Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sampai saat ini, PDIP merupakan satu-satunya partai yang berada di luar Koalisi Indonesia Maju Plus. Namun, kondisi ini bisa jadi tak bakal bertahan lama. Untuk itulah elite PDIP dan Gerindra bertemu. Dalam sesi di Senayan itu, Puan dan Said sebagai Ketua DPP PDIP mewakili partainya, sementara Dasco dan Muzani sebagai Ketua Harian dan Sekjen Gerindra mewakili Prabowo.
Pertemuan kali itu bukan kali pertama dan bukan pula satu-satunya, melainkan hanya salah satu dari rangkaian pertemuan confidential keduanya yang intens dilakukan selama beberapa bulan terakhir.
PDIP dan Gerindra terus mencari titik kesepakatan, termasuk melalui pembagian jatah kursi di kabinet hingga penggodokan rencana pertemuan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Ketua Umum Gerindra sekaligus presiden terpilih Prabowo Subianto.
PDIP Berpotensi Dapat 3-4 Kursi Menteri di Kabinet Prabowo
Komunikasi PDIP dan Gerindra bermula sejak beberapa bulan lalu. Gerindra mencoba mengakomodasi keinginan PDIP agar tak tersisa satu pun parpol yang berdiri sebagai oposisi pemerintahan Prabowo.
Posisi PDIP sebagai partai pemenang Pemilu 2024 dengan jumlah kursi 110 di DPR disebut membuat Prabowo ingin ikut merangkulnya demi mewujudkan pemerintahan yang kondusif ke depan. Semakin besar sokongan parpol, semakin baik.
Maka, Gerindra dan PDIP pun mengirim utusan untuk berkomunikasi. PDIP mengutus bendahara umumnya, Olly Dondokambey, dan tiga Ketua DPP-nya, yakni Said, Ahmad Basarah, dan Puan yang notabene putri Megawati. Sementara Gerindra mengirim Dasco dan Muzani yang kemudian aktif melaporkan hasil pertemuan tersebut kepada Prabowo.
“Insyaallah tidak ada yang tidak mungkin. [PDIP dan Gerindra] selalu berkomunikasi. Sejak selesai pemilu selalu berkomunikasi,” kata Puan, Selasa (24/9).
Dari rangkaian pertemuan tersebut, menurut sumber di internal parpol, PDIP dan Gerindra sudah mencapai kesepakatan terkait dua hal, yakni ihwal jatah kursi menteri untuk PDIP, serta momentum pertemuan Prabowo dan Mega.
PDIP disebut bakal mengisi 3–4 kursi menteri di kabinet Prabowo. Tiga nama yang mengemuka adalah Budi Gunawan yang disebut akan mengisi pos Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam), Abdullah Azwar Anas yang dikabarkan dipercaya kembali sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPANRB), serta Olly Dondokambey yang posisinya masih dirahasiakan.
Olly dan Azwar adalah kader PDIP, sedangkan Budi Gunawan—yang menjabat sebagai Kepala BIN semasa pemerintahan Jokowi—merupakan mantan ajudan Megawati saat Mega menjadi Presiden RI pada 2001–2004.
Selain jatah kursi, PDIP juga disebut meminta penguatan di sejumlah lembaga strategis lain seperti Badan Intelijen Nasional dan Kejaksaan. Artinya, pada lembaga-lembaga tersebut, PDIP berharap kader mereka dapat berperan atau mengisi posisi. Bila pun bukan kader PDIP, dapat diisi oleh tokoh-tokoh profesional yang “direstui” PDIP.
Terkait permintaan terakhir itu, menurut sumber, Gerindra belum mengiyakan. Sementara sumber lain di internal PDIP menyebut, kesepakatan dengan Gerindra yang telah tercapai tak bisa begitu saja berjalan, sebab semua tergantung restu Megawati sebagai pemegang hak prerogatif terkait sikap PDIP dalam pemerintahan ke depan.
Dasco dan Muzani disebut sebagai komunikator Prabowo yang baik. Sebab, sumber melanjutkan keduanya mendengarkan segala permintaan dan masukan dari parpol dan mencoba mengakomodasi, meskipun tidak seluruhnya.
Menurut sumber, bukan tak mungkin apa yang diinginkan Megawati berbeda dengan hasil lobi-lobi yang ada. Ini pernah terjadi sebelumnya, ketika lobi-lobi utusan partai yang sudah mencapai kata sepakat terpaksa kandas karena keputusan berbeda dari Megawati di akhir.
