menghibur hati Cokroaminoto yang bersedih setelah kematian istrinya. Sukarno menikahi Utari atas saran saudara Cokro.
“Aku mendatangi Pak Cokro dan mengajukan lamaranku. Dia sangat gembira dan oleh karena akan menjadi menantu aku segera dipindahkan ke kamar jang lebih besar dengan perabot jang lebih banyak. Sampai di hari ia menutup mata, ia tak pernah mengetahui, bahwa aku mengusulkan perkawinan ini hanya karena aku sangat menghormatinya dan menaruh kasihan kepadanya. Kami kawin dengan cara jang kita namakan “kawin gantung”. Ini adalah perkawinan biasa yang dibenarkan dalam hukum dan agama,” ungkap Sukarno.
“Orang Indonesia menjalankan cara ini karena beberapa alasan. Kadang-kadang dilangsungkan kawin gantung terlebih dulu, karena kedua-duanya belum mencaapai umur untuk dapat menunaikan kewajiban mereka secara jasmaniah. Atau ada kalanya si anak dara tinggal di rumah orang tuanya sampai pengantin laki-laki sanggup membelanjai rumah tangga sendiri,” bebernya.
ADVERTISEMENT
“Dalam hal kami, aku dapat tidur dengan isteriku kalau aku menghendakinya. Akan tetapi aku tidak melakukannya karena dia masih kanak-kanak. Boleh jadi aku seorang yang pecinta, akan tetapi aku bukanlah seorang pembunuh anak gadis remaja. Itulah sebabnya, mengapa kami melakukan kawin gantung. Pesta kawinnya pun digantung,” aku Sukarno.
……
“Sekalipun aku memiliki status pengantin baru, waktuku di malam hari kuhabiskan untuk memperhatikan Pak Cokro. Aku menjadi buntut dari Cokroaminoto. Ke mana pun dia pergi aku ikut,” ujar Sukarno di halaman 57.
“Cerminku adalah Cokroaminoto,” tegas Sukarno.
Pada Juni 1921, Sukarno kuliah teknik (sekarang ITB) ke Bandung, tanpa membawa Utari. Atas bantuan Cokroaminoto, Sukarno kos di rumah Haji Sanusi yang beristrikan Inggit Garnasih.
ADVERTISEMENT
Ketika pertama kali masuk rumah Haji Sanusi dan bersua Inggit, Sukarno telah punya kesan.
“Semua percikan api, yang dapat memancar dari seorang pemuda berumur 20 tahun dan masih hijau, mengenai seorang perempuan berumur tiga puluhan yang sarat pengalaman. Saat pertama ketika aku melangkah masuk, aku berkata dalam hati,”Oh, luar biasa perempuan ini.” Aku sadar, lebih baik aku cepat-cepat menghilangkan pikiran seperti itu — mungkin unuk sementara — dan meminta Utari segera menyusul. Aku akan memusatkan pikiran untuk kuliah di Sekolah Teknik Tinggi guna mengejar gelar insinyur — bukan merusak rumah tangga orang lain,” begitu ungkapan Sukarno di halaman 63.
Singkat cerita, Utari kemudian menyusul ke Bandung. Sukarno yang sibuk kuliah, tak punya waktu banyak untuk memperhatikan Utari.
ADVERTISEMENT
“Aku hanya punya waktu sedikit untuk Utari. Aku juga punya sedikit persamaan dengan dia. Selagi aku belajar matematika, fisika dan mekanika, istriku — yang hanya dalam sebutan itu — berada di pekarangan belakang bermain dengan kawan-kawan perempuannya. Selagi aku berpidato di depan kelompok pemuda pada malam hari, dia berkejar-kejaran dengan kemenakan perempuan Nyonya Inggit. Kami masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Dia masih hijau sekali. Sifat pemalunya terlalu berlebihan, sehingga dia hanya berbicara seperlunya denganku,” katanya.
“Kami tidur berdampingan di satu ranjang, tapi secara jasmaniah kami sebatas kakak dan adik. Suatu kali dia jatuh sakit. Sementara dia terbaring tanpa daya, aku merawatnya. Berkali-kali aku mengelap tubuhnya yang lagi demam itu dengan alkohol, dari kepala sampai jari kakinya, namun tak sekali pun aku menyentuhnya. Ketika dia sudah sembuh, tetap tidak ada hubungan badaniah di antara kami. Bahkan kami satu sama lain sejujurnya tidak memiliki keinginan sebagai layaknya suami-istri. Maksudku, dia menyukaiku dan aku menyukainya, tapi perkawinan kami bukan didasari rasa berahi menyala-nyala,” jelas Sukarno.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1922, hubungan Utari dan Sukarno merenggang.
“Utari dan aku tidak lagi tinggal di satu ranjang — bahkan satu kamar pun tidak. Jurang antara kami berdua semakin lebar. Sebagai seorang yang baru kawin, kasih sayangku kepadanya hanya sebagai kakak kepada adik,” aku Sukarno di halaman 67.
Sukarno mendambakan istri yang merupakan perpaduan dari seorang ibu, kekasih, dan seorang teman. “Dengan Utari keadaanya terbalik. Aku yang menjadi orang tuanya, dia sebagai anak,” aku Sukarno yang kala itu sudah tertambat pada Inggit.
