Masyarakat Pesisir Papua Barat Manfaatkan Mangrove: Cari Kepiting hingga Udang

20 Desember 2020 22:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mangrove di Kampung Air Besar, Fakfak, Papua Barat. Foto: Agaton Kenshanahan
zoom-in-whitePerbesar
Mangrove di Kampung Air Besar, Fakfak, Papua Barat. Foto: Agaton Kenshanahan
ADVERTISEMENT
Siapa yang mengira jika hutan mangrove (bakau) terluas secara nasional ada di Papua Barat? Berdasarkan data Conservation International Indonesia (CII), luasan mangrove di Provinsi tersebut mencapai 482.029 hektare dari total 3,49 juta hektare mangrove di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Biasanya masyarakat mengenal fungsi mangrove sebagai penyangga pantai dari abrasi laut. Selain itu ia juga dapat berperan sebagai penyimpan karbon biru dalam ekosistem pesisir yang dapat berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim.
Tak kalah penting, kelangsungan ekosistem mangrove dapat dimanfaatkan juga untuk pengembangan kesejahteraan masyarakat. Laporan Ekspedisi Mangrove Yayasan Econusa menguak bagaimana masyarakat pesisir di Papua Barat memanfaatkan mangrove.
Apa saja bentuk pemanfaatan mangrove tersebut?

Mencari Kepiting Bakau

Kepiting bakau berukuran jumbo merupakan salah satu bagian dari ekosistem mangrove di papua. Nelayan sejumlah desa di pesisir Papua Barat biasanya memasang perangkap pagi hari, lalu mengambilnya di sore hari untuk menangkap kepiting bakau ini.
Di Kampung Air Besar, Kabupaten Fakfak, hasil tangkapan kepiting bakau 1 ekor bisa dihargai Rp 50-100 ribu, yang mana bobot per ekornya rata-rata sebesar 1 kg. Lain lagi di kampung Mandoni, Fakfak, yang dijual Rp 80 ribu per kg.
ADVERTISEMENT
“Nilai (harga kepiting) ini merupakan ambang batas terendah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Dalam seminggu, masyarakat Mandoni dapat menjual sekitar 300-500 kg kepiting,” tulis para peneliti dalam laporan Ekspedisi Mangrove Papua Barat itu.
Kepiting bakau. Foto: Azalia Amadea/Kumparan
Biasanya, hasil tangkapan kepiting bakau di Mandoni akan dikumpulkan dulu di Fakfak. Barulah hasilnya akan dikirim ke berbagai kota besar di Indonesia seperti Surabaya, Ambon, Jambi, hingga Makassar.
Nelayan kepiting tak hanya didominasi pria, akan tetapi para ibu-ibu juga turut aktif menangkap kepiting. Sejumlah warga bahkan berhasil membiayai anaknya kuliah di luar kota dengan usaha menjual kepiting bakau.

Mencari Ikan dan Udang

Masyarakat pesisir Papua Barat memanfaatkan sumberdaya ikan dari ekosistem mangrove dengan cara menangkapnya dengan menggunakan tangan atau dengan menggunakan alat penangkapan ikan. Namun, tidak semuanya menjadikan menangkap ikan sebagai mata pencaharian utama.
ADVERTISEMENT
Untuk mencapai daerah penangkapan ikan warga berjalan kaki maupun menggunakan perahu. Waktu untuk menangkap ikan dapat dilakukan pada malam hari maupun disaat terang. Ikan yang ditangkap dikonsumsi oleh masyarakat untuk kebutuhan rumah tangga atau dijual kepada warga kampung serta supplier ikan setempat.
Susi Pudjiastuti angkat ikan kakap merah. Foto: Ahmad Romadoni/kumparan
Di Kampung Kambala, Fakfak, dan Wailebet, Raja Ampat, ikan yang sering ditangkap adalah ikan kakap merah. Di beberapa kampung lain, ikan ditangkap hanya untuk dijadikan umpan menangkap kepiting bakau, seperti ikan Sembilang.
Selain ikan, udang juga menghuni ekosistem sekitar mangrove dan dapat dimanfaatkan masyarakat. Di Kampung Air Besar, Fakfak, aktivitas penangkapan udang memiliki musimnya sendiri.
“Untuk udang, hasil tangkapan juga dijual ke pasar di Fakfak; di mana musim penangkapan udang bagi masyarakat biasanya ada di periode Oktober-Desember tiap tahunnya,” jelas laporan yang ditulis oleh Dean Affandi dkk itu.
ADVERTISEMENT
Tak cuma memanfaatkan, masyarakat juga turut melestarikan dengan cara memberlakukan pembatasan penangkapan. Misalnya, masyarakat Kampung Sidomakmur, Teluk Bintuni, tidak menangkap atau menjual udang yang berukuran kecil.

Mencari Ulat Bakau

Salah satu pemanfaatan ekosistem bakau Papua Barat yang unik adalah dengan mencari ulat bakau. Hewan yang dikenal masyarakat setempat dengan sebutan tambelo itu berbentuk seperti cacing.
Tambelo biasanya ditangkap dari kayu bakau yang sudah lapuk, dan terendam di dalam tanah. Masyarakat Kampung Modan, Teluk Bintuni, biasanya menjual tambelo seharga Rp 10 ribu per kantong.
Peneliti Balitbangda Papua Barat Ezrom Batorinding (kiri) memotret daun mangrove. Foto: Agaton Kenshanahan

Kayu Bakau

Masyarakat Kampung Air Besar, Fakfak, memanfaatkan kayu mangrove untuk berbagai keperluan, seperti kayu bakar, hingga untuk dijual. Bahkan, pembangunan gereja di kampung tersebut menggunakan kayu bakau.
ADVERTISEMENT
“Satu meter kubik kayu bisa dihargai sebesar 200 ribu rupiah. Lokasi pengambilan kayu mangrove antara lain di dekat dermaga kampung,” terang para peneliti Ekspedisi Mangrove.
Masyarakat mengambil kayu dari mangrove sebagai alternatif pengambilan kayu dari hutan alam. Sebab, masyarakat menganggap apabila pohon hutan alam ditebang maka akan butuh waktu lama untuk proses penghijauan-nya dan itu akan berdampak ke sumber air masyarakat.
Mangrove di Kampung Air Besar, Fakfak, Papua Barat. Foto: Agaton Kenshanahan