Melacak Sumber Utama Buruknya Kualitas Udara di Jakarta: Kendaraan atau PLTU?

22 Juni 2022 13:57 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bangunan gedung bertingkat di Jakarta diselimuti polusi udara. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Bangunan gedung bertingkat di Jakarta diselimuti polusi udara. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Jakarta kembali menjadi kota dengan kualitas udara paling buruk di dunia pada Senin (20/6) pagi. Situs IQ Air melaporkan konsentrasi PM2.5 di Ibu Kota mencapai 111 mikrogram per kubik (µg/m³).
ADVERTISEMENT
WHO sendiri menetapkan batas ambang aman kualitas udara di angka 0-12 µg/m³. Praktis, udara di Jakarta pun tergolong tidak sehat. Tingginya kadar PM2.5 dapat mengakibatkan terganggunya saluran pernapasan.
Nah, apa sebetulnya yang menyebabkan kualitas udara di Jakarta itu buruk?
Untuk menjawabnya, kami mencoba melihat sejumlah faktor yang diduga menyumbang buruknya kualitas udara di Jakarta. Mulai dari mobilitas dan kepadatan kendaraan, hingga faktor lain seperti kehadiran PLTU dan industri.

Bedah Data Mobilitas

Semenjak kasus corona di Indonesia terdeteksi, sejumlah kebijakan untuk membatasi mobilitas masyarakat sudah dilakukan. Salah satunya adalah bekerja dari rumah atau WFH. Hasilnya, rata-rata mobilitas ke kantor pun turun hingga 47,36 persen pada April 2020.
Sementara itu, mobilitas ke kantor di bulan yang sama pada tahun 2022 turun 15,68 persen. Angka tersebut kemudian turun lagi 10,38 persen sepanjang 1-20 Juni 2022. Artinya, mobilitas ke kantor berangsur-angsur meningkat lagi di periode tersebut.
ADVERTISEMENT
Angka perubahan mobilitas ini disediakan oleh Google dengan membandingkannya pada situasi normal sebelum pandemi. Semakin besar angkanya maka semakin mendekati situasi normal.
Nah, meningkatnya mobilitas ke perkantoran di Jakarta memang punya korelasi terhadap konsentrasi PM2.5. Pada 2019 atau situasi normal, misalnya, konsentrasi PM2.5 ada di angka 49,4. Konsentrasi PM2.5 itu kemudian terus turun seiring dengan turunnya mobilitas.
Uniknya, saat mobilitas ke kantor meningkat (hanya turun dari 10,38%) dari situasi normal pada 1-20 Juni 2022, kadar PM2.5 ada di angka 48,33. Artinya, rata-rata kadar PM2.5 di Jakarta saat ini nyaris serupa dengan situasi pada tahun 2019 lalu.

Bedah Data Kemacetan

Meningkatnya data mobilitas berbanding lurus dengan macetnya situasi Jakarta. Asap polusi yang dihasilkan pun disinyalir ikut membuat kualitas udara DKI memburuk. Tapi, benarkah demikian?
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, kemacetan di Jakarta mulai meningkat pada pukul 06.00 pagi. Kemudian mulai melandai sejak pukul 11 malam. Sementara puncak kemacetan pada 20 Juni 2022 terjadi pada pukul 18.00.
Jika datanya digambarkan dalam satuan jam seperti di atas, tampak bahwa konsentrasi PM2.5 justru melonjak saat tingkat kemacetan ada di angka 0 persen. Kala itu, kadar PM 2.5 bahkan mencapai 130 µg/m³ pada pukul 05.00.
Menurut peneliti di Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih BRIN Wahyu Purwanta, naiknya konsentrasi polutan dari tengah malam menuju subuh disebabkan oleh polutan sekunder.
Polutan jenis ini terbentuk dari polutan primer, yakni polutan yang langsung berasal dari sumbernya seperti asap kendaraan, kemudian bereaksi dengan sinar UV dari matahari. Proses ini memakan waktu yang cukup lama.
ADVERTISEMENT
"Dia (polutan) terkena faktor meteorologi; sinar matahari, suhu, kelembaban, baru terbentuk (polutan) sekunder dari reaksi dengan kimia-kimia lain dari udara sebelumnya. Nah, itu butuh waktu, kan. Terbentuknya di sore, malam, sampai pagi, biasanya seperti itu. Padahal, kan, mungkin belum ada kendaraan, kan," ujar Wahyu saat dihubungi kumparan, Rabu (22/6).
Kendaraan melintas dengan latar belakang gedung-gedung bertingkat yang diselimuti kabut di kawasan Senayan, Jakarta, Rabu (30/3/2022). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
Soal mengapa polutan berkumpul di Jakarta, Wahyu mengatakan, hal itu dipengaruhi oleh pergerakan angin.
"Itu waktu subuh itu, arah anginnya ke mana? Karena sebenarnya Jakarta itu keuntungannya dekat laut, ya. Kalau anginnya ke laut, sebenarnya itu sudah menjadi sink bagi polutan. Dia kesapu ke sana," katanya.
Soal polutan yang lebih rendah saat jam pulang kerja, kata dia, ada faktor lain yang tak kalah penting selain mobilitas warga, salah satunya adalah posisi alat ukur. Menurutnya, besaran konsentrasi polutan ini turut dipengaruhi oleh lokasi sumber polusi dan ke mana arah angin.
ADVERTISEMENT
"Kalau ukurnya di tepi jalan, ya, mungkin tinggi. Rendahnya (polutan) mungkin di titik yang sebenarnya dia hanya menembak di pagi hari. Enggak bisa kita ngomong ini rendah, ini tinggi, dasarnya apa. Pasti dasarnya, kan, stasiun pengukuran," kata Wahyu.

