Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Mana yang Lebih Pantas Jadi Bahasa Resmi ASEAN, Indonesia atau Melayu?
6 April 2022 18:15 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Bahasa Melayu kini tengah menjadi pergunjingan. Hal itu terkait usulan dijadikannya bahasa Melayu menjadi bahasa resmi di ASEAN.
ADVERTISEMENT
Usulan ini kembali dimunculkan oleh PM Malaysia Ismail Sabri Yakoob. Orang nomor satu di Negeri Jiran itu bahkan sudah membahas usulan itu ketika bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta pada pekan ini.
Tentunya usulan tersebut tidak dibawa Ismail tanpa dasar jelas. Ia menegaskan, bahasa Melayu digunakan oleh 300 juta orang di seantero Asia Tenggara. Alasan itu membuatnya percaya diri bahwa Melayu pantas dijadikan bahasa resmi di ASEAN setelah bahasa Inggris.
Sampai sekarang belum ada pernyataan resmi dari Jokowi soal usulan dari Ismail. Meski demikian, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menolak usulan PM Malaysia mengenai Melayu akan dijadikan bahasa resmi ASEAN. Ia merasa bahasa Indonesia lebih pantas.
“Saya sebagai Mendikbudristek, tentu menolak usulan tersebut,” tegas Nadiem dalam sebuah pernyataan tertulis seperti dikutip dari situs Kemendikbud.
ADVERTISEMENT
"Dengan semua keunggulan yang dimiliki bahasa Indonesia, dari aspek historis, hukum, dan linguistik sudah selayaknya bahasa Indonesia duduk di posisi terdepan dan, jika memungkinkan, menjadi bahasa pengantar untuk pertemuan-pertemuan resmi di ASEAN," sambung dia.
Atas perdebatan yang mulai muncul terkait bahasa mana yang lebih pantas, sejumlah pengamat hubungan internasional merespons hal tersebut. Mereka malah menilai perdebatan terkait bahasa mana yang pantas malah berpotensi jadi sumber masalah.
"Bagi ASEAN sendiri, sebetulnya it's not worth it untuk membahas bahasa, karena kita sudah menyadari bahwa budaya kita ini beragam," ujar Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Evi Fitriani.
Bahasa Indonesia Tidak Ideal Untuk Diresmikan ASEAN
Evi menambahkan, Indonesia semestinya tidak mengusulkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ASEAN. Sebab, Indonesia adalah negara dengan luas wilayah dan penduduk terbanyak di ASEAN.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, eksistensi Indonesia di Asia Tenggara sudah sangat kuat tanpa harus melibatkan bahasa. Justru, kalau bahasa Indonesia diresmikan, Evi khawatir hal ini akan membuat posisi Indonesia terlalu mendominasi.
"Indonesia selama ini selalu mencoba untuk tidak mendominasi. Salah satu tujuan ASEAN dibentuk adalah karena negara-negara sekitar Indonesia yang merasa tidak aman dengan negara kita," jelas Evi.
"ASEAN dibentuk salah satunya supaya mereka merasa nyaman, bisa berdialog dengan Indonesia," sambung dia.
Selain merupakan negara terbesar, militer Indonesia juga adalah yang terkuat di wilayah Asia Tenggara. Evi pun mengingatkan agar kita sadar akan posisi sendiri, dan jangan terlalu semangat untuk menguasai panggung multinasional.
"Tahun 1960-an, saat berdirinya ASEAN, Indonesia adalah salah satu negara yang ditakuti karena potensi agraris kita, dan lain-lain. Jadi sebetulnya ASEAN adalah forum di mana kita bisa berdialog, berkomunikasi, dan bekerja sama dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya tanpa ada yang merasa terintimidasi." ucap Evi.
ADVERTISEMENT
"Indonesia selalu menjaga supaya kita tidak terlalu menonjol. Tidak terlalu mendominasi. Itu yang selama ini dijaga teman-teman Kemlu yang paham hal ini. Kalau perlu, Indonesia mendorong dari belakang. Bahaya banget kalau Indonesia mau tiba-tiba memimpin dan mendominasi. Itu akan membuat negara lain merasa tidak nyaman," lanjut dia.
Kurangnya Studi Kelayakan
Sementara itu, Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah mengatakan butuh studi lebih lanjut demi menentukan bahasa mana yang patut digunakan secara resmi di ASEAN.
"Saya pikir, di mana ada ide baru, harus ada studi kelayakan dulu. Itu studi kelayakan belum ada yang bikin. Kedua, sosialisasi pun juga belum ada," papar Rezasyah.
Rezasyah menekankan bahwa peresmian sebuah bahasa tidak semudah dan secepat yang mungkin diharapkan para pejabat. Banyak keperluan teknis yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Ia menyarankan beberapa metode, seperti melakukan uji coba dengan skala kecil.
Misalnya, jika bahasa Melayu memang ingin diresmikan, maka Malaysia mungkin dapat mencoba menggunakan bahasa tersebut secara eksklusif ketika berdialog dengan Indonesia, Thailand, dan Brunei. Negara-negara percobaan ini juga mungkin dapat membuat film bersama sebagai uji coba.
ADVERTISEMENT
Jika percobaan dalam skala kecil ini berhasil, baru perbincangan soal peresmian secara keseluruhan dapat dilakukan. Rezasyah juga menekankan harus ada kejelasan mengenai bahasa Melayu apa yang dipakai, karena terdapat banyak variasi dan dialek.
"Sebelum kita bicara soal politik, komitmen, atau janji, kita samain dulu sistem bahasanya, begitu. Mulai dari penggunaan kata, kalimat, atau grammar." kata dia.
"Yang paling mengerti ini kan lembaga bahasa di kedua negara, ya. Mereka belum diajak bicara," sambung dia.
Bahasa Inggris, Bahasa Netral
Bahasa Inggris, yang selama ini dipakai oleh ASEAN, dinilai sebagai bahasa paling netral yang sepatutnya dipakai dan tidak diganggu gugat. Semua dokumen, sidang, dan kepentingan ASEAN selama ini telah dilakukan dalam bahasa Inggris.
ADVERTISEMENT
"Yang ASEAN butuhkan adalah solidaritas, kekompakan. Semua sudah kompak dalam bahasa Inggris, yang sudah menjadi working language ASEAN," ujar Rezasyah.
"Semua pemimpin kita sudah familiar dengan bahasa itu, jadi jangan diganggu lagi. Nanti, kalau ada bahasa resmi baru, apakah semua dokumen ASEAN harus diterjemahkan?"
"Itu adalah pekerjaan yang maha dahsyat," tutur dia.
Evi turut mengkhawatirkan bahwa penggunaan bahasa lain selain bahasa Inggris akan membuat negara-negara lain merasa tidak terlibat secara dekat dengan ASEAN. Rasa kekerabatan, kooperatif, dan prinsip egaliter adalah nilai-nilai yang dijunjung tinggi ASEAN.
"Bahasa adalah power. Kalau kamu tidak mengerti sebuah bahasa, kamu tidak punya power. Kamu tidak punya pengaruh. Kamu tidak bisa mengerti informasi apa pun. Jadi, kalau sampai ASEAN sampai ambil bahasa Melayu, berarti negara-negara lain akan merasa tidak terlibat dan tidak di-engage." ucap Evi.
ADVERTISEMENT
"Bahasa Inggris itu paling aman, paling netral, yang tidak berisiko untuk membuat satu negara merasa lebih tinggi dari negara lainnya. Enggak ada restriksi atau diskriminasi," papar dia.
.