Contoh yang belum lama berlalu ialah proses pengusungan kandidat cagub oleh PDIP di Pilkada Jakarta 2024. Meski elite PDIP gencar mendekati Anies Baswedan yang sempat hendak dipasangkan dengan kader mereka, Rano Karno, namun di menit-menit akhir, Megawati balik badan dan batal bertemu Anies.
“Belum ada sinyal dari Ibu Ketua Umum. Tiga nama itu, baik Pak Budi Gunawan, Pak Azwar Anas, Pak Olly Dondokambey, [masuk kabinet atau tidak] menunggu keputusan dari DPP PDIP dan Ibu Ketua Umum,” kata Said, Kamis (3/10).
Usai pilpres, hubungan PDIP dan Gerindra agak berjarak. Pada Rakernas V PDIP akhir Mei, Megawati bahkan mengatakan partainya mementingkan checks and balances (prinsip saling kontrol antarlembaga negara). Ia juga meminta seluruh kader PDIP keluar dari zona nyamannya selama ini.
Pernyataan tersebut dianggap sebagai kode keras dari Megawati terkait posisi PDIP dalam pemerintahan ke depan sebagai oposisi. Megawati juga pernah mencurahkan isi hati soal partainya yang ditinggal sendirian dalam Pilkada 2024. Ia mengatakan sampai merenungkan hal itu. Mega merasa PDIP menjadi “musuh” bersama dan dikeroyok partai-partai lain dalam kontestasi pilkada.
Menanggapi ucapan Mega tersebut, Prabowo, pertengahan Agustus, berkata, “Saya tidak mengerti, ditinggal siapa, atau siapa meninggalkan siapa?”
Tap MPR Pembuka Jalan Rekonsiliasi Mega-Pro
Menurut sejumlah sumber, Prabowo sebenarnya sudah ingin merangkul PDIP sejak KPU menetapkannya sebagai presiden terpilih pada 24 April 2024. Rencana pertemuan Prabowo-Mega pun berembus, tapi belum juga terealisasi; diduga terkendala pengaruh Presiden Jokowi yang masih lekat pada Prabowo, sedangkan PDIP kini berseberangan dengan Jokowi yang dahulu pernah menjadi kader terbaik mereka.
Seiring waktu, jelang pelantikan Prabowo pada 20 Oktober mendatang, hubungan Gerindra dan PDIP kian cair. Prabowo mencoba mengambil hati Megawati, salah satunya ia disebut menginisiasi pencabutan Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Sukarno. Ini adalah harapan Mega sejak lama karena ia ingin membersihkan nama sang ayah dari tudingan bersekutu dengan PKI.
Maka, pada 9 September, dengan wajah semringah, Megawati bersama dua saudara lelakinya, Guruh dan Guntur Soekarnoputra; putra sulungnya, Prananda Prabowo; dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto bertandang ke Gedung MPR/DPR untuk mengambil salinan Ketetapan MPR yang menegaskan bahwa Bung Karno adalah pahlawan nasional yang bersih dari cacat hukum, tak terbukti tak setia terhadap NKRI, dan tak terbukti bersekutu dengan PKI.
Untuk memuluskan pencabutan Tap MPRS Nomor XXXIII/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Sukarno, pimpinan MPR yang juga Sekjen Gerindra, Ahmad Muzani, disebut diminta Prabowo membantu. Momen inilah yang menjadi pintu masuk membaiknya hubungan Megawati dan Prabowo.
Melalui Muzani, Prabowo pun menitipkan salam untuk Megawati. Keakraban Muzani dan Megawati juga terlihat dalam proses penyerakan salinan Tap MPRS yang baru. Megawati tampak memberikan perhatian dan saran kepada Muzani terkait kondisi kesehatannya.
“Kan Bu Mega sudah agak lama nggak berjumpa dengan saya, terus ngingetin, ‘Mas Muzani kok gemuk sekali.’ Jadi saya diminta mengurangi berat badan, menjaga kesehatan, dan mengurangi makan yang enak-enak supaya tidak terlalu gemuk,” ujar Muzani usai pertemuan itu.
Gerindra Dukung Puan Maharani Tetap Jabat Ketua DPR
Menghangatnya hubungan PDIP dan Gerindra kian terpancar kala Prabowo disebut meminta rencana revisi UU MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) tidak dilanjutkan. Sebelumnya, revisi UU MD3 dilancarkan karena kursi Ketua DPR yang strategis konon sempat diinginkan Gerindra. Melalui revisi UU MD3, formasi pimpinan DPR dapat diubah.
