Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Masihkah Ada Harapan Publik Menang bila Gugat KUHP di MK?
8 Desember 2022 10:32 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
RKUHP telah disahkan menjadi UU. Namun masih ada pasal-pasal karet yang dinilai tak layak seperti soal penghinaan pejabat hingga soal berisik mengganggu tetangga bisa didenda Rp 10 juta.
ADVERTISEMENT
Menkumham Yasonna Laoly 'menantang' dan mempersilakan pihak-pihak yang ingin menggugat KUHP di MK. Ia yakin pasti ditolak.
Bahkan Komisi III sudah memberhentikan hakim Aswanto. Ketua Komisi III Bambang Pacul mengungkap DPR kecewa karena Aswanto kerap tak meloloskan produk-produk DPR seperti UU.
Meski ia tak menjelaskan produk DPR mana saja yang dimaksud. Namun ini juga menjadi pertanda kurang baik.
"Tentu mengecewakan dong. Ya gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Kan gitu toh. Kalau kamu usulkan seseorang untuk jadi direksi di perusahaanmu, kamu owner, itu mewakili owner kemudian kebijakanmu enggak sesuai direksi, owner ya gimana? Kan kita dibikin susah," kata Pacul beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Lantas, masih ada kah harapan bagi publik meraih kemenangan ketika menggugat ke MK?
Ahli hukum pidana Fathillah Akbar berpendapat bahwa poin penting dalam pengajuan gugatan KUHP ini adalah bagaimana MK memandang undang-undang tersebut.
“Kalau menurut saya sih memang kan saya sudah sampaikan tuh bahwa memang di sini itu bukan pelaksanaannya tapi bagaimana pandangan MK, gitu,” ujarnya pada Kamis (8/12).
“Pandangan MK terhadap KUHP ini seperti apa itu yang paling penting jadi memang yang jadi perdebatan. Tentang apakah MK bisa diharapkan, contoh kayak Aswanto kemarin menolak cipta kerja kemudian dia diberhentikan juga dan sebagainya,” lanjutnya.
MK harus membuktikan melihat UU secara jernih. Tak ada unsur politis.
“Kali ini ada yang masuk duluan terhadap KUHP itu akan menjadi pembelajaran. ‘Oh ternyata MK menerima nih, oh ternyata MK menolak nih’. Nah itu yang menjadi poin pentingnya apakah kira kira kita bisa berharap dengan MK,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
“Jadi menurut saya itu harus menunggu juga Judicial Review dulu dan melihat posisi Mahkamah Konstitusi terhadap setiap permohonannya,” ucap dia.
Sementara itu ahli hukum pidana lainnya dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar, tak bisa memprediksi juga. Harus dilihat materi gugatannya.
“Ya itu kan soal prediksi, soal keyakinan. Belum bisa dibuktikan,” ujarnya.
Menurutnya, pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi merupakan jalur hukum yang harus ditempuh agar KUHP dapat ditinjau kembali.
“Nah jalannya 2 kan, jalan politik itu melalui DPR, melalui wakil rakyat untuk mengubah undang-undang yang memang tidak sesuai, gitu jalan politik,” terang Abdul Fickar.
“Jalan hukumnya ya menggugat ke MK, biar bisa direview. Supaya MK meninjau lagi ini sesuai enggak dengan kehidupan masyarakat, sesuai enggak dengan kepentingan rakyat?” tutur dia.
ADVERTISEMENT
Meski sudah diketok, KUHP yang dinilai mengandung beberapa pasal karet itu baru akan berlaku tahun 2025. Ketentuan itu tertuang langsung dalam KUHP Pasal 624:
"Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan."
Saat ini, DPR punya waktu 7 hari untuk menyerahkan RKUHP yang sudah disahkan di paripurna kepada Presiden Jokowi untuk dibubuhi tanda tangan. Jika dalam 30 hari tak diteken Jokowi, maka UU itu otomatis berlaku.
"Karena itu kita menunggu dalam waktu 3 tahun ini sangat mungkin akan ada banyak judicial review pengujian terhadap pasal-pasal tertentu ke MK yang diajukan oleh masyarakat," tuturnya.
Berikut beberapa pasal-pasal kontroversial dalam KUHP:
1. Penghinaan Terhadap Presiden hingga Lembaga Negara
ADVERTISEMENT
Pasal penghinaan terhadap pemerintah yang mencakup presiden, wapres, menteri hingga MA, MK, MPR, DPR, dan DPD tertuang dalam Pasal 240. Setiap orang yang menghina presiden hingga DPR tersebut terancam 1 tahun 6 bulan pidana.
Sementara dalam Pasal 241, setiap orang yang menyebarkan penghinaan terhadap pemerintah melalui medsos dapat terancam 3 tahun bui. Pasal ini merupakan delik aduan sehingga hanya dapat dilaporkan oleh yang dihina. Ketentuan ini dinilai dapat mengancam kebebasan berpendapat atau demokrasi.
2. Menyerang Harkat Martabat Presiden dan Wapres
Lain dengan penghinaan, serangan terhadap pribadi presiden dan wapres diatur dalam Pasal 218 dan 219. Orang yang menyerang harkat dan martabat presiden serta wapres dapat dipidana 3 tahun penjara, adapun 4 tahun apabila melalui medsos.
ADVERTISEMENT
Ini juga merupakan delik aduan, sehingga hanya dapat dilaporkan oleh yang dihina. Pasal ini juga dinilai dapat mengancam kebebasan berpendapat atau demokrasi.
3. Pidana Unjuk Rasa Tanpa Pemberitahuan
Menurut Pasal 256, orang yang melakukan demonstrasi atau pawai dapat dipidana 6 bukan penjara. Pasal ini juga dinilai sejumlah pihak dapat mengancam demokrasi.
4. Hukuman Mati
Aturan tentang hukuman mati tercantum dalam draf RKUHP yakni Pasal 67, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101, serta Pasal 102. Pasal ini ditolak sejumlah pihak karena mengancam HAM.
5. Pidana Perzinahan dan Kumpul Kebo
Menurut Pasal 411, orang yang melakukan zina dapat dipidana penjara selama 1 tahun. Sementara menurut Pasal 412, orang yang tinggal bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dapat dipenjara selama 6 bulan.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Pasal 411 dan 412 masuk ke dalam delik aduan. Perbuatan zina dan kumpul kebo hanya dapat dilaporkan oleh istri/suami sah kepada pasangannya yang berzina atau kumpul kebo, serta oleh orang tua dan anak.
Artinya, pelaku dapat dipidana hanya apabila diadukan oleh keluarga yang bersangkutan tersebut. Namun, pasal ini dinilai sejumlah pihak terlalu menyangkut ranah pribadi.
6. Pidana Berita Bohong
Menurut Pasal 263, setiap orang yang menyebarkan berita bohong dapat dipidana hingga 6 tahun penjara. Sementara orang yang menyebarkan berita berlebihan dapat terancam 2 tahun bui. Pasal ini dinilai dapat mengancam kebebasan berpendapat dan pers.