Mardani Maming Didakwa Terima Suap Rp 118 Miliar, Begini Modusnya

10 November 2022 13:12 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tersangka kasus dugaan suap Mardani H Maming tiba untuk menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (25/8/2022). Foto: Asprilla Dwi Adha/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Tersangka kasus dugaan suap Mardani H Maming tiba untuk menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (25/8/2022). Foto: Asprilla Dwi Adha/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani Maming, didakwa menerima suap hingga ratusan miliar rupiah. Hal tersebut diungkapkan oleh jaksa penuntut umum (JPU) KPK dalam persidangan dengan agenda pembacaan dakwaan untuk Maming di Pengadilan Tipikor Banjarmasin.
ADVERTISEMENT
"Terdakwa telah menerima hadiah berupa uang dan barang secara bertahap [...] dengan total sejumlah Rp 118.754.731.752," bunyi dakwaan yang dibacakan jaksa KPK, Kamis (10/11).
Jaksa meyakini penerimaan uang terjadi sejak dari tanggal 20 Maret 2014 sampai dengan tanggal 17 September 2020 atau selama 6 tahun.
Suap itu diterima oleh Maming dari Henry Soetio (almarhum) selaku Direktur PT Prolindo Cipta Nusantara (PT PCN). Namun, pemberian dan penerimaan dilakukan tidak secara langsung.
Mardani Maming menerima melalui PT Trans Surya Perkasa (PT TSP) dan PT Permata Abadi Raya (PT PAR). Serta penerimaan uang secara tunai melalui Rois Sunandar (adik Mardani Maming) dan Muhammad Aliansyah
Sementara pemberian dilakukan oleh Henry Soetio melalui PT Angsana Terminal Utama dan PT Prolindo Cipta Nusantara (PT PCN). Transaksi juga dilakukan seolah-olah seperti relasi bisnis.
ADVERTISEMENT
Suap tersebut diberikan karena Maming telah menyetujui pelimpahan lzin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batubara PT Bangun Karya Pratama Lestari Nomor 545/103/IUPOP/D.PE/2010 kepada PT PCN milik Henry.
Padahal peralihan itu melanggar ketentuan Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang bertentangan dengan kewajibannya yaitu bertentangan dengan kewajiban Maming selaku Penyelenggara Negara.
Akibat perbuatannya, dia didakwa dengan Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Juncto Pasal 18 UU Tipikor.

Profil Bisnis Mardani Maming

Tokoh HIPMI, Mardani Maming. Foto: Instagram/@mardani maming
Sebelum menjadi bupati, Maming merupakan seorang pengusaha di Tanah Bumbu. Dia pemilik CV Bina Usaha yang berubah nama menjadi PT Batulicin Enam Sembilan. Susunan pengurusnya Erwinda istri Maming selaku komisaris dan Rois Sunandar selaku adik kandungnya.
ADVERTISEMENT
Perusahaan tersebut punya enam anak perusahaan yakni: PT Trans Surya Perkasa (TSP), PT Permata Abadi Raya (PAR), PT Batulicin Nusantara Maritim, PT Bina Karya Putra Batulicin, PT Reski Batulicin Transport dan PT Batulicin Enam Sembilan Security.
Nama-nama pengurus dan anak perusahaan di atas, akan banyak berperan dalam konstruksi kasus Maming.
Sementara pihak pemberi suap, Henry Soetio merupakan pemilik PT Lestari Cipta Persada (LCP) dan memiliki anak perusahaan PT Asri Mining Resources (AMR), PT PCN dan PT Angsana Terminal Utama yang bergerak di bidang pertambangan dan pelabuhan.
Ilustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Shutterstock