Semula revisi UU MD3 menyasar Pasal 427 D ayat (1) huruf b yang berbunyi, “Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR”.
Pasal tersebut membuat Ketua DPR sudah pasti berasal dari PDIP sebagai partai pemenang pemilu. Inilah yang ingin diubah melalui revisi UU MD3 yang hendak menentukan Ketua DPR berdasarkan voting. Namun, revisi tersebut batal atas titah Prabowo dan komunikasi intens PDIP-Gerindra.
Pada 1 Oktober 2024, usai pelantikan anggota DPR baru periode 2024-2029, Puan Maharani terpilih kembali menjadi Ketua DPR dengan mulus. Ia melanjutkan kepemimpinannya di periode keduanya, didampingi empat wakil, yakni Adies Kadir dari Fraksi Golkar, Saan Mustopa dari NasDem, Cucun Syamsurijal dari PKB, dan Sufmi Dasco Ahmad dari Gerindra yang juga kembali menjabat.
Pada hari yang sama sebelum Puan dilantik menjadi Ketua DPR, momen kebersamaannya dengan Prabowo sempat terlihat usai upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Saat turun dari mimbar upacara, Puan tampak berbincang akrab dengan Prabowo dan Jokowi.
Berikutnya, saat berjalan menuju Monumen Pancasila Sakti dan sumur Lubang Buaya, Puan bergeser ke samping Prabowo. Keduanya terus mengobrol hingga tiba di depan sumur, sementara Jokowi terlihat berjalan lebih dulu di depan mereka.
Pasang Surut Hubungan Megawati-Prabowo
Pasang surut hubungan Megawati dan Prabowo dalam perpolitikan Indonesia dapat dirunut ke tahun 2009. Kala itu, keduanya maju berpasangan sebagai capres-cawapres di Pilpres 2009 berhadapan dengan SBY-Boediono dan Jusuf Kalla-Wiranto. Hasilnya: Mega-Pro kalah dari SBY-Boediono.
Berikutnya pada Pilpres 2014 dan 2019, Megawati dan Prabowo pisah jalan. Megawati memilih mengusung kadernya, Jokowi, sebagai capres melawan Prabowo. Padahal Megawati dan Prabowo pernah menandatangani Perjanjian Batu Tulis pada 16 Mei 2009 yang salah satu poinnya adalah mengusung Prabowo sebagai presiden di Pilpres 2014.
Sikap Megawati ketika itu membuat Prabowo mengungkit Perjanjian Batu Tulis karena merasa dikhianati oleh Megawati yang sudah bersepakat dengannya di atas materai. Prabowo yang kemudian kalah dari Jokowi memutuskan menjadi oposisi, sementara hubungannya dengan Megawati merenggang.
Pada Pilpres 2019, Megawati kembali mengusung Jokowi untuk melanjutkan periode keduanya. Jokowi-Ma’ruf saat itu menang melawan Prabowo-Sandiaga Uno. Kali itu, Prabowo yang kalah lagi menempuh jalan berbeda. Ia menerima ajakan rekonsiliasi dari Jokowi dengan bergabung ke kabinet sebagai Menteri Pertahanan.
Takdir berliku hubungan Mega-Prabowo terlihat kembali pada Pilpres 2024 kala Jokowi dianggap berkhianat kepada Megawati dengan—secara tak langsung—menyokong Prabowo sebagai capres daripada mendukung Ganjar yang diusung PDIP.
Prabowo yang berpasangan dengan anak sulung Jokowi, Gibran, memenangi pilpres. Hubungannya dengan Megawati pun berjarak sebagai dampak perseteruan antara Mega dan Jokowi. Tak disangka, kini keduanya mencoba berbaikan.
Elite PDIP dan Gerindra kompak mengatakan Prabowo dan Megawati secara personal tidak memiliki masalah sehingga tidak ada hambatan bagi mereka untuk bertemu.
Megawati-Prabowo Sama-Sama Ingin Bertemu
Elite Gerindra dan PDIP terus mengupayakan terwujudnya pertemuan ketua umum mereka. Sumber internal parpol menyebut, sempat ada opsi pertemuan Megawati dan Prabowo akan digelar di Istana Batu Tulis, Bogor, yang merupakan tempat bersejarah bagi keduanya.
