Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Mantan Atase Imigrasi Malaysia Dituntut 5 Tahun Penjara
4 Oktober 2017 12:31 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB

ADVERTISEMENT
Mantan Atase Imigrasi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Malaysia Dwi Widodo dituntut 5 tahun penjara. Dia juga wajib membayar denda Rp 200 juta subsidair 6 bulan kurungan.
ADVERTISEMENT
Dwi dinilai terbukti bersalah menerima suap terkait penerbitan paspor dan penerbitan calling visa tahun 2013 hingga 2016. Ia dinilai terbukti menerima uang sebesar Rp 524,35 juta dan 63.500 Ringgit Malaysia serta voucher hotel senilai Rp 10,8 juta terkait perbuatannya itu.
"Menuntut agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menyatakan terdakwa Dwi Widodo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi," ujar jaksa Arif Suhermanto saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (4/10).
Menurut penuntut umum, ada penyimpangan yang dilakukan Dwi pada saat menerbitkan paspor dan calling visa. Suap kepada Dwi diyakini berasal dari 8 perusahaan, yaitu PT Anas Piliang Jaya, PT Semangat Jaya Baru, PT Trisula Mitra Sejahtera, PT Sandugu International, PT Rasulindo, PT Atrinco Mulia Sejati, PT Afindo Prima Utama, dan PT Alif Asia Africa.
ADVERTISEMENT
"Terdakwa telah melaksanakan penerbitan calling visa yang diajukan oleh perusahaan sponsor, namun dengan tidak sesuai prosedur, yaitu tetap menerbitkan calling visa dengan meminta sejumlah imbalan kepada pihak sponsor atau penjamin," ujar jaksa Arif.
Hal itu bermula saat pemilik PT Anas Piliang, Nazwir Anas, meminta bantuan Dwi untuk menerbitkan calling visa untuk para kliennya dari Afrika. Menurut penuntut umum, penerbitan calling visa tidak melalui prosedur, lantaran melibatkan pihak lain atau calo. Dwi bersedia memenuhi permohonan Nazwir untuk menerbitkan calling visa, namun dengan sejumlah imbalan.
Selanjutnya, Dwi juga meminta imbalan dari PT Trisula Mitra Sejahtera sebesar 200 dolar AS untuk 16 klien yang menginginkan penerbitan calling visa.
Tak hanya itu, kata Jaksa, Dwi juga meminta imbalan sebesar Rp 1 juta per orang dari klien perusahaan PT Sandugu Internasional. Begitu pula imbalan dari PT Rasulindo Jaya, Dwi mendapat voucher hotel senilai Rp 10,8 juta.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, dari Perusahaan PT Afindo, Dwi menyanggupi pengurusan calling visa dengan meminta imbalan Rp 295 juta untuk 9 warga negara Srilanka, Ghana, Nepal, Uganda, dan Nigeria yang berprofesi sebagai pedagang.
Selain itu, Dwi juga meminta imbalan Rp 2 juta untuk klien perusahaan Alif Asia Afrika sebesar Rp145,45 juta. Jaksa juga meyakini Dwi menerima imbalan dari layanan keimigrasian "reach out".
Adapun pengertian reach out, adalah metode pelayanan pengurusan paspor kepada TKI yang berada di Malaysia lantaran kehilangan paspor, rusak atau tidak memiliki paspor di luar KBRI Kuala Lumpur.
Dalam melakukan praktiknya, Dwi bekerja sama dengan mantan pegawai KBRI Juala Lumpur, Satya Rajasa Pane. Satya, dengan bertindak sebagai calo, minta uang kepada para agen paspor sebesar 350 Ringgit Malaysia. Dwi disebut menerima uang dari Satya dengan total 63.500 Ringgit Malaysia.
ADVERTISEMENT
"Terdakwa juga mengakui uang itu untuk kepentingan terdakwa," kata jaksa Arif.
"Pemberian uang tidak dikirimkan ke rekening KBRI Malaysia, melainkan ke rekening terdakwa dan rekening Satya Rajasa Pane," lanjut jaksa Arif.
Sebanyak 82 pegawai KBRI juga diberikan uang Tunjangan Hari Raya sebanyak 39.500 ringgit dari uang tersebut. Namun, sebagian uang THR yang diberikan itu telah dikembalikan ke KPK beberapa waktu lalu.
Dwi pun dituntut harus mengembalikan uang pengganti sebesar yang dia terima, yakni 27.400 Ringgit Malaysia, serta Rp 542,35 juta. Jika tidak mengganti, Dwi akan dikenakan hukuman tambahan berupa hukuman pidana selama 2 tahun.
"Jika tidak menggantinya, seluruh harta benda terdakwa akan disita untuk menutupi uang pengganti tersebut. Jika tidak menyanggupi akan diganti pidana penjara selama 2 tahun," kata jaksa Arif.
ADVERTISEMENT
Adapun perbuatan Dwi yang tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi menjadi hal yang memberatkan. Sementara perbuatan Dwi yang bersikap sopan di persidangan, berterus terang di persidangan, belum pernah dihukum sebelumnya, dan memiliki tanggungan keluarga menjadi hal yang meringankan.
Usai mendengar tuntutan, Dwi tidak mengajukan nota pembelaan. "Saya akan membuat pleidoi bersama PH (Penasihat Hukum) dalam waktu seminggu," kata Dwi kepada majelis hakim.
Perbuatan Dwi dinilai memenuhi unsur dalam pasal 12 huruf b Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.