Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Seperti bekas lembaga tempatnya bekerja, Mahkamah Agung , Zarof Ricar juga layak menyandang gelar ‘agung’. Bukan lantaran kinerja, tapi karena kiprahnya selama satu dekade sebagai makelar kasus Rp 1.000 miliar.
***
Bau amis vonis Pengadilan Negeri Surabaya yang membebaskan Ronald Tannur —anak mantan anggota Fraksi PKB DPR Edward Tannur—dalam kasus pembunuhan kekasihnya, Dini Sera Afrianti, terungkap 3 bulan sesudah putusan dibacakan pada 24 Juli 2024.
Majelis hakim yang memvonis bebas: Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul, diduga menerima suap dari pengacara Ronald, Lisa Rachmat, untuk merekayasa putusan itu. Mereka kemudian terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Kejaksaan Agung di Surabaya pada Rabu, 23 Oktober.
Penyidik Kejagung lalu menggeledah kediaman mereka masing-masing di 6 lokasi (4 Surabaya, 1 Semarang, dan 1 Jakarta). Ditemukan total uang sekitar Rp 20 miliar.
Temuan paling banyak berada di kediaman Lisa di Surabaya dan Jakarta senilai Rp 18,6 miliar. Dalam video penggeledahan Kejagung di rumah Lisa, terlihat satu gepok dolar AS yang dibalut plastik dan secarik kertas bertuliskan “buat kasasi”. Sementara di kediaman Erintuah ditemukan Rp 703 juta, Heru Rp 256 juta, dan Mangapul Rp 713 juta.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAMPidsus) Abdul Qohar menyatakan, gerak-gerik para hakim telah dipantau sejak vonis bebas dibacakan. Putusan Erintuah dkk memang mengundang kemarahan publik karena mengada-ada.
Erintuah dkk beralasan Dini Sera tewas karena penyakit lain akibat mengkonsumsi minuman beralkohol. Alasan itu bertentangan dengan fakta persidangan dan bukti-bukti bahwa Dini tewas karena dianiaya dan dilindas mobil oleh Ronald pada Oktober 2023. Jaksa pun langsung mengajukan kasasi ke MA atas putusan bebas Erintuah dkk.
“Penangkapan 4 orang tersangka tidak dilakukan tiba-tiba. Penyidik sudah lama mengikuti sejak adanya putusan pengadilan yang membebaskan Ronald Tannur,” kata Qohar.
Rupanya, dalam proses kasasi, pihak Ronald juga berupaya ‘membeli’ putusan hakim MA. Lisa meminta bantuan Zarof Ricar sebagai perantara suap kepada majelis kasasi. Zarof merupakan mantan Kepala Balitbang Diklat Kumdil MA (setara eselon I) yang telah pensiun pada 2022. Walau sudah pensiun, Zarof dianggap punya kedekatan dan koneksi dengan para hakim dan pejabat tinggi MA.
Lisa meminta Zarof untuk menyuap tiga hakim agung yang menangani perkara kasasi Ronald senilai Rp 5 miliar. Ketiga hakim agung yang menjadi target berinisial S, A, dan S. Uang itu telah diserahkan Lisa ke Zarof di kediaman Zarof di Senayan, Jakarta. Sementara bagi Zarof, Lisa telah menyiapkan Rp 1 miliar. Zarof kemudian menyimpannya dalam brankas di ruang kerja.
Zarof pun sempat berkomunikasi dengan salah satu hakim agung terkait perkara Ronald. Namun uang suap belum sempat diserahkan kepada para hakim agung itu.
Pada akhirnya, sehari sebelum Lisa dan Erintuah dkk ditangkap, majelis kasasi MA membatalkan putusan PN Surabaya pada 22 Oktober. Majelis kasasi yang terdiri dari Soesilo, Ainal Mardhiah, dan Sutarjo menghukum Ronald selama 5 tahun penjara. Ronald pun telah dijebloskan ke Rutan Medaeng, Sidoarjo, pada 27 Oktober.
Meski demikian, putusan tersebut tidak bulat. Ketua Majelis Kasasi, Soesilo, memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion).
Putusan MA itu juga tak memuaskan. Jaksa menuntut 12 tahun penjara karena Ronald dinilai sengaja membunuh Dini. Perbuatan itu dianggap memenuhi unsur Pasal 338 KUHP dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara sesuai dakwaan pertama jaksa.
Tetapi majelis kasasi MA menilai perbuatan Ronald lebih memenuhi dakwaan kedua yakni Pasal 351 ayat (3) KUHP dengan ancaman maksimal 7 tahun bui. Pasal tersebut mengatur tentang penganiayaan yang mengakibatkan korban mati. Jaksa bersiap mengajukan peninjauan kembali (PK) atas vonis kasasi itu.