Opsi lokasi di Batu Tulis disebut datang dari PDIP. Hal tersebut tidak ditentang Gerindra meski Prabowo pernah dikhianati dalam Perjanjian Batu Tulis. Menurut Wakil Ketua Umum Gerindra Prasetyo Hadi, “Kita tidak boleh lihat ke belakang. Lihat ke depan.”
Sementara waktu pertemuan yang diusulkan salah satunya yakni Kamis, 17 Oktober, bertepatan dengan ulang tahun Prabowo.
Namun, opsi lain muncul ihwal lokasi dan waktu pertemuan Prabowo-Megawati, yakni di sebuah restoran di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, yang dianggap lebih netral, pada 19 Oktober atau sehari menjelang pelantikan Prabowo.
“Yang pasti, soal makanan sudah ditentukan,” kata Dasco terkait pertemuan Mega-Prabowo.
Di mana pun pertemuan berlangsung, menurut Puan, Prabowo dan Mega sudah sama-sama ingin bertemu. Senada, adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, mengatakan kakaknya sudah menanti selama dua tahun.
“Beliau berdua (Megawati dan Prabowo) sangat berkeinginan [bertemu],” kata Puan.
Pertemuan terakhir Megawati-Prabowo—yang bukan terkait acara kenegaraan—adalah pada 24 Juli 2019. Kala itu Prabowo menyambangi kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka berbincang sambil makan bersama selama 1,5 jam.
Pada pertemuan istimewa itu, salah satu menu yang dihidangkan adalah nasi goreng spesial racikan Megawati. Prabowo yang kerap disapa Megawati “Mas Bowo” ketika itu mengatakan sangat menyukai nasi goreng tersebut.
“Waktu itu Ibu Mega yang memasak dan Pak Prabowo sangat menyukai. Jadi mungkin juga menu nasi goreng akan ada lagi [dalam pertemuan mendatang,” kata Puan.
Apapun menunya, yang jelas pertemuan kedua tokoh politik itu bisa memengaruhi dinamika politik pasca-pelantikan presiden.
Prabowo Ingin Lepas Dari Bayang-Bayang Jokowi?
Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno berpandangan, rencana pertemuan dengan Megawati menunjukkan keinginan Prabowo untuk lepas dari bayang-bayang Jokowi dalam menentukan pemerintahannya ke depan.
Menurut Adi, Prabowo ingin menjadi presiden yang memiliki kewenangan penuh tanpa diintervensi pihak lain dalam mengambil keputusan.
“Prabowo makin menunjukkan dirinya sebagai presiden terpilih yang bisa mengakselerasi semua keinginan politiknya tanpa bayang-bayang siapapun,” tutur Adi.
Menurutnya, terdapat tiga hal yang menjadi pertimbangan PDIP dalam menerima uluran tangan Prabowo. Pertama, karena diminta langsung oleh Prabowo. Kedua, sebagai ancang-ancang panjang menuju Pemilu 2029. Ketiga, untuk mengakselerasi terwujudnya visi-misi Prabowo.
“Ini upaya konsolidasi politik yang sepertinya disiapkan betul oleh PDIP untuk lima tahun yang akan datang, karena kompleksitas persoalan politik lima tahun ke depan bisa jauh lebih serius,” kata Adi.
Meski disebut tidak dilibatkan dan tidak sreg dengan rencana pertemuan Megawati dan Prabowo, Jokowi berucap positif. Menurutnya, “Komunikasi antara tokoh-tokoh bangsa bisa menyambung untuk kemajuan negara dan kemajuan bangsa.”
Sementara pengamat komunikasi politik Universitas Brawijaya Anang Sujoko memiliki pandangan lain ihwal tujuan PDIP merapat ke Prabowo. Menurutnya, PDIP perlu menjadi bagian dari Prabowo untuk menekan dan meminimalkan peran Jokowi melalui Gibran di pemerintahan.
Anang melihat Prabowo seperti memberikan fasilitas kepada PDIP untuk ikut mengontrol peran Gibran. Apalagi, hubungan Megawati dan Jokowi sampai saat ingin masih panas meski Pemilu 2024 sudah berakhir.
“Ketika PDIP ada di dalam pemerintahan, itu kemungkinan bisa lebih dekat ke Prabowo untuk kemudian mengendalikan kekuatan Jokowi melalui anaknya itu. Kalau di luar, akan relatif sulit [mengontrol Jokowi],” tutup Anang.