Melihat Data PM.25 Pemprov DKI Jakarta

Berdasarkan hasil kajian Pemprov pada tahun 2020, kadar polutan PM2.5 di Ibu Kota mayoritas disumbang oleh sektor transportasi, yaitu 67 persen. Sementara sektor industri menyusul di bawahnya, yakni 26,80 persen.
Menurut Wahyu, studi dari tahun ke tahun sejak 1980-an menyatakan bahwa polutan itu 70 persen memang berasal dari transportasi.
"Sebenarnya kalau Jakarta itu tetap penyebabnya paling banyak sumbernya dari transportasi. Kan dia tiap hari ya, orang membakar bahan bakar," kata Wahyu, Rabu (22/6).
ADVERTISEMENT
Dia mencontohkan pada saat pandemi, orang-orang cenderung berada di rumah, sehingga udara Jakarta tampak lebih baik secara visual.
"Itu satu indikasi saja bahwa, kan waktu pandemi, PLTU enggak berhenti, kan, tetap dia. Jadi PLTU itu sementara yang disorot sebenarnya terkait gas rumah kaca. Kalau pun ada (polutan), dia SO2. Tapi SO2 dari kendaraan juga banyak," imbuh Wahyu.
*Data IQ Air

Bedah Data Polusi PLTU dan Industri

Netizen Twitter memang sempat ramai membicarakan soal pembangkit listrik punya kontribusi besar terhadap pencemaran udara Jakarta. Mereka beranggapan Jakarta dikelilingi banyak PLTU, jadi tak heran bila polusinya tinggi.
Nah, lembaga riset independen The Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) pada tahun 2020 melaporkan, Jakarta memang dikelilingi sekitar 118 fasilitas industri. Lokasinya ada di kawasan Banten dan Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan temuan Pemprov, riset CREA justru melihat peran besar faktor PLTU dan industri dalam polisi di Jakarta. Menurut laporan itu, ada hal lain yang tak bisa diabaikan soal penyebaran polusi berupa faktor meteorologi. Ini mencakup kecepatan angin, arah angin, suhu, kelembaban, serta curah hujan yang mampu memindahkan polusi dari sumbernya.
Infografik PLTU Penyumbang Polusi Udara Jakarta. Foto: kumparan
Berdasarkan riset CREA tahun 2017-2020 itu, pada musim kemarau (Juni-Oktober), angin menuju Jakarta lebih sering datang dari arah Jawa Barat. Artinya, udara saat itu dipengaruhi oleh polusi yang sumbernya ada di wilayah selatan atau timur Jakarta (bahkan bisa dari Cirebon dan Bandung).
Sementara di musim hujan (November-Mei), angin yang menuju Jakarta bertiup dari arah timur laut dan tenggara. Pada musim ini, udara Jakarta mendapat pengaruh dari sumber polusi di Banten, Sumatera Selatan, Lampung, dan Bogor.
ADVERTISEMENT
Menurut penelitian itu, data pantauan satelit menunjukkan bahwa emisi di kota-kota tersebut terus meningkat setiap tahunnya. Ini berimbas pada naiknya polusi udara Jakarta.
CREA juga sempat melakukan riset terkait arah angin yang mengarah ke Jakarta pada saat polusi sedang tinggi-tingginya (kadar PM2.5 di atas 80 µg/m³).
Riset itu menunjukkan bahwa polusi Jakarta berasal dari angin yang membawa polutan dari pembangkit listrik dan industri di Cilegon dan Tangerang, Banten. Polutan juga bersumber dari industri yang terletak di Jawa Barat, termasuk Karawang, Purwakarta, dan Bandung.
Infografik Jakarta Dikepung Polutan. Foto: kumparan
Industri-industri tersebut bergerak di sektor petrokimia, mineral metal dan nonmetal, minyak dan gas, serta PLTU. Uniknya,PLTU-PLTU di Banten dalam radius 100 km dari Jakarta justru menyumbang konsentrasi PM2.5 lebih tinggi ke Jakarta ketimbang Banten.
ADVERTISEMENT
Temuan CREA tersebut didukung oleh peneliti lingkungan dari yayasan Trend Asia, Andri Prasetyo. Menurutnya, kompleksitas persoalan polusi di Jakarta bukan semata karena sektor transportasi, melainkan karena pembangkit listrik.
Sebagai contoh, pada masa awal pandemi saat masyarakat harus tinggal di rumah, polusi di Jakarta masih tergolong tinggi. Saat itu, pasokan listrik berlebih karena turunnya penjualan listrik PLN. Sektor bisnis dan industri banyak yang tidak beroperasi normal, sehingga konsumsi listrik turun.
"Kalau misalnya ditanya apakah itu karena polusi PLTU, mau tidak mau harus diakui bahwa memang itu salah satu penyebab utamanya adalah sektor pembangkitan listrik uap batu bara," jelas Andri saat dikonfirmasi terpisah, Selasa (21/6).
Dia menjelaskan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sempat menyebut perbedaan hasil polusi antara PLTU dan sektor transportasi sangatlah tipis.
ADVERTISEMENT
"Sektor transportasi itu sekitar 30-40 (persen), kemudian sektor listrik salah satunya hingga 30 persen," imbuh Andri.