“Misalnya ada novum (bukti baru), kami bisa PK,” ucap Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Timur, Mia Amiati.
Satu Dekade Main Kasus
Zarof yang sedang beristirahat di kamar hotel dekat Pantai Jimbaran, Bali, kaget dengan kedatangan beberapa penyidik Kejagung. Ia ditangkap pada Kamis, 24 Oktober, sekitar pukul 22.00 WITA. Malam itu, Zarof tak jadi menginap di Hotel Le Meridien. Ia dibawa ke Kejaksaan Tinggi Bali.
Jumat pagi, Zarof diterbangkan ke Jakarta dan ditahan di Rutan Kejagung. Zarof dijerat Pasal 5 Ayat 1 juncto Pasal 15 jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 12 huruf B jo Pasal 18 UU serupa.
Di hari yang sama saat Zarof berada di Bali, penyidik Kejagung menggeledah kediamannya di Senayan, Jaksel. Penyidik menemukan bergepok-gepok uang senilai total Rp 920 miliar.
Uang-uang itu terdiri dari rupiah dan berbagai mata uang asing seperti Dolar Singapura, AS, Hong Kong, maupun Euro. Ada pula bongkahan emas seberat 51 kg yang nilainya ditaksir mencapai Rp 75,4 miliar (1 kg = Rp 1,48 miliar). Sementara di kamar hotel di Bali, penyidik menyita uang senilai Rp 20 juta dan ponsel Zarof.
‘Harta’ hasil penggeledahan itu jumlahnya 20 kali lipat lebih besar dari kekayaan yang dilaporkan Zarof ke KPK. Di akhir masa jabatannya pada 2022, Zarof melaporkan LHKPN-nya ke KPK senilai Rp 51,4 miliar.
“Kami tidak menduga menemukan Rp 920 miliar plus 51 kg emas,” ujar Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar mengutarakan keheranan penyidik.
Temuan fantastis itu menyiratkan bahwa Zarof bukanlah pejabat MA biasa. Ia diduga merupakan makelar kasus. Kepada penyidik, Zarof mengaku sudah main kasus sejak 2012. Ketika itu jabatannya masih Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Pidana di Ditjen Badilum MA.
“Uang ini dikumpulkan mulai 2012 sampai 2022 dari pengurusan perkara, itu jawaban yang bersangkutan (Zarof). [Penyidik tanya] ‘berapa [orang] yang mengurus dengan saudara?’ karena saking banyaknya dia lupa,” kata Qohar.
Ironisnya, ketika masih menjabat direktur di Badilum, Zarof pernah ditunjuk oleh Ketua MA saat itu, Hatta Ali, sebagai anggota pokja seleksi calon hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Ia juga terlibat menyusun kurikulum pendidikan dan pelatihan para calon hakim ad hoc tipikor saat itu.
Saat menjabat Sekretaris Ditjen Badilum MA, Zarof juga sempat menjadi penanggung jawab Tim Akreditasi Penjaminan Mutu Peradilan Umum pada 2016. Di luar kariernya di MA, Zarof dipercaya sebagai Wakil Ketua Komisi Etik PSSI periode 2016-2020. Adapun setelah pensiun, ia merambah dunia layar lebar sebagai produser eksekutif film ‘Sang Pengadil’.
Sumber kumparan di lingkaran penegak hukum menyebut, sebagian dari uang yang ditemukan diduga merupakan fee mengurus perkara besar yang di antaranya diduga melibatkan pejabat tinggi kementerian maupun elite partai politik.
Zarof diduga merupakan bagian dari jaringan yang terkoneksi dengan markus lain di MA, namun juga bermanuver sendiri. Sebab sebelumnya terdapat 2 markus lain non-hakim yang memegang jabatan struktural di MA yakni Nurhadi dan Hasbi Hasan. Keduanya sama-sama bekas Sekretaris MA. Nurhadi divonis 6 tahun penjara pada Maret 2021. Hukuman penjara yang sama juga diterima Hasbi pada April 2024.
Sumber kumparan menyebut, lihainya Zarof bermain perkara karena ia dikenal dekat dengan para petinggi MA. Ia kerap mendampingi pimpinan MA ketika melakukan kunjungan kerja. Salah satunya ketika kunjungan ke Maroko pada Desember 2019.
Dalam kunjungan itu ada Ketua MA 2012-2020 Hatta Ali; Muhammad Syarifuddin, Wakil Ketua MA Bidang Yudisial yang kemudian menjadi Ketua MA 2020-2024; Dirjen Badan Peradilan Agama (kini Asesor Utama), Aco Nur; Dirjen Badilum (kini Ketua Kamar Pidana), Prim Haryadi; dan Hasbi Hasan.
