Masa Kejayaan Agen Koran: Raup Untung Rp 9 Juta Per Bulan di Tahun 98

8 November 2018 12:00 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mengenang Detak Media Cetak. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mengenang Detak Media Cetak. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
“Saya umrah dulu, ya alhamdulillah, saya mensyukuri rezeki dari Allah. Alhamdulilah-nya tuh saya berangkat, yang dari merantau enggak punya, terus saya bisa punya rumah, bisa bantu saudara-saudara, bisa bantu tetangga-tetangga,” ujar Sutio.
ADVERTISEMENT
Seperti roda, hidup terus berputar. Di zaman sekarang ini, koran tidak lagi menjadi primadona. Akses informasi bisa dengan mudah didapat dalam telepon genggam. Hal ini ikut dirasakan oleh Sutio.
“2013 itu sudah mulai sedikit-sedikit (menurun), mulai dengan adanya android. Dengan mulai adanya android itu, sudah mulai berkurang,” kata Sutio.
Baginya, penjualan sekarang jadi sering kurang, terkadang ia harus menutupi kekurangan gaji loper. Ditambah terkadang ada saja loper yang tak memberikan setoran.
“Ya kalau saat-saat ini sudah mulai berkurang, bahkan kadang-kadang ya minus, karena minusnya tuh saya musti buat nutupin loper. Loper itu kan ada yang nakal juga, yang nggak memulangkan setoran,” ungkapnya.
Tak hanya pelanggan, jumlah loper yang ia punya juga ikut berkurang. “Di tahun 2010 itu loper saya ada 35 orang. Sekarang tinggal 15 orang,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Berbeda ketika media cetak masih berjaya, untuk saat ini Sutio hanya bisa mendapat setengahnya. Namun Sutio tidak menyerah begitu saja, ia tetap akan menjaga pelanggan setianya.
“Yang penting sekarang masih bisa merawat, menjaga pelanggan-pelanggan. Penerbit sendiri sudah kewalahan lah, karena dengan era yang seperti ini,” kata Sutio. Di masa jayanya, media cetak menjadi yang paling banyak dipilih masyarakat untuk mencari berbagai informasi. Industri koran, majalah, dan tabloid juga sedang hebat-hebatnya.
Jayanya Industri media cetak tak lepas dari peran agen dan loper. Mereka bekerja untuk mengantarkan koran dari penerbit hingga sampai ke tangan pembaca.
Agen media cetak di Jalan Pondok Gede, Jakarta Timur. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Agen media cetak di Jalan Pondok Gede, Jakarta Timur. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Misalnya saja, di tahun 90-an hampir setiap rumah berlangganan koran atau majalah. Bahkan pedagang koran eceran di stasiun, terminal, dan pinggir jalan selalu ramai didatangi pembeli. Bahkan ketika sudah masuk bus pun, masih ada pedagang koran, dan ada saja yang membelinya.
ADVERTISEMENT
Masa kejayaan itu berbanding lurus dengan keuntungan yang didapatkan. Seperti kisah yang diceritakan oleh Sutio, pemilik agen koran. Sutio meniti usahanya dari menjadi loper koran pada 1986.
Setiap hari Sutio mengayuh sepeda belasan kilometer, berkeliling dari rumah ke rumah untuk mengantarkan koran. Teriknya matahari hingga derasnya hujan sudah jadi makanan sehari-hari Sutio kala itu.
“Saya waktu dulu enggak naik motor, saya awalnya cuma naik sepeda. Saya setiap hari itu ya Allah, setiap hari saya ngegowes sepeda, saya nganter (koran) ke rumah-rumah,” jelasnya saat ditemui kumparan, Jumat (2/11).
Empat tahun berkerja sebagai loper koran, Sutio akhirnya memahami cara kerja agen dan memilih untuk membuka usaha agen koran sendiri di tahun 1990.
ADVERTISEMENT
Dia mendapat kepercayaan dari penerbit, dan menurutnya untuk membuka agen koran buka suatu hal yang mudah. Bukan hanya mempunyai modal, tapi juga harus tahu pasar.
