Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sejumlah mahasiswa yang nyaris kena sapu aparat di malam nahas pasca-demonstrasi penolakan deret RUU kontroversial pada 30 September, menuliskan untuk kumparan apa yang mereka alami di pengujung hari itu. Berikut kisahnya.
***
Laju kendaraan lapis baja barracuda membelah jalan malam itu. Puluhan pasukan berseragam mirip stormtroopers berjalan menyisir jejak kendaraan lapis baja. Siapa pun yang ada di pinggir jalan langsung kena bentak dan ancam. Mereka mundur dan menyingkir, ciut oleh sabetan pentungan yang sesekali mengayun.
Suara tembakan dan benturan benda keras yang terdengar dari kejauhan, kian mendekat. Jari seorang anggota pasukan menyapu beberapa orang, sementara pasukan lainnya memukul, menyeret, dan menggiring orang-orang ke tempat lain.
Ini bukan adegan operasi stormtroopers yang tengah menyisir Rebel Alliance dalam film Star Wars. Tak ada pedang lightsaber atau senapan laser. Stormtroopers itu adalah polisi anti huru-hara yang mengenakan pelengkapan komplet. Temaram lampu jalanan membuat siluet mereka tampak seperti pasukan Galactic Empire.
Senin malam, 30 September 2019, ricuh buntut aksi demonstrasi di sekitar kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, belum berakhir. Jarum jam menunjukkan lewat pukul 9 malam. Kami tengah melahap nasi goreng di sisi Jalan Asia Afrika setelah seharian mengikuti aksi #ReformasiDikorupsi.
Tak banyak pilihan tempat makan malam di Senayan saat itu. Seluruh pintu masuk Plaza Senayan dan Senayan City dijaga ketat oleh sekuriti mal. McDonalds Senayan Trade Center yang biasanya beroperasi 24 jam bahkan menutup rapat-rapat pintunya sebelum jam 9 malam. Satu-satunya yang bisa dikunjungi adalah sebuah ruko yang halamannya dijadikan pusat jajanan serba-ada (pujasera) oleh pedagang kaki lima.
Di situlah kami menyantap nasi goreng untuk mengisi perut alakadarnya. Namun, mendadak moncong meriam kendaraan lapis baja menembakkan petasan dan gas air mata. Alhasil, nasi goreng kami jadi tak laik untuk dimakan karena bercampur asap gas air mata.
Seketika orang-orang berhamburan menghindari asap. Mereka menutup hidung untuk mencegah gas air mata terhirup masuk ke paru-paru. Tepat saat itu, seruan-seruan menggelegar terdengar.
“Semua yang menggunakan odol atau masker, tangkap!” kata seorang aparat melalui pengeras suara di barracuda.
Massa tercerai-berai. Mereka yang tertinggal, terpaksa menerima hantaman dari aparat sebelum akhirnya diringkus.
Selang beberapa menit dari kejadian itu, gas air mata kembali terbang di udara dan jatuh tepat di depan gerobak nasi goreng yang kami pesan. Sontak meja-meja di lapak kaki lima tersebut dipenuhi asap. Dalam sekejap napas menjadi sesak. Sekujur badan hingga kepala terasa panas.
“Ayo masuk, masuk, biar nggak kena (gas air mata)!” kata si pedagang nasi goreng sembari meninggalkan makanan yang ia masak. Para pembeli pun patuh. Kami mundur sampai ke garasi bagian dalam.
Jantung kami berdetak tidak keruan. Tubuh bergetar namun sulit bergerak. Walau kami tak ikut-ikutan aksi rusuh, rasa-rasanya kami cukup paham atas apa yang akan kami hadapi di saat-saat seperti ini: kami bisa kena tangkap.
Tahu aparat bakal menggasak siapa saja dengan odol di wajah, kami pun menghapus sisa odol dengan ludah dan membuang tas kecil berisi jas almamater.
“Ng*nto* lo semua! Tadi aja lo nimpuk-nimpuk pake batu! Sekarang gua sampai sini, pura-pura pada makan lo semua, bangsat!” seru seorang aparat.
Mendengar ucapan aparat tersebut, seorang lelaki paruh baya mengangkat kursi plastik di depannya sembari maju ke barisan Brimob. Ia lalu berseru, “Sini lo, polisi! Sini lo, polisi!” tantangnya dengan mata nanar.
Seperti menyiram api dengan bensin, tindakan lelaki itu kian menyulut personel Brimob lain untuk bertindak suka-suka. Sekumpulan anak muda yang duduk di meja seberang kami menjadi sasaran pertama.
