Masyarakat Sipil Nilai Maklumat Kapolri Batasi HAM, Minta Poin 2d Dicabut

2 Januari 2021 15:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kapolri Jenderal Pol Idham Azis saat menggelar video conference dengan para Kapolda bahas Pilkada Serentak 2020. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Kapolri Jenderal Pol Idham Azis saat menggelar video conference dengan para Kapolda bahas Pilkada Serentak 2020. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Maklumat Kapolri Jenderal Idham Azis nomor: Mak/1/I/2021 tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI), tertanggal 1 Januari 2021, menuai kritik.
ADVERTISEMENT
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari ELSAM, ICJR, LBH Pers, PSHK, YLBHI, LBH Masyarakat, KontraS, PBHI, IMPARSIAL, menilai maklumat tersebut membatasi hak asasi, bahkan melanggar konstitusi. Diketahui maklumat tersebut berisi terkait larangan aktivitas serta atribut yang berhubungan dengan FPI.
Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan, meski maklumat tersebut pada dasarnya merupakan perangkat teknis implementasi kebijakan SKB 8 Menteri/Lembaga soal FPI, tetapi justru malah memicu kontroversi dan perdebatan terkait dengan aspek pembatasan Hak Asasi Manusia (HAM).
"Salah satu yang paling kontroversial adalah perihal larangan mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial, sebagaimana diatur oleh poin 2d, yang disertai ancaman tindakan hukum, seperti disebutkan dalam poin 3 Maklumat," kata Ade dalam keterangannya, Sabtu (2/1).
ADVERTISEMENT
Ade mengatakan, akses terhadap konten internet merupakan bagian dari hak atas informasi yang dilindungi UUD 1945, khususnya dalam ketentuan Pasal 28F, dan juga sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti Pasal 14 UU Nomor 39/1999 tentang HAM.
Oleh karenanya, kata dia, dalam melakukan setiap tindakan pembatasan terhadap hak-hak tersebut, harus sepenuhnya tunduk pada prinsip dan kaidah pembatasan, sebagaimana diatur Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
"Selain itu, khusus dalam konteks pembatasan hak atas informasi, sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, juga tunduk pada mekanisme yang diatur Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP), yang telah disahkan dalam hukum Indonesia melalui UU Nomor 12/2005," ucapnya.
Ade menjelaskan, dalam hukum HAM, setidaknya ada tiga persyaratan yang harus diperhatikan untuk memastikan legitimasi dari suatu tindakan pembatasan yang dibolehkan. Ketiga syarat tersebut sering dikenal sebagai tiga uji elemen, yang mengharuskan pembatasan diatur oleh hukum; pembatasan benar-benar diperlukan; dan dilakukan secara proporsional.
Maklumat Kapolri Tentang Penghentian aktivitas dan organisasi FPI. Foto: Dok. Istimewa
"Prinsip ini sesungguhnya dimaksudkan untuk memastikan tidak dilanggarnya hak asasi warga negara dalam setiap tindakan pembatasan yang dilakukan," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kata Ade, mengacu pada Komentar Umum No. 34/2011 tentang Kebebasan Berekspresi, keseluruhan perlindungan hak yang dijamin oleh ketentuan Pasal 19 KIHSP, juga sepenuhnya menjangkau konten-konten yang menggunakan medium internet, termasuk dalam hal pembatasannya.
Hal ini juga sejalan dengan Resolusi Dewan HAM 20/8 tahun 2012 yang menegaskan bahwa perlindungan hak yang dimiliki setiap orang saat offline, juga melekat saat mereka online. Ade mengatakan, perlindungan ini khususnya terkait dengan kebebasan berekspresi, yang berlaku tanpa melihat batasan atau sarana media yang dipilih.
"Resolusi itu kemudian diperkuat dengan keluarnya Resolusi 73/27 Majelis Umum PBB, pada 2018, yang mengingatkan pentingnya penghormatan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Ade kemudian mempertanyakan apakah maklumat Kapolri itu sudah sesuai dengan apa yang ia sampaikan di atas. SKB, kata dia, pada dasarnya merupakan suatu penetapan yang berbentuk keputusan, sehingga muatan normanya bersifat individual, konkret, dan sekali selesai.
"Tidak semestinya dia bersifat mengatur keluar, luas, dan terus-menerus. Artinya, maklumat ini semestinya hanya ditujukan kepada anggota Polri, yang berisi perintah dari Kepala Polri. Wadah hukumnya tidak memungkinkan untuk mengatur materi yang berisi larangan atau pembatasan hak-hak publik," ujarnya.
Selain itu, pembatasan akses informasi atau konten internet, dalam bentuk pelarangan, sebagaimana dimaksud khususnya dalam poin 2d, justru tidak memenuhi prinsip proporsionalitas. Ade menyebut, bila mengacu pada Pasal 40 ayat (2) huruf b UU ITE wewenang bagi pemerintah untuk melakukan tindakan pembatasan akses internet, hanya terhadap konten yang dinilai melanggar hukum.
ADVERTISEMENT
"Oleh karena itu, mencermati materi dari Maklumat Kapolri No. 1/Mak/I/2021 serta berbagai peraturan perundang-undangan yang menjamin perlindungan hak asasi manusia, termasuk persyaratan untuk melakukan pembatasan terhadap hak asasi, semestinya Kepolisian memperbarui Maklumat dimaksud, atau setidak-tidaknya mencabut ketentuan poin 2d," pungkasnya.