Maorin hingga Judy, Panggilan Pedagang Asongan di Pantai Kuta Agar Diingat Turis

23 April 2022 11:12 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para pedagang acung yang mengerumuni wisatawan di Pantai Kuta, Bali, Jumat (22/4/2022). Foto: Denita BR Matondang/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Para pedagang acung yang mengerumuni wisatawan di Pantai Kuta, Bali, Jumat (22/4/2022). Foto: Denita BR Matondang/kumparan
ADVERTISEMENT
Keindahan alam matahari terbenam di Pantai Kuta, Badung, Bali, selalu menjadi pemandangan primadona saat berwisata di Pulau Dewata. Suasana memanjakan mata itu telah berhasil merebut perhatian para wisatawan.
ADVERTISEMENT
Di tengah pemandangan yang indah itu, ada sosok-sosok bertopi golf menjajakan dagangan. Mereka pedagang acung alias asongan yang mencari nafkah dari para wisatawan.
Seraya 'beradaptasi' dengan keindahan, cara mereka menjajakan dagangan pun dipoles sedemikian rupa sehingga memudahkan turis mengingat mereka. Yang ketara, ada nama panggilan yang tersemat di topi golf mereka. Bukan nama asli, tetapi nama beken yang mudah diingat.
Teknik marketing ini salah satunya diterapkan oleh Ni Nengah Mundel (60). Di topi yang dia kenakan, ada tulisan Maorin. Nama itu bukan sembarang, tetapi ada kisahnya. Nama itu diberikan kepada Mundel oleh seorang turis asal Australia yang pernah jadi pelanggannya.
Mundel tak begitu ingat nama turis itum namun sudah lebih dari 20 tahun nama panggilan Maorin dia gunakan dan telah melekat padanya.
ADVERTISEMENT
"Kalau sesama pedagang, sudah jarang manggil nama asli. Jadi namanya semua berubah saat sudah berada di Pantai Kuta,” kata Maorin alias Mundel, Kamis (21/4) sore.
Para pedagang acung di Kuta. Foto: Denita BR Matondang/kumparan
Tak hanya dirinya, hampir seluruh pedagang acung memiliki nama panggilan. Ada Sarah hingga Judy.
Bagi Mundel dan para acung di Pantai Kuta, nama beken ini menjadi sebuah berkah. Nama ini menjadi media promosi kepada turis asing yang ada di luar negeri dan di Kuta. Mereka jadi lebih mudah dikenal.
"Biasanya si turis itu bilang ke teman atau kenalannya kalau sudah di negaranya, "Kalau ke Pantai Kuta cari Maorin, beli gelang dari Maorin," kata Mundel.
Maorin menuturkan, pemberian nama beken ini bermula pada tahun awal tahun 1987. Saat itu, sebagian besar bule kesulitan mencari penjual langganan mereka.
ADVERTISEMENT
Ini karena sebagian besar penjual dipanggil dengan nama Bali seperti Wayan, Made, Kadek, Putu dan lain sebagainya. Hal ini dinilai menimbulkan persaingan tak sehat antar pedagang acung.
"Kalau dipanggil Nengah, banyak yang ngaku. Karena nama itu merupakan nama Bali. Makanya timbul lah ide dari wisatawan asing itu untuk memberi nama saya Maorin,” kata Mundel
Melalui nama beken itu, Mundel bahkan lebih mudah menjajakan dagangannya ke bule asal Australia atau Asia. Nama Maorin yang bernuansa Asia bak menumbuhkan kedekatan antara dirinya dengan turis.
Mundel dan seluruh pedagang acung lainnya sengaja membordir nama beken itu di topi mereka agar para bule cepat mengenali. Apalagi, jika hanya mengandalkan nama asli dan perawakan, para turis dianggap mudah lupa wajah mereka.
ADVERTISEMENT
"Berhubung sudah cukup lama, siapa tahu setelah pariwisata mulai bangkit, mereka datang lagi dan mengenali,” kata dia.
Para pedagang acung di Kuta. Foto: Denita BR Matondang/kumparan
Pedagang acung lainnya bernama I Made Toyo (63) bahkan memiliki dua nama bekan. Kaorichang dari turis Jepang dan Judy dari turis Australia.
Nama Kaorichang dia terima sebelum Bom Bali pada tahun 2002 meledak. Turis Jepang yang tak pernah member tahu nama aslinya itu pulang ke negaranya dan tak pernah muncul di Kuta.
Nama Judy diberikan oleh seorang turis Australia tak lama setelah dampak Bom Bali berakhir. Toyo berharap bisa mengingat nama turis Australia itu.
"Mereka kan lihat ada tulisan Kaoricang di topi saya, biasa kalau jualan kan pasti ngobrol-ngobrol dan saya jelaskan, tapi saya jarang pakai nama itu setelah Bom Bali II. Si bulenya kasih nama Judy setelah selesai ngobrol-ngobrol," kata dia.
ADVERTISEMENT
Para pedagang acung ini sejatinya sadar ingatan tak pernah stabil. la dengan mudah melayang terhempas angin pantai. Menulis nama beken pada topi adalah satu cara agar mudah diingat dan dikenang pelanggan.
Ada yang Senang, Ada yang Kesal
Wagub Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati. Foto: Denita BR Matondang/kumparan
Pedagang asongan di Pantai Kuta Bali kini tengah menjadi sorotan. Seorang turis asing curhat di media sosial diduga kesal dikerumuni pedagang acung. Identitas turis itu tak diketahui, tetapi ceritanya viral di media sosial.
Turis tersebut bahkan kapok datang ke Pantai Kuta karena diperlakukan buruk oleh para pedagang. Ia menyatakan tak ingin kembali berwisata ke Pulau Dewata.
Wagub Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati atau Cok Ace mengaku sudah mendengar sejumlah keluhan dari wisatawan asing mengenai keberadaan pedagang acung di Pantai Kuta.
ADVERTISEMENT
Cok Ace mengatakan, ada turis dari Australia yang dipaksa untuk membeli barang dagangan dari pedagang acung.
"Ya sudah saya dengar keluhan yang terjadi di (turis asal) Australia bahkan ada pemaksaan terhadap wisatawan dari penjual-penjual asongan dari sana," kata dia saat menghadiri apel persiapan mudik lebaran di Lapangan Renon, Kota Denpasar, Jumat (22/4).
Cok Ace memaklumi tindakan pedagang acung tersebut karena sepinya wisatawan selama pandemi COVID-19. Ia berharap baik masyarakat dan pelaku wisata dapat menghargai privasi wisatawan di objek-objek wisata.
Menparekraf Sandiaga Uno. Foto: Dok. Istimewa
Kabar ini juga sampai ke telinga Menparekraf Sandiaga Uno. Sandi punya cara unik untuk memberi solusi atas masalah tersebut. Sandi berencana mendiskusikan dengan pihak pedagang untuk memberikan pelatihan marketing kepada mereka.
ADVERTISEMENT
"Oleh karena itu video yang beredar itu sangat kami sayangkan tapi pastikan ini juga harus berempati kepada pelaku ekraf (ekonomi kreatif) dua tahun ini dalam kondisi yang sangat memprihatinkan," kata Sandi di Bali, Jumat (22/4).
"Oleh karena itu, kami akan berdiskusi membuka peluang untuk pelatihan cara marketing yang kekinian," kata dia.