“Kamu! Kamu! Kamu! Semuanya, ikut dulu!” kata seorang Brimob dengan nada tinggi.
“Nggak, Pak. Kita nggak ikut (demonstrasi) apa-apa, Pak,” jawab salah seorang dari mereka.
Namun aparat tak peduli dan tak pandang bulu. Tanpa mengecek kartu identitas atau menunjukkan bukti-bukti pelanggaran, anak-anak muda itu diangkut.
Setelah rombongan personel itu keluar membawa hasil tangkapan, belasan anggota Brimob yang lain muncul. Ini pasukan yang berbeda dengan sebelumnya. Mereka menyisir masuk ke dalam. Kali itu lebih agresif hingga masuk ke dalam ruko.
Tak lama kemudian, dari lantai dua ruko pujasera tersebut, terdengar teriakan orang-orang. Teriakan itu beriringan dengan gemuruh sepatu aparat. Para pemuda berbaju bebas lantas diseret keluar dari ruko oleh Brimob. Mereka diam tak berdaya saat dibawa keluar dengan tangan dipiting. Lima orang itu pun hilang dari pandangan dengan sekejap.
Keributan kemudian terjadi ketika para personel Brimob mengangkut seseorang yang bertelanjang dada dan memakai celana pendek dari dalam ruko.
“Pak, itu pedagang, Pak!” teriak para pedagang mencoba meyakinkan. Namun aparat tak menggubris. “Udah, kamu ikut dulu! Ngaku kamu!” kata anggota Brimob sambil mengerubungi lelaki yang mencoba berontak itu.
Beberapa aparat berbadan besar di sekeliling kami tak henti-hentinya memperhatikan gerak-gerik kami tanpa berkedip. Namun sampai detik itu, entah karena keberuntungan atau apa, kami masih diabaikan dan tak diperiksa barang sedikit pun.
Tiba-tiba seorang aparat berteriak, “Itu yang di pojok, keluar kamu!”
Jantung kami kembali berdegup kencang. Kami melirik satu sama lain tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Namun, seruan itu ternyata tidak ditujukan untuk kami, melainkan kepada seseorang yang bersembunyi di dalam gerobak bekas
Seorang bocah berpakaian putih abu-abu lalu keluar dari persembunyian. Satu tendangan aparat pun melesak ke perutnya dan membuatnya terhempas ke belakang. Dalam sekejap, beberapa personel Brimob mengerumuni remaja tanggung itu, menyerbunya dengan gebuk dan injakan sepatu bot.
Bocah sekolah menengah kejuruan itu menjadi orang terakhir yang ditangkap di pujasera tempat kami singgah malam itu. Ia, bersama orang-orang lain yang ditangkap, segera dimasukkan ke dalam truk Brimob untuk dibawa pergi.
Di dalam pujasera itu hanya tersisa para pedagang, pekerja kantoran berpakaian batik, dan kami yang tiga orang ini. Ya, hanya kami bertiga anak muda yang tersisa di tempat itu.
Kami tak henti-hentinya berucap dalam hati, “Nyaris… nyaris… nyaris…”
Ketika itu, jarum jam menunjukkan lewat dari pukul 10 malam. Ricuh berganti hening. Kami pulang dan tak menyangka rentetan demonstrasi tanggal 24, 25, dan 30 September akan berakhir seperti ini.
Nyaris… nyaris… nyaris…
***
Kisah di atas hanya sepenggal cerita dari sekian yang banyak—dan lebih dari separuhnya tak terungkap. Banyak orang diangkut tanpa pemeriksaan. Total 1.365 orang demonstran ditangkap pada unjuk rasa 30 September 2019 itu.
Sampai 3 Oktober 2019, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menerima 390 aduan, mulai soal penganiayaan, pengeroyokan, hingga penangkapan yang berasal dari berbagai elemen masyarakat.
Pasca-demonstrasi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta juga menerima aduan puluhan orang hilang dari keluarga atau teman yang tidak mendapat kabar soal keberadaan kerabat dan kenalan mereka itu.
Deret aduan atas tindak sewenang-wenang aparat ketika mengamankan rangkaian aksi #DemokrasiDikorupsi terus berdatangan. Satu per satu pengakuan mulai terucap, namun perhatian dan tindak lanjut atas kasus ini berjalan lamban.
Laporan selengkapnya di Liputan Khusus kumparan: Nasib Tragis Korban Aparat