Makna Ramadan bagi Pekerja Jalanan: Antara Godaan Makan dan Makan Sekali Sehari

18 Maret 2024 12:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gerobak milik Itok, pemulung, ditemui kumparan di sekitar Mampang. Foto: Ainun Nabila/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Gerobak milik Itok, pemulung, ditemui kumparan di sekitar Mampang. Foto: Ainun Nabila/kumparan
ADVERTISEMENT
Jalan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, siang hari ini, Senin (18/3), tak terlalu padat. Mobil dan motor berlalu lalang dengan lengang di jalan yang dulu sering dijuluki "jalur neraka" ini saking macetnya.
ADVERTISEMENT
Di antara sibuknya para pengendara itu, ada mereka pekerja jalanan yang beraktivitas di bawah teriknya matahari sambil menahan lapar dan haus karena berpuasa.
Irwan contohnya. Pria berusia 51 tahun itu bekerja sebagai ojek online. Selama Ramadan, Irwan memilih narik lebih pagi dari biasanya. Usai sahur dan salat Subuh, dia sudah bersiap turun ke jalan untuk menjemput rezeki.
Narik lebih awal ini dilakukan Irwan setelah dia melihat pengalaman dari tahun-tahun sebelumnya. Dulu, ia biasa berbuka puasa di jalan. Tapi kini ia memilih untuk buka puasa di rumah bersama keluarga.
"Kalau 2016 saya buka di jalan. Soalnya, satu macet. Terus kalau dapat orderan apa itu (orderan) makan, lama,” cerita Irwan pada kumparan, Senin (18/3).
Irwan, ojol yang ditemui kumparan di sekitar Mampang. Foto: Ainun Nabila/kumparan
Meski jumlah penumpang tak banyak berubah dibanding bulan lainnya, ada satu hal yang membuat Irwan sulit berpuasa di bulan Ramadan.
ADVERTISEMENT
“Ya, cobaannya banyak, sih. Kalau kita lagi nunggu penumpang nih, ada aja teman yang ngajakin ‘yok (makan)’,” ujarnya diselingi tawa.

Kisah Nuh, Sopir Bajaj

Hal yang sama juga dilakukan oleh Nuh, sopir bajaj yang biasa mangkal di sekitar Mampang. Selama Ramadan, jam kerjanya jadi lebih pendek.
Nuh bercerita, biasanya hari-hari di luar Ramadan, ia masih bisa membawa penumpang hingga pukul 10 malam. Tapi sejak Ramadan, pukul 6 sore penumpang mulai sepi.
“(Penumpang) Bulan puasa ya ada aja, sih, tapi ramai nggak bulan puasa. Jam 6 udah pada ini (sepi),” ujar Nuh saat ditemui di kawasan Mampang, Senin (18/3).
Nuh, supir Bajaj di sekitar Mampang. Foto: Ainun Nabila/kumparan
“Kalau bulan puasa kayak gini, ya, paling sehari Rp 100 ribu, kalau nggak (bulan) puasa kadang Rp 200 ribu kadang Rp 150 ribu, tergantung nariknya,” jelas Nuh.
ADVERTISEMENT
Meski merasa sedikit kesulitan dengan pekerjaannya sebagai sopir bajaj, Nuh mengaku tetap berpuasa. Tak banyak hal baru baginya di Ramadan tahun ini sebab sudah tiga tahun ia menggeluti pekerjaan yang sama.

Kisah Itok, Pemulung

Berbeda dengan Nuh dan Irwan, Itok yang sudah memulung sejak tiga bulan lalu ini memilih untuk tak puasa. Katanya sulit untuk menahan haus dengan membawa gerobak berisi barang-barang hasil mulung.
Itok, pemulung, ditemui kumparan di sekitar Mampang. Foto: Ainun Nabila/kumparan
Sebelumnya ia bekerja sebagai buruh proyek. Tapi kemudian ia berhenti dan bekerja sebagai pemulung.
“Saya mulung aja susah. Buang-buangannya dikit. Setiap malam saya di jalanan, nggak punya tempat. Rumah ada di Jawa,” ceritanya.
Meski berada di satu jalan yang sama, yaitu Mampang Prapatan, makna Ramadan dapat diartikan berbeda untuk setiap orang.
ADVERTISEMENT