Sutio, pemilik agen koran (Foto: Cornelius Bintang)
zoom-in-whitePerbesar
Sutio, pemilik agen koran (Foto: Cornelius Bintang)
“Awalnya jadi agen itu nggak gampang. Dulu nggak harus orang punya duit terus diangkat jadi agen, nggak. Tapi dilihat dari wilayah perkembangan. Perkembangan di Tangerang tahun 1990 itu cukup signifikan. banyak perumahan-perumahan yang mulai dibangun,” katanya.
Dengan kerja keras Sutio, dia bisa mengembangkan agennya ke beberapa wilayah seperti BSD, Alam Sutera, dan Lippo Karawaci.
Saat itu persaingan agen media cetak, belum sengit. Sebab banyak yang menganggap koran adalah usaha kecil-kecilan.
Seiring berkembangnya bisnis koran dari tahun ke tahun, sudah mulai banyak orang melirik usaha agen koran, persaingan pun menjadi sengit.
ADVERTISEMENT
“Kalau dulu setiap orang pindah rumah itu pasti berlangganan koran. Dan dulu pesaing belum banyak. Orang menganggap koran itu, ah hanya mungkin kecil lah begitu. Tapi berjalannya waktu 1995, mulai persaingan ketat antara agen dengan agen,” ucapnya.
Sutio bercerita pernah mengalami masa-masa kejayaan media cetak. Selama belasan tahun Sutio merasakan nikmatnya keuntungan dari usaha agen koran.
“Saya mulai enak-enaknya itu di tahun 97, 98, 99, 2000 sampe 2010 tuh, alhamdulilah tuh, yaitu saya mulai benar-benar itu, wah nikmat benar bisnis koran itu,” katanya.
Di tahun-tahun itu pula dia bisa mendapat keuntungan belasan juta, tapi nominal itu masih dipotong untuk gaji loper dan putar modal pengembangan agennya.
“Keuntungan paling tinggi, yaitu di tahun 98, itu saya sudah bisa dapat untung, sebulannya Rp 5 juta. Saya juga dapat bonus juga dari penerbit-penerbit, itu sudah bersih sekitar Rp 9 jutaan sebulan, itu udah bersih,” ungkap Sutio.
ADVERTISEMENT
“Di tahun-tahun itu saya keuntungan tuh bisa sampai Rp15 juta per bulan, itu bersih. Mungkin ya dipotong dengan biaya hidup, bersih-bersihnya sekitar bisa ngantongin Rp9 juta lah sebulan, itu sudah bersih. Karena saya juga dapat bonus-bonus juga dari penerbit-penerbit, itu sudah bersih sekitar Rp9 jutaan,” tambahnya.
Warga memilih membaca media online. (Foto: aditia noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Warga memilih membaca media online. (Foto: aditia noviansyah/kumparan)
Keuntungan sebanyak itu di tahun 90-an, sudah menjadi angka yang fantastis bila dibandingkan dengan Upah Minimum Regional/Provinsi (UMR/UMP) pada masa itu. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Upah Minimum Regional/Provinsi (UMR/UMP) Jawa Barat pada 1998 adalah Rp 176.800, UMP di Tangerang, Banten, pada 1998 berkisar Rp 176.800 dan di DKI Jakarta Rp 198.500.
Dengan keuntungan yang besar saat itu, Sutio bisa beribadah umroh dan mendaftar haji. Dia juga bisa membantu banyak orang-orang di lingkungannya.
ADVERTISEMENT
Sutio sadar, mau tidak mau dia harus mengikuti perkembangan zaman. Walaupun masih semangat menjual koran, dia tetap harus menyiapkan alternatif bisnis lain agar bisa menyambung hidup.
“Saya sih masih optimis ya koran tuh, (meskipun) ya pasti surut pasti berkurang dengan adanya internet seperti ini. Sekarang saya mulai merintis ya belajar bikin kontrakan kecil-kecilan,” turtur Sutio.
Simak cerita nostalgia para penikmat media cetak dalam konten spesial dengan topik Riwayat Media Cetak.