Kedekatan Zarof dengan petinggi MA pun nampak ketika ia masuk dalam daftar lampiran rombongan pejabat MA ke Sumenep, Madura, pada 27-28 September 2024. Walau sudah pensiun sejak 2022, Zarof seakan tetap dianggap sebagai pejabat MA dalam surat bernomor 14/WKMA.Y/SB/HM2.1.1/IX/2024 yang diteken Wakil Ketua MA Bidang Yudisial (kini Ketua MA), Sunarto, pada 17 September 2024.
Surat yang ditujukan kepada Plt Bupati Sumenep itu berisi informasi beberapa pejabat MA akan berkunjung ke Madura dan berharap bisa ke Kraton Sumenep. Baik Sunarto maupun Zarof sama-sama merupakan kelahiran Sumenep.
kumparan mengajukan surat permohonan wawancara kepada Sunarto terkait berbagai informasi tersebut, tetapi belum ada tanggapan. kumparan sempat dijanjikan wawancara langsung dengan Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial Suharto pada Jumat, 1 November. Namun saat hendak wawancara Suharto -melalui asistennya- mengaku sedang tidak enak badan. Ia kemudian hanya memberi keterangan tertulis.
Dalam keterangannya, Suharto menyatakan MA prihatin dan bakal mengambil langkah tegas untuk membangun kepercayaan publik. Ia menyebut pimpinan MA memang sangat hati-hati menyikapi masalah ini.
“Keadaan saat ini sedang tidak baik-baik saja,” ucap Suharto.
Ia membeberkan langkah yang telah diambil MA yakni memberhentikan sementara tiga hakim PN Surabaya yang membebaskan Ronald. Lalu membentuk tim untuk memeriksa majelis kasasi pada 28 Oktober, serta menggelar rapat internal antara pimpinan MA dan hakim agung pada 26 Oktober.
“Ada wacana hakim agung sebagai hakim pengawas daerah,” kata Suharto.
Sementara itu pengacara Zarof, Soesilo Aribowo, belum bisa memberi penjelasan karena harus menemui kliennya terlebih dahulu.
Bongkar Jaringan Mafia Peradilan
Penangkapan Zarof dengan barang bukti Rp 1 triliun diharapkan menjadi momentum membongkar dan membersihkan jaringan mafia peradilan. ICW menilai masih berulangnya mafia peradilan hingga kini karena MA tak berniat melakukan reformasi lembaga dan penegak hukum yang tidak pernah menyasar aktor intelektual.
Dengan adanya kasus ini, Zarof diminta mengungkap siapa saja pemberi uang tersebut dan ke siapa saja uang suap pernah mengalir.
“Yang terpenting memetakan siapa-siapa saja pihak yang turut terlibat dalam periode pengumpulan uang tersebut dari 2012 sampai 2022,” kata peneliti ICW Diky Anandya pada kumparan.
Diky memperkirakan jika fee yang didapat senilai Rp 1 miliar per kasus, maka dengan temuan Rp 1 triliun, diduga ada seribuan perkara yang pernah diurus Zarof.
“Tidak kaget kalau nanti terungkap ini hasil dari suap ratusan kasus. Dan kalau ternyata benar dari ratusan kasus, berarti pelakunya bisa jadi mencapai puluhan hingga ratusan. Karena nominalnya fantastis sekali, bayangkan hampir Rp 1 triliun uang tunai,” ujar Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni.
Koordinator Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Kurnia Ramadhana, menyatakan penerapan pasal gratifikasi (Pasal 12B) yang diterapkan kepada Zarof merupakan cara agar beban pembuktian dilakukan oleh tersangka/terdakwa, bukan penuntut umum.
Sesuai bunyi pasal tersebut, gratifikasi kepada penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas.
“Pembuktian terbalik ini akan menyasar terdakwa bila tak bisa menjelaskan secara utuh disertai dengan bukti relevan mengenai harta yang ditemukan penyidik di kediamannya,” kata Kurnia.
Di samping itu, Kurnia mendorong agar Kejagung juga menerapkan pasal pencucian uang apabila ditemukan ada harta yang telah disamarkan. Sumber kumparan menyebut Zarof diduga pernah menyamarkan hartanya dalam bentuk rumah sakit (RS) di Pekanbaru, Riau.
Mantan Komisioner Komisi Yudisial, Farid Wajdi, berpendapat operasi mafia peradilan tak hanya melibatkan pejabat elite suatu lembaga. Bahkan menurutnya, oknum juru parkir, sekuriti, hingga sopir tahanan di suatu pengadilan bisa menjadi bagian mafia peradilan.
“Begitu sistematisnya mafia hukum. Hanya saja dalam prosesnya, amat sulit membuktikan ini semua karena saling menutupi,” kata Farid.
Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, menyatakan pembuktian siapa saja yang terlibat gratifikasi bergantung pada kesaksian Zarof. Sejauh ini Zarof belum berkenan membuka siapa saja yang terlibat.