Kronologi Kasus

Pada 29 April 2010, Maming menerbitkan izin usaha IUP OP PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL). Namun di tahun yang sama, Henry memiliki keinginan melakukan kegiatan pertambangan dengan cara mengambil alih kawasan lahan tambang milik PT BKPL.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Henry melalui perantara Suroso Hadi Cahyo dan Idham Chalid melakukan pertemuan dengan Andi Suteja selaku pemilik PT BKPL, pada pertemuan itu, disepakati Henry akan mengambil alih IUP OP PT BKPL dengan membayar Rp 40 miliar.
Pembayaran pun dilakukan secara bertahap hingga mencapai Rp 30 miliar. Setelahnya, Henry menemui Maming dan menyampaikan keinginan untuk investasi tambang di Tanah Bumbu dan meminta bantuannya untuk pengurus peralihan izin di atas.
Selain itu, Henry meminta Maming mengurus izin lokasi pembangunan pelabuhan yang bertujuan untuk memfasilitasi bongkar muat batubara milik PT PCN ketika nantinya sudah beroperasi. Maming kemudian menyampaikan hal itu akan dibantu oleh Raden Dwijono Putrohadi Sutopo selaku Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah Bumbu.
ADVERTISEMENT
Sementara untuk pengurusan perizinan pembangunan pelabuhan milik PT PCN akan dilakukan oleh orang-orang dekat Maming dan sebagai imbalannya Henry diminta untuk menyerahkan fee saat PT PCN sudah berproduksi atau beroperasi.
Ilustrasi tambang. Foto: Shutter Stock
Pada 21 Februari 2011, Henry mendirikan PT ATU di Batulicin sebagai perusahaan khusus di bidang pelabuhan yang mengelola pengangkutan dan penjualan hasil tambang PT PCN. Susunan kepengurusannya diisi orang dekat Maming:
Pada 8 April 2011, Maming menandatangani izin lokasi untuk pelabuhan terminal umum seluas 39,5 hektare di Kecamatan Loban untuk PT ATU. Selanjutnya terbit surat keputusan dari Menteri Perhubungan tentang persetujuan pengelolaan terminal itu untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan PT ATU.
ADVERTISEMENT
Kembali ke pengalihan izin IUP OP PT BKPL kepada PT PCN, dalam prosesnya dilakukan konsultasi ke Bagian Hukum Ditjen Minerba di Jakarta.
Hasilnya, Fadli Ibrahim selaku Kepala Bagian Hukum Ditjen Minerba menyampaikan pengalihan izin itu tidak boleh dilakukan. Karena melanggar Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Raden Dwijono Putrohadi Sutopo kemudian menyampaikan itu kepada Maming. Respons Maming, tetap meminta proses itu dilanjutkan, dengan berkata:
"Sudahlah Pak Dwi di proses saja karena pemberian perizinan dari pemerintah kepada pihak swasta merupakan suatu kebijakan sehingga bila terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang undangan yang berlaku itu ranahnya Tata Usaha Negara yang mana itu pak Dwi kalo terjadi kesalahan paling fatal paling hanya pencabutan terhadap perizinan yang kita terbitkan."
ADVERTISEMENT
Raden Dwijoyo pun menuruti perintah Maming. Dalam prosesnya, Maming meminta dipercepat. Bahkan Maming sempat marah kepada Raden Dwijoyo, yang disampaikan melalui Buyung Rawando Dani.
"Padahkan lawan Pak Dwi, yang permohonan pengalihan IUP dari PT BKPL ke PT PCN Lakasi!' yang artinya 'Sampaikan ke Pak Dwi, yang permohonan pengalihan IUP dari PT BKPL ke PT PCN, cepatkan'," kata jaksa KPK.
Kemudian pada Juli 2011, izin perpindahan tersebut pun diteken oleh Dwi hingga Maming, dalam bentuk surat keputusan bupati.
Tersangka kasus dugaan suap Mardani H Maming tiba untuk menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (25/8/2022). Foto: Asprilla Dwi Adha/ANTARA FOTO
