Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Mantan Presiden PKS , Luthfi Hasan Ishaaq, mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung terhadap vonis 18 tahun penjara yang dijatuhkan kepadanya.
ADVERTISEMENT
Luthfi merupakan terpidana kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian dan tindak pidana pencucian uang. Ia sudah ditahan sejak 2013 silam.
Pengajuan PK ke Mahkamah Agung ini selang 7 tahun setelah ia mulai menjalani hukuman. Melalui pengacaranya, Luthfi Hasan Ishaaq mengaku punya alasan dalam mengajukan PK.
"Setelah menjalani 7 tahun pidana, pemohon menemukan alasan-alasan agar majelis Peninjauan Kembali menjatuhkan putusan bebas atau ringan kepada pemohon dengan alasan kekeliruan dan kekhilafan hakim," kata penasihat hukum Luthfi Hasan, Sugiyono, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, dilansir Antara, Rabu (16/12).
Luthfi Hasan yang sedang menjalani pidana di Lapas Sukamiskin, Bandung, hadir langsung dalam sidang perdana PK tersebut. Ia tampak mengenakan jaket hitam dan masker hitam.
ADVERTISEMENT
Dalam pengajuan PK, ia mengacu pada putusan PK Irman Gusman dan kasasi Idrus Marham yang dikabulkan MA. Kedua putusan itu berujung pemotongan hukuman.
"Setelah mencermati 3 putusan yaitu putusan PK atas nama Irman Gusman, putusan kasasi atas nama Idrus Marham dan putusan kasasi atas nama pemohon, dalam 3 putusan itu mengandung perbedaan padahal ketiga terpidana sama-sama didakwa menerima sesuatu sebagai penyelenggara negara dengan pertimbangan tidak terkait dengan kewenangannya," ujar Sugiyono.
Pada Desember 2019, majelis hakim kasasi Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Idrus Marham. Hukuman mantan Menteri Sosial sekaligus eks Sekjen Golkar itu dipotong dari 5 tahun penjara menjadi 2 tahun penjara dalam kasus suap terkait proyek PLTU Riau-1.
Sementara pada September 2019, majelis PK Mahkamah Agung memotong vonis Irman Gusman dari 4,5 tahun penjara menjadi 3 tahun penjara. Irman merupakan terpidana kasus suap terkait kuota gula impor di Perum Bulog.
ADVERTISEMENT
Menurut Sugiyono, kedua putusan itu menyatakan Irman Gusman dan Idrus Marham tidak terbukti menerima suap.
"Dalam pertimbangannya, hakim mengatakan perbuatan Idrus dan Irman tidak terkait dengan ruang lingkup kewenangannya yang berakibat Idrus dan Irman tidak terbukti menerima suap tapi menerima gratifikasi sehingga putusan majelis kasasi terhadap pemohon tidak adil dan pemohon mengajukan PK," ucap Sugiyono menambahkan.
Kekeliruan mendasar hakim kasasi terhadap Luthfi Hasan menurut Sugiyono adalah pasal dasar putusan tidak berubah yaitu Pasal 12 huruf a UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
"Padahal perkara Idrus Marham, Irman Gusman, dan pemohon memiliki kemiripan yaitu sama-sama penyelenggara negara, punya kewenangan di bidang masing-masing, berinteraksi dengan pihak swasta dan sama-sama tidak memiliki wewenang dalam jabatan," ungkap Sugiyono.
ADVERTISEMENT
Menurut Sugiyono, Idrus Marham tidak berwenang untuk masalah kelistrikan dan Irman Gusman tidak berwenang untuk menerbitkan kuota impor gula. Luthfi Hasan pun dinilai tidak berwenang untuk kuota impor daging.
"Putusan Irman dan Idrus berbicara adanya pemberian uang langsung, tapi dalam putusan pemohon tidak menyinggung penerimaan langsung dari PT Indoguna Utama, namun menghasilkan putusan berbeda untuk Irman dan Idrus berubah dari pasal 12 menjadi pasal 11 sebaliknya pemohon tetap pasal 12 dan dari 16 tahun menjadi 18 tahun dengan rincian 10 tahun untuk korupsi dan 8 tahun untuk pencucian uang," papar Sugiyono.
Atas alasan tersebut, Sugiyono menilai putusan yang menyatakan Luthfi Hasan terbukti melakukan korupsi merupakan putusan yang menunjukkan kekhilafan dan kekeliruan nyata
ADVERTISEMENT
"Yaitu kekeliruan mempertemukan fakta dan hukumnya ketika majelis hakim pemohon menyatakan terbukti pasal 12 padahal seharusnya yang diterapkan ketentuan pasal 11 sebagaimana majelis PK Irman Gusman dan majelis kasasi Idrus Marham dan majelis PK pemohon harus membatalkan putusan terdahulu," ujar Sugiyono.
Terkait dengan perkara pencucian uang, Sugiyono menilai perbuatan pencucian uang yang didalilkan tidak sesuai dengan waktu penerapan UU TPPU.
"Wajib bagi penuntut umum untuk merinci detail tindak pidana yang diduga menjadi 'predicate crime' pencucian uang. Pemohon menilai pertimbangan hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi tidak memenuhi unsur tempus delicti tindak pidana asal sehingga hanya menjadi dugaan saja," ungkap Sugiyono.
Putusan kasasi dalam perkara pencucian uang Luthfi Hasan adalah berdasarkan pasal 3 ayat (1) huruf a, b, dan c serta pasal 6 ayat (1) huruf b dan c UU No. 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 tentang perubahan atas UU No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang jo pasal 65 ayat (1) KUHP.
ADVERTISEMENT
Pada 15 September 2014, majelis hakim kasasi Mahkamah Agung yang dipimpin oleh Ketua Kamar Pidana MA, Artidjo Alkostar, dan anggota majelis Hakim Agung M Askin dan MS Lumme memutuskan untuk menambah vonis Luthfi menjadi pidana penjara 18 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan ditambah dengan pencabutan hak politik.
Kasasi tersebut lebih berat dibanding dengan putusan Pengadilan Tinggi pada 25 April 2014 lalu yang hanya memutuskan agar Luthfi dipidana selama 16 tahun penjara dengan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.