Di samping itu, penyidik juga tengah menelusuri bukti-bukti percakapan di ponsel Zarof untuk mengungkapnya. Sementara terkait potensi Zarof dijerat TPPU, Kejagung tengah melacak aset-aset Zarof.
Peradilan Bersih Cuma Mimpi?
Pertanyaan klise yang selalu muncul setelah terungkapnya makelar kasus adalah apakah peradilan bisa benar-benar bersih dari mafia?
Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) yang belakangan kerap mengkampanyekan peradilan bersih menyatakan harapan itu bisa dicapai dengan kolaborasi berbagai pihak. SHI baru-baru ini menggelar aksi cuti massal pada 7-11 Oktober dengan tuntutan kenaikan gaji. Mereka beralasan gaji yang tak naik selama 12 tahun merupakan salah satu penyebab para hakim mencari ‘tambahan’ pendapatan.
Tuntutan kenaikan gaji dan tunjangan itu akhirnya dikabulkan di akhir masa jabatan Presiden Jokowi sekitar 40%.
Jubir SHI, Fauzan Arrasyid, menyatakan kini fokus gerakannya adalah mengawal agar RUU Jabatan Hakim segera disahkan menjadi UU. Salah satu materi RUU tersebut adalah penetapan status hakim sebagai pejabat negara. Status itu otomatis meningkatkan kesejahteraan hakim.
“Hakim-hakim harus sudah selesai dengan urusan dunianya, kebutuhan dasarnya harus disiapkan oleh negara. Kami ingat sekali bagaimana Presiden Prabowo menyampaikan bahwa hakim harus dibeli oleh negara, agar tidak bisa dibeli oleh para pihak,” jelas Fauzan pada kumparan, Kamis (31/10).
Selain soal kesejahteraan, kata Fauzan, para hakim juga meminta agar RUU tersebut sekaligus membenahi proses rekrutmen, promosi dan mutasi, serta pengawasan maupun evaluasi.
“Kami ingin ada sistem pengawasan yang lebih jelas. Pengawasan tidak hanya ketika sudah jadi hakim, tapi dari sejak rekrutmen, promosi dan mutasi,” kata Fauzan.
Farid Wajdi menyatakan gagasan besar RUU Jabatan Hakim adalah hakim tak lagi korupsi ketika pendapatannya naik signifikan. Walau demikian, menurutnya, gaji tinggi tak menjamin hakim tidak korupsi. Sebab sejumlah hakim agung dengan pendapatan puluhan juta nyatanya masih terjerat korupsi. ICW mencatat sejak 2011 terdapat 26 hakim yang terjerat korupsi.
“Kami tidak melihat ada korelasi antara peningkatan kesejahteraan hakim dengan penurunan angka tindak pidana korupsi. Justru pokok persoalan kenapa mafia peradilan masih terus menjamur di MA atau lembaga peradilan karena pengawasan selama ini belum dijalankan secara ketat,” ucap Diky.
Farid mengusulkan penguatan Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal hakim melalui revisi UU 18/2011. Menurutnya, putusan KY terkait kode etik dan perilaku hakim seharusnya bersifat final dan mengikat bagi MA, bukan bersifat rekomendasi.
Ia mencontohkan di kasus Ronald, KY terlebih dahulu mencium ada rekayasa putusan oleh majelis hakim PN Surabaya. Sehingga KY merekomendasikan kepada MA agar menjatuhkan sanksi etik pemecatan terhadap Erintuah Damanik dkk pada 26 Agustus. Namun MA tak kunjung menindaklanjuti hingga Erintuah dkk ditangkap 23 Oktober. Padahal sesuai Pasal 22F ayat (3) UU 18/2011, rekomendasi harus ditindaklanjuti maksimal 60 hari.
“Selama saya di KY, dari semua rekomendasi yang diajukan oleh KY kepada MA, hanya dapat dilaksanakan tak lebih dari 30 persen. Karena dianggap yang lain adalah teknis yudisial. Mereka (MA) menjadikan independensi sebagai bumper (pembelaan)” kata Farid yang menjadi Komisioner KY 2015-2020.
Farid juga mengusulkan agar urusan administrasi seperti rekrutmen, promosi mutasi, maupun anggaran bisa dibagi bebannya dengan KY sehingga MA bisa fokus membenahi peradilan, tidak disibukkan dengan urusan administrasi. Sekalipun demikian, ia tak yakin reformasi peradilan bisa membuat MA bersih.
“Kalau tidak ada potong generasi, hanya reformasi ala reformasi birokrasi atau peradilan seperti sekarang, sepertinya untuk mendapatkan peradilan yang bersih itu adalah mimpi yang masih terlalu jauh untuk diraih,” tutup Farid.