Setelah surat tersebut terbit, dilakukan restrukturisasi pengurus di PT ATU sebanyak 2 kali. Pertama, Rois Sunandar yang semula menjabat Komisaris Utama, diganti dengan Muhammad Aliansyah (pegawai Maming) dengan kepemilikan saham tetap 80 persen. Sementara komisaris dan direktur lainnya tetap sama.
ADVERTISEMENT
Perubahan kedua, saham sebanyak 70 persen dari PT ATU dialihkan ke PT PCN. Sementara Muhammad Bahruddin selaku komisaris hanya memegang saham 10 persen dari Muhammad Aliansyah. Sehingga Bahruddin punya 30 persen saham. Selain itu, Henry diangkat sebagai direktur di PT ATU.
Pada Juli 2013, dibentuk PT TSP yang bergerak di bidang jasa pengelolaan pelabuhan dengan pengurus Muhammad Bahruddin selaku komisaris daan Muhammad Aliansyah selaku direktur. Lalu dibentuk juga PT PAR yang bergerak di bidang pembangunan, perdagangan dan perindustrian, pengangkutan pertanian dan jasa dengan kepengurusan Muhammad Bahruddin selaku komisaris dengan saham 75 persen dan Wawan Surya selaku direktur dengan saham 25 persen.
Perusahaan-perusahaan itu dibangun untuk menunjang kinerja dari PT PCN dalam memproduksi tambang.
ADVERTISEMENT
Pada 2014, IUP OP PT PCN sudah berproduksi. Kemudian PT ATU kembali direstrukturisasi dengan memasukkan PT TSP menjadi seolah-olah memegang saham 30 persen. Kemudian Maming juga meminta fee kepada Henry karena PT PCN sudah beroperasi.
Kemudian, PT TSP yang merupakan milik Maming menerima fee secara bertahap dari Henry melalui PT ATU melalui transfer bank maupun tunai ke Rois Sunandar dan Muhammad Aliansyah.
"Penerimaan fee tersebut dari tanggal 20 Maret 2014 sampai dengan tanggal 10 Juli 2014 dengan total sejumlah Rp 13.618.000.000," kata jaksa KPK.
Ilustrasi KPK. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Penerimaan fee selanjutnya, pada 20 Agustus 2014-Desember 2015 dibuat seolah-olah ada pembagian hasil keuntungan usaha jasa pelabuhan PT ATU kepada PT TSP. Nilainya mencapai Rp 47.244.592.202.
ADVERTISEMENT
Penerimaan selanjutnya melalui perusahaan Maming lainnya yakni PT PAR. Modusnya sama, yakni seolah-olah ada bagi keuntungan kerja sama bisnis dengan PT PCN pada 1 Januari 2016 hingga 26 Februari 2016 dengan nilai Rp 32.650.000.000.
Pada 2018, Maming mundur dari jabatannya tetapi penerimaan fee tetap berlanjut.
Pada 15 Mei 2019, Maming melalui PT PCN kembali menerima fee dari Henry sebesar Rp 6.450.000.000 yang merupakan pembagian keuntungan atas jasa kegiatan penunjang usaha pelabuhan PT PCN dengan PT PAR.
Pada 10 September 2019, Maming menempatkan diri sebagai komisaris di perusahaannya yakni PT Batulicin Enam Sembilan. Henry kemudian menyatakan tidak bersedia lagi membayar fee kepada Maming yang sudah tidak menjabat bupati. Maming kemudian meminta bantuan Junaidi selaku kuasa hukum PT PCN untuk mengurus agar Henry mau tetap menyerahkan fee.
Ilustrasi uang sitaan KPK. Foto: Instagram/@official.kpk
Pada April 2020, dibuat seolah ada perjanjian pembagian keuntungan kegiatan PT PCN kepada PT PAR. Perjanjian itu akan memberikan fee Rp 5.000/metrik ton hasil tambang PT PCN kepada PT PAR dan kepada Suroso Hadi Cahyo sebesar Rp 400 juta per bulan.
ADVERTISEMENT
Setelah perjanjian itu, Maming kemudian menerima fee lagi dari Henry sebesar Rp 18.792.139.550 pada 26 Juni 2020 hingga 17 September 2020.
"Bahwa Terdakwa telah menerima hadiah berupa uang fee secara bertahap dengan cara ditransfer melalui PT TSP dan PT PAR dan penerimaan uang tunai melalui Rois Sunandar dan Muhammad Aliansyah dari Henry Soetio melalui PT ATU dan PT TSP dengan total seluruhnya sejumlah Rp 118.754.731.752," kata jaksa.
"Bahwa selain penerimaan fee dalam bentuk uang, Terdakwa juga menerima hadiah dalam bentuk barang berupa 3 buah jam tangan," sambung jaksa. Jam itu dengan merek Richard Mille.