Mbak Ita Disebut Atur Saksi, Bakal Jadi Tersangka Perintangan Penyidikan?

30 April 2025 20:18 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mantan Wali Kota Semarang Hevearita G Rahayu (Mbak Ita) dan suaminya, Alwin Basri saat menghadiri sidang perdana terkait kasus korupsi yang menjerat keduanya di Pengadilan Tipikor Semarang. Foto: Intan Alliva Khansa/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Wali Kota Semarang Hevearita G Rahayu (Mbak Ita) dan suaminya, Alwin Basri saat menghadiri sidang perdana terkait kasus korupsi yang menjerat keduanya di Pengadilan Tipikor Semarang. Foto: Intan Alliva Khansa/kumparan
ADVERTISEMENT
Eks Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu atau Mbak Ita, disebut melakukan pengondisian penyidikan terkait kasus korupsi di lingkungan Pemkot Semarang. Mbak Ita berstatus terdakwa dalam kasus tersebut.
ADVERTISEMENT
Hal itu terungkap dalam lanjutan sidang kasus dugaan korupsi di lingkungan Pemkot Semarang, di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (28/4) lalu.
Menanggapi hal itu, juru bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto, menyinggung peluang pihaknya turut menjerat Mbak Ita sebagai tersangka dugaan perintangan penyidikan atau obstruction of justice (OOJ).
"Kalau memang ditemukan alat buktinya, alat buktinya kuat, bisa saja. Kalau pertanyaannya apakah bisa dikenakan obstruction of justice, seandainya memang alat buktinya kuat memungkinkan untuk dilakukan itu," kata Tessa kepada wartawan, Rabu (30/4).
Namun, Tessa menekankan bahwa penyidik juga perlu mempertimbangkan apakah penyidikan dugaan obstruction of justice tersebut akan menjadi prioritas atau tidak.
"Pertanyaannya, nanti apakah menaikkan obstruction of justice ini menjadi prioritas atau tidak. Ya kembali bahwa tujuan pemidanaan dari Saudari H [Hevearita] ini adalah tentunya selain membuktikan yang bersangkutan ini melakukan tindak pidana korupsi, juga dalam rangka asset recovery. Dan perkaranya sendiri sudah disidangkan," ucap dia.
Juru bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto saat diwawancarai wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (30/4/2025). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
Menurutnya, hal itu juga bakal menjadi pertimbangan penyidik dengan melihat sumber daya manusia dan kecukupan alat bukti terkait perintangan penyidikan tersebut.
ADVERTISEMENT
"Jadi, nanti kita perlu melihat apakah resource KPK untuk melakukan penyidikan dengan catatan alat buktinya cukup, ya, untuk penyidikan obstruction of justice ini menjadi prioritas atau tidak," papar dia.
"Atau lebih baik sumber daya manusianya dikerahkan untuk menyelesaikan perkara-perkara lain yang memang masih harus mendapatkan fokus dari penyidik tersebut. Jadi, nanti tentunya ada penilaian-penilaian tersebut. Tapi, kalau ditanya bisa atau tidak, kembali lagi kita lihat dulu alat buktinya," imbuhnya.
Dugaan pengkondisian itu diungkap Eko Yuniarto, mantan Koordinator Camat Se-Kota Semarang, saat diperiksa sebagai saksi dalam sidang Mbak Ita.
Eko mengaku pernah dipanggil Mbak Ita saat hendak diperiksa penyidik KPK sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi penunjukan langsung sejumlah proyek di Kota Semarang.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, Mbak Ita meminta dirinya untuk mengganti telepon seluler. Namun tetap menggunakan nomor yang lama.
Selain itu, kata Camat Gayamsari itu, dirinya juga diberi semangat dan disampaikan jika berkaitan dengan perkara tersebut telah dikondisikan.
Eko juga diminta untuk tidak memenuhi panggilan pemeriksaan oleh KPK yang dilakukan di Gedung BPKP Jawa Tengah itu.
"Disampaikan Bu Ita, 'tenang, sudah dikondisikan, enggak usah datang dulu'," kata Eko dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Gatot Sarwadi itu, dikutip dari Antara.
Namun, Eko tidak mengetahui maksud dari pengondisian yang sudah dilakukan itu.
Eko mengaku saat itu menghadap Mbak Ita bersama dengan Direktur Utama Rumah Sakit Wongsonegoro Semarang Susi Herawati serta Kabid Pendataan dan Pendaftaran Pajak Daerah Bapenda Kota Semarang Binawan Febrianto.
ADVERTISEMENT
Eko Yuniarto diperiksa berkaitan dengan penunjukan langsung pekerjaan di kecamatan dan kelurahan di Kota Semarang yang dikerjakan Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi).
Mbak Ita belum berkomentar mengenai dugaan pengondisian penyidikan tersebut.

Kasus Korupsi di Semarang

Dalam kasus ini, Mbak Ita dan suaminya, Alwin Basri, didakwa menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 9 miliar. Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK mendakwa keduanya atas tindak pidana suap dan gratifikasi dalam tiga perkara yang berbeda.
Pertama, Mbak Ita dan Alwin Basri didakwa menerima suap dari proyek pengadaan barang dan jasa yang diberikan oleh Direktur PT Chimader 777, Martono; dan Direktur Utama PT Deka Sari Perkasa, Rachmat Utama Djangkar, atas penunjukan proyek di lingkungan Pemkot Semarang. Martono dan Rachmat sudah ditetapkan sebagai tersangka.
ADVERTISEMENT
Alwin meminta commitment fee sebesar Rp 1 miliar kepada Martono dengan janji akan memperoleh proyek pengadaan barang dan jasa pada tahun 2023. Uang itu digunakan untuk membiayai pelantikan istrinya sebagai wali kota.
Alwin Basri juga kembali meminta commitment fee sebesar Rp 1 miliar yang juga akan digunakan untuk membiayai pelantikan Ita sebagai Wali Kota Semarang.
Kemudian, dari Rachmat Djangkar, Mbak Ita dan Alwin menerima gratifikasi yang nilainya mencapai Rp 1,7 miliar. Uang itu merupakan commitment fee karena Rachmat mendapat jatah pekerjaan pengadaan meja dan kursi fabrikasi pada Perubahan APBD 2023 yang nilainya mencapai Rp 20 miliar.
Pada dakwaan kedua, Mbak Ita dan Alwin Basri bersama dengan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang, Indriyasari, didakwa memotong pembayaran pegawai negeri yang bersumber dari insentif pemungutan pajak dan tambahan penghasilan di organisasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari potongan itu, Alwin mendapat uang Rp 1,2 miliar dan Ita mendapat Rp 1,8 miliar. Bapenda juga memberikan sejumlah uang untuk membiayai keperluan pribadi terdakwa Ita yang totalnya sebesar Rp 383 juta.
Dalam dakwaan ketiga, Ita dan Alwin didakwa menerima gratifikasi atas pekerjaan proyek di 16 kecamatan di Kota Semarang yang dilakukan melalui penunjukan langsung. Keduanya menerima gratifikasi sebesar Rp 2 miliar.
Atas perbuatannya, Mbak Ita dan suaminya didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11, dan Pasal 12 huruf f, dan Pasal 12 huruf B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).