Sukarno kemudian memulangkan Utari ke ayahnya baik-baik. Kepada Cokroaminoto, Sukarno berkata,”….bahwa perkawinan kami dari awal tidak berjalan baik. Itu tidak baik di antara kami. Tanpa perceraian ini tidak bisa dibentuk rumah tangga yang bahagia.”
ADVERTISEMENT
“Pak Cokro menghargai apa yang kukatakan. Dia tidak menanyakan masalah pribadi. Dan setelah peristiwa ini antara Pak Cokro sekeluarga dan aku selalu terjalin hubungan yang baik. Hubungan kami tetap seperti sebelumnya,” kata Sukarno.
“Demikianlah, di tahun 1922, aku menyerahkan istriku yang masih kanak-kanak itu kepada ayahnya. Dan aku kembali ke Bandung…kepada cintaku yang sejati (Inggit-red),” katanya.
Bercerai dari Sukarno, Utari segera move on.
Di halaman 70, Sukarno menyebut,”Dalam waktu yang singkat, Utari pun melangsungkan pernikahan dengan Bachrun Salam, yang dulu merupakan temanku kos di rumah Pak Cokro. Mereka memiliki delapan anak, dan ketika buku ini ditulis (1966-red), rumah tangga mereka masih tampak rukun. Jadi tampaknya tidak ada yang terluka pada pihak mana pun.”
ADVERTISEMENT
Sukarno Versi Utari
Maia dan foto Utari Cokroaminoto (Foto: IG @maiaestiantyreal)
Itu dari sudut pandang Sukarno. Lalu bagaimana dari sudut pandang Utari?
Blogger pecinta sejarah, Santi JN, dalam blognya santijehannanda.com, mengutip artikel yang pernah diterbitkan Harian Surabaya Buana tanggal 2 Februari 1986. Jurnalis harian tersebut mewawancarai Utari yang kala itu berusia 78 tahun.
Ditampilkan juga judul artikel tersebut dan poin-poin pentingnya.
Harian Surabaya Buana (Foto: santijehannanda.com)
“Seperti Ibu Inggit, saya juga lebih baik mengalah daripada memiliki suami memiliki istri lain,” aku Utari di harian tersebut. (Utari tentunya merujuk pada sikap Inggit atas terpikatnya Sukarno kepada Fatmawati saat dia menemani Sukarno dibuang Belanda ke Bengkulu-red).
Utari memiliki panggilan Lok. Lok menyukai Sukarno, karena dilihatnya Sukarno, orangnya periang, supel, dan pandai berpidato. Tetapi waktu itu perasaanya terhadap Sukarno masih seperti perasaanya terhadap para pemuda lain yang kost di rumahnya, walaupun antara dia dan Sukarno ada ikatan.
ADVERTISEMENT
Harian itu menulis bahwa selain sepuluh orang pelajar yang kos di rumah Jl Plampitan 8 Surabaya itu, juga terdapat seorang sepupu Utari bernama Sigit Bachroensalam (Sukarno di buku Cindy Adams menyebut namanya Bachrun Salam-red). Dengan Sigit ini Lok pun akrab dan biasa bergaul seperti saudara sendiri. Keakraban ini ternyata mengundang kecemburuan Sukarno.
Sampai-sampai ketika akan berangkat ke Bandung untuk melanjutkan studinya di ITB yang dahulu masih bernama Technische Hogeschool (THS), Sukarno berpesan kepada Utari agar tidak bergaul terlalu akrab dengan Sigit. Keberangkatan Sukarno ini hanya sekitar dua bulan setelah mereka diikat status nikah gantung.
Selang beberapa waktu, Utari sempat diajak oleh Sukarno tinggal bersama selama sebulan di pemondokannya di Bandung. Rumah pemondokannya ini merupakan tempat tinggal Haji Sanusi dan istrinya, Inggit Garnasih.
ADVERTISEMENT
Selama tinggal di sini, Utari melihat betapa intim dan akrabnya Sukarno dengan istri pemilik rumah tempat tinggal kostnya itu. Bahkan sering didapatinya Sukarno dan Inggit bergurau sampai larut malam di beranda justru Haji Sanusi sudah tidur.
"Kenyataan yang dilihat oleh Utari selama berada di Bandung itu membuat gundah hatinya. Mungkin perasaanya lebih cemburu dari kecemburuan Sukarno terhadap Sigit ketika masih di Surabaya. Tetapi semua kenyataan ini hanya berwujud pengaduannya pada ayahnya. Maka setelah mendengar semua ini Utari diceraikan dari Sukarno oleh HOS Cokroaminoto," tulis Harian Surabaya Buana.
Setelah bercerai dari Sukarno, Utari menikah dengan Sigit. Perjalanan hidup Utari bersama suaminya, Sigit, yang pernah dicemburui Sukarno selanjutnya berjalan langgeng. Dari perkawinan ini antara lahir Harjono Sigit, yang kemudian memiliki anak bernama Maia Estianty.
ADVERTISEMENT
“Sukarno itu memang pintar dan berkepribadian, tetapi belakangan kok suka kawin,” kata Utari menutup penuturannya.
Demikianlah sepenggal kisah Utari, nenek Maia Estianty, yang turut mengukir menghiasi